SEJARAH MUNCULNYA TAREKAT DI INDONESIA

simbah ngaji 2
Melihat secara pasti darisegi historis, kapan dan tarekat mana yang mula-mula timbul sebagai suatu lembaga organisasi nampaknya agak begitu sulit. Kendatipun demikian, kemudian para peneliti mencoba mencari sejarah tahun berdirinya, tetapi mereka saling berbeda pendapat. Namun secara umum dapat dikemukakan bahwa tarekat-tarekat itu baru muncul atas nama masing-masing sekitar abad ke dua belas masehi. Karena kesulitan tersebut. Harun Nasution mencoba melihat secara tahapan perkembangannya saja, yaitu :
1. Tahap Khanaqah (pusat pertemuan Sufi) di sini Syekh memiliki sejumlah murid yang hidup bersama-sama di bawah peraturan yang tidak ketat.
Syekh menjadi mursyid yang dipatuhi, kontemplasi dan latihan-latihan spiritual dilakukan secara individual dan secara kolektif. Kebiasaan ini menimbulkan pusat-pusat tasawuf yang belum mempunyai bentuk aristokratis.
2. Tahap Thariqah, yaitu pada abad ke-13 Masehi.
Pada masa ini sudah terbentuk ajaran-ajaran, peraturan-peraturan dan metode tasawuf. Pada tahap inilah muncul pusat-pusat yang mengajarkan tasawuf dengan silsilah masing-masing. Oleh karena itu berkembanglah metode-metode baru untuk mencapai kedekatan diri kepada Tuhan.
3. Tahap Ta’ifah, yaitu tahap ketiga. Tahap ini terjadi pada abad ke-15 Masehi.
Di sini terjadi transmisi ajaran dan peraturan kepada pengikut. Pada tahap ini pula muncul organisasi-organisasi tasawuf yang mempunyai cabang di tempat lain. Pemuliaan kepada Syekh telah menjadi kebiasaan dan pada tahap inilah tasawuf telah mengambil bentuk kerakyatan. Pada tahap Ta’ifah ini, tarekat telah mengandung arti lain, yaitu sufi yang melestarikan ajaran-ajaran Syekh tertentu dan terdapatlah tarekat-tarekat.[1]
Adanya tarekat-tarekat kesufian di tanah air boleh dikatakan merupakan salah satu gejala keagamaan Islam yang menonjol. Tentang mengapa di Indonesia banyak berkembang tarekat, tentu terkait dengan teori yang telah umum diterima, yaitu bahwa Islam datang ke kawasan ini melalui gerakan kesufian dalam tarekat-tarekat. Dalam hal ini ada yang berpendapat bahwa tarekat telah masuk ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam ke Indonesia, dengan argumen bahwa masuknya tasawuf ke Indonesia bersamaan dengan masuknya Islam karena Islam dibawake Indonesia oleh para Sufi.
Menurut perkiraan para peneliti, penyebaran Islam keIndonesia telah berlangsung sejak abad XIII M. A.H. Johns, seorang ahli filologi Australia menyatakan bahwa persebaran agama Islam yang sejak abad XIII makin lama makin meluas di kepulauan Indonesia ini, terutama terjadi berkat usaha para penyiar ajaran mistik Islam (sufi). Para penyiar itu menjadi anggota aliran mistik Islam (thariqat) yang melarikan diri dari Baghdad ketika kota itu diserbu orang Mongol dalam tahun 1258 M.[2]
Gagasan-gagasan mistik memang mendapat sambutan hangat di Jawa, karena sejak zaman sebelum masuknya agama Islam, tradisi kebudayaan Hindu-Buddha yang terdapat disana sudah didominasi oleh unsur-unsur mistik.
Adapun tarekat mulai berkembang dan mempunyai pengaruh besar pada abad ke-6 dan ke-7 H di Indonesia. Oleh karena itu, Dr. Mukti Ali menyatakan bahwa keberhasilan pengembangan Islam di Indonesia melalui tarekat dan tasawuf. Sejak masuknya Islam, bangsa Indonesia mengenal ahli fiqh (fuqaha) ahli teologi (mutakallimun) dan sebagainya. Namun yang sangat terkenal dalam sejarah adalah Syekh tarekat seperti Hamzah Fansuri, Syamsudin Sumatrani, Nuruddin al-Raniri, dan Abdul al-Rauf Singkel.[3]
Sementara itu pengembang Islam lainnya yang termasyhur adalah Walisongo. Dari keterkenalan nama-nama para Walisongo di tengah-tengah masyarakat Islam Indonesia, merupakan indikator bahwa penyebaran Islam di Indonesia dapat diterima oleh masyarakat Indonesia melalui tarekat. Apalagi sikap hidup dari para Syekh tarekat yang berpihak pada kepentingan rakyat, sehingga nama-nama dan ajarannya sangat berpengaruh besar dalam pembentukan pemikiran Islam rakyat maupun elit penguasa di Nusantara.[4]
Dengan demikian maka adanya corak kesufian yang kuat, yang melembaga dalam tarekat-tarekat, dalam penampilankeagamaan Islam di tanah air adalah bagian dari fakta sejarah masuk dan berkembang nya Islam di kawasan ini. Selanjutnya tarekat turut menjadi pemain utama dan penentu gerakan sosial politik dan ekonomi Nusantara. Sejarah menjadi saksi bahwa perlawanan bersenjata terhadap imperialis, kebanyakan digerakkan oleh parapemuka tarekat.
Di antara tarekat yang mula-mula muncul dan berkembang luas dalam perjalanan sejarah Nusantara adalah tarekat Qadiriyyah di Baghdad. Tarekat ini dinisbahkan kepada Muhyidin Abdul Qadir bin Abdullah al-Jili (w.1166 M). Tarekat yang lain adalah tarekat Rifa'iyah di Asia Barat yang didirikan oleh Syekh Ahmad Rifa’i (w.1182 M); tarekat Sadziliyah di Maroko dengan Nuruddin Ahmad bin Abdullah al-Syadzily (w.1228 M) sebagai Syekhnya. Dari Mesir berkembang tarekat Badawiyah atau Ahmadiyah yang didirikan oleh Syekh Ahmad al-Badawi (w.1276 M), sementara dari Asia Tengah muncul tarekat al-Naqsabandi (w.1317 M). Selain itu bermunculan lagi tarekat lain seperti Bektasiyah di Turki, dan al-Tijaniyah di Afrika Utara.
Telah seringkali dikemukakan oleh para ahli sejarah, bahwa para penyebar Islam di Jawa hampir seluruhnya adalah pemimpin-pemimpin tarekat. Dengan kata lain, berbagai kualitas tarekat yang mampu menyerap pengikut dari bermacam-macam tingkatan kesadaran Islamnya, merupakan ujung panah yang sangat efektif bagi penyebaran Islam di Jawa.
Ada banyak alasan yang dapat menerangkan kenyataan ini. Pertama, tekanan tarekat pada amalan-amalan praktis dan etis cukup menarik perhatian bagikebanyakan anggota masyarakat. Dengan demikian penyebaran Islam tidak melalui ajaran-ajaran keagamaan secara teoritis, melainkan melalui contoh-contoh perbuatan dari para pengikut tarekat.
Di samping itu tekanan pada amalan praktisini juga dapat memenuhi kebutuhan spiritual dan emosional, terutama orang-orang tua yang mulai berkurang keinginan dan kebutuhannya terhadap tuntutan kehidupan yang bersifat duniawiyah. Dengan demikian, Islam yang disebarkan oleh organisasi-organisasi tarekat, bukan bersifat doktrin-doktrin formal yang kaku, melainkan menekankan perasaan keagamaan dan keintiman hubungan antara manusia dengan Tuhan maupun sesama manusia.
Alasan kedua, pertemuan secara teratur antara sesama anggota tarekat (yang biasanya diatur mingguan) dapat pula memenuhi kebutuhan sosial mereka.
Ketiga, organisasi-organisasi tarekat di Jawa mengajar partisipasi kaum wanita secara penuh, hal mana kurang memperoleh saluran yang cukup dalam lembaga-lembaga ke-Islaman yang lain. Sebagaimana prosentase kaum wanita dalam keanggotaan tarekat di Pesantren Tegalsari lebih besar dari kaum prianya.[5]


[1] M. Hasbi Amiruddin, Tarikat: Sejarah Masuk dan Pengaruhnya di Indonesia, Madaniya, Nomor 2 / 2002, hlm. 21-22.
[2] Simuh, Sufisme Transformasi Tasawuf Islam ke Mistik Jawa, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta, cet. III, 1999, hlm. 50-51
[3] M. Muchsin Jamil, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik Tafsir Sosial Sufisme Nusantara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet. I, 2005, hlm. 37.
[4] Ibid, hlm. 38
[5] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi Tentang Pandangan Hidup Kyai, LP3ES, Jakarta, cet. I, 1982, hlm. 144-145.























No comments:

Post a Comment