Dilihat dari ajaran sufi Islam, ada tarekat yang dipandang sah dan ada pula yang tidak sah. Suatu tarekat dikatakan sah atau mu’tabarah, jika amalan dalam tarekat itu dapat dipertanggung-jawabkan secara syari’at. Jika amalan tarekat tidak dapat dipertanggungjawabkan secara syari’at, maka tarekat itu dianggap tidak memiliki dasar keabsahan. Tarekat dalam bentuk ini disebut tarekat ghairu mu’tabarah (tidak sah).[1]
Dalam pengertian yang lainnya dijelaskan bahwa tarekat yang memadukan antara syariat dan hakikat, adanya silsilah (mata rantai sampai kepada Nabi Saw), dan pemberian ijazah dari mursyid yang satu terhadap yang lainnya disebut tarekat mu’tabarah (absah), sedang yang tidak sesuai dengan kriteria itu disebut tarekat ghairu mu’tabarah (tidak absah).[2]
Kategori utama yang dijadikan patokan untuk menilai sebuah tarekat, apakah tergolong mu’tabarah atau tidak adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi Muhammad Saw, serta amalan para sahabat, baik yang dibiarkan atau disetujui oleh Nabi Saw. Semangat yang menjiwai tarekat mu’tabarah ini ialah keselarasan dan kesesuaian antara ajaran esoteris Islam dan eksoteriknya.
Semangat seperti ini telah dirintis al-Qusyairi, lalu dirumuskan oleh al-Ghazali, sehingga mencapai puncak kemapanannya. Dalam hal ini, al-Qur’an dan Sunnah Nabi Saw senantiasa menjadi kriteria utama untuk menentukan keabsahan suatu tarekat.[3]
Menurut Jam’iyyah Ahli Thariqah Mu’tabarah, jumlah nama-nama tarekat mu’tabarah ada 44, yaitu:
1. Umariyyah.
2. Naqsyabandiyyah.
3. Qodiriyyah.
4. Syadziliyyah.
5. Rifa’iyyah.
6. Ahmadiyyah.
7. Dasuqiyyah.
8. Akbariyyah.
9. Maulawiyyah.
10. Kubrowardiyyah.
11. Suhrowardiyyah.
12. Khalwatiyyah.
13. Jalwatiyyah.
14. Bakdasyiyyah.
15. Ghuzaliyyah.
16. Rumiyyah.
17. Sa’diyyah.
18. Justiyyah.
19. Sya’baniyyah.
20. Kalsyaniyyah.
21. Hamzawiyyah.
22. Bairumiyyah.
23. ‘Usy-Syaqiyyah.
24. Bakriyyah.
25. ‘Idurusyyah.
26. 'Utsmaniyyah.
27. ‘Alawiyyah.
28. ‘Abbasiyyah.
29. Zainiyyah.
30. ‘Isawiyyah.
31. Buhuriyyah.
32. Haddadiyyah.
33. Ghaibiyyah.
34. Kholidiyyah.
35. Syathoriyyah.
36. Bayuniyyah.
37. Malamiyyah.
38. Uwaisiyyah.
39. Idrisiyyah.
40. Akabiral Auliyah.
41. Matbuliyyah.
42. Sunbuliyyah.
43. Tijaniyyah.
44. Samaniyyah.[4]
Nama-nama tarekat tersebut, sebagai wadah dan tidak kesemuanya ada di Indonesia. Sedang dari tarekat ghairu mu’tabarah yang biasa dijadikan contoh di Indonesia ialah tarekat Haqaq atau tarekat Haur Kuning di Jawa Barat.[5] Di Indonesia wadah para pengamal tarekat mu’tabarah itu bernaung di bawah organisasi yang dikenal dengan nama Jam’iyyah Ahli Thariqah Mu’tabarah (Perkumpulan Tarekat yang sah) yang resmi dibentuk pada tanggal 10 Oktober 1957.[6]
Perkumpulan ini antara lain bertujuan untuk memberikan arahan agar pengamalan tarekat di lingkungan organisasi para ulama itu tidak menyimpang dari ketentuan ajaran Islam. Meskipun demikian, wewenang untuk mengawasi amalan sebuah tarekat tidak sepenuhnya berada diatas pundak para ulama NU. Pengawasan dan pemberian label keabsahan bagi suatu tarekat adalah tanggungjawab kaum Muslim pada umumnya yang pelaksanaannya didelegasikan kepada ulama.
Dalam perkembanganya, karena ada faktor internal dan politis maka Jam’iyyah Ahli Thariqah Mu’tabarah ini belakangan dalam muktamar NU 1979 di Semarang, nama badan diganti menjadi Jam’iyyah Thariqah Mu’tabarah an-Nadliyah, dengan penambahan kata “an-Nadliyah”. Penambahan kata ini dimaksudkan untuk menegaskan bahwa badan federasi ini harus tetap berafiliasi pada Nahdlatul Ulama.
Sejak berdirinya, pimpinan badan federasi ini adalah para Kyai ternama dari pesantren-pesantren besar.[7] Dalam anggaran dasarnya dinyatakan bahwa badan ini bertujuan:
1. Meningkatkan pengamalan syariat Islam di kalangan masyarakat;
2. Mempertebal kesetiaan masyarakat kepada ajaran-ajaran dari salah satu mazhab yang empat;
3. Menganjurkan para anggota agar meningkatkan amalam-amalan ibadah dan mu’amalah, sesuai dengan yang dicontohkan para ulama salihin.[8]
Adapun alasan utama mendirikan badan federasi ini adalah :
1. Untuk membimbing organisasi-organisasi tarekat yang dinilai belum mengajarkan amalan-amalan yang sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadits;
2. Untuk mengawasi organisasi-organisasi tarekat agartidak menyalahgunakan pengaruhnya untuk kepentingan yang tidak dibenarkan oleh ajaran-ajaran agama.[9]
Dengan demikian, kini ada dua organisasi penganut tarekat mu’tabarah. Pertama Jam’iyyah Ahli Thariqah Mu’tabarah Indonesia (JATMI) yang berpusat di Pondok Pesantren Darul Ulum RejosoPeterongan Jombang Jawa Timur dan kedua Jam’iyyah Ahli Thariqah Mu’tabarah an Nadliyah yang di bawah naungan Jam’iyah Nahdlatul Ulama berpusat di Jakarta, tepatnya di Pondok Pesantren Cipete.
Dengan adanya perkumpulan tarekat mu’tabarah itu maka tarekat-tarekat di Indonesia dapat sejauh mungkin dihindarkan dari penyimpangan yang dapat merugikan masyarakat. Dan dengan berpegang pada syari’at maka tarekat-tarekat itu secara lahiriah dapat diawasi.
[1] Taufik Abdullah et.al, “Tarekat”, Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, vol. 3, 2002, hlm. 317.
[2] H.M. Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual “Solusi Problem Manusia Modern”, Pustaka, Yogyakarta, cet. I, 2003, hlm. 45-46.
[3] Taufik Abdullah et.al, Op.Cit, hlm. 318.
[4] Jam'iyyah Ahli Thariqah Mu’tabarah, Konggres ke V, Madiun, 2-5 Agustus, 1975, hlm. 61.
[5] Taufik Abdullah et.al, op. cit.
[6] Moh. Saifulloh al-Aziz Senali, Risalah Memahami Ilmu Tashawwuf, Terbit Terang, Surabaya, 1998, hlm. 59.
[7] Ibid, hlm. 60
[8] Hartono Ahmad Jaiz, Mendudukan Tasawuf: Gus Dur Wali?, Dar al-Falah, Jakarta, cet. I, 1999, hlm. 121.
[9] Ibid, hlm. 122.
No 2. Naqsyabandiyah, dan No 34. Kholidiyah, ini adalah tarekat yang sama. mohon diperbaiki.
ReplyDelete