AKIDAH SUFI TENTANG ALLAH PUN DI SALAH-PAHAMI

alam
Assalamu’alaikum wr. wb.
Saya membaca suatu buku yang dari awal sampai akhir menggugat tasawuf atau sufi. Di antaranya disebutkan bahwa seorang sufi itu meyakini Allah dengan Akidah-nya yang beraneka ragam. Di antaranya adalah Hulul (reinkarnasi) seperti mazhabnya al-Hallaj dan juga Wihdatul Wujud yang mengajarkan ketidak-terpisahan antara Khaliq dengan makhluk. Inilah akidah terakhir yang berkembang sejak abad III hingga kini. Akhirnya setiap tokoh dan ulama akidah mencatatnya dalam kitab, seperti Ibnu 'Araby, Ibn Sab’in, al-Tilmasy, Abdul Karim al-Jily, Abdul Ghani an-Nablusy dan juga mayoritas pimpinan tarekat sufi kontemporer.
Mereka menuding akidah sufi berbeda dengan al-Qur’an dan as-Sunnah. Bahkan menuding lebih jauh, kalau akidah sufi kolaboratif dengan pandangan Fitsatat ilmuniasi Yunani, Majusi Persia, Hinduisme, dan Nasrani.
Saya mohon dijelaskan agar kami juga bisa plong. Terima kasih.
Nuruz Zaman
Kalidawir, Tulungagung
 
Jawab:
Tentu tudingan bahwa sumber Tasawuf adalah sinkretisme ajaran agama-agama dan filsafat Yunani adalah kekeliruan besar. Bahwa dalam dunia tasawuf ada hikmah-hikmah agung dan mengandung filsafat kehidupan yang luhur, sesungguhnya tidak bisa dihubungkan-hubungkan dengan tradisi filsafat tersebut secara menyeluruh.
Seperti tradisi musyawarah yang sudah ada di zaman Jahiliyah. Maka ketika tradisi Syura itu di absahkan oleh Islam, sama sekali tidak bisa dituduh bahwa tradisi Musyawarah dalam Islam itu bersumber dari zaman Jahiliyah.
Kalau Nabi Muhammad SAW melakukan tradisi khalwat, tahannuf, atau tahannut di Gua Hira, sementara kaum Jahiliyah juga melakukan hal yang sama di tempat terpisah dalam rangka menyucikan dirinya, apakah metode yang ditempuh Rasulullah dalam Gua Hira itu ditentang oleh umat Islam bahkan oleh Rasul sendiri?
Apalagi untuk menggali akidah Islam yang hakiki, tidak bisa melalui pendekatan yang bersifat letere, tekstual, dan formal. Sementara istilah akidah itu sendiri di zaman Rasulullah belum muncul sebagai elemen ushuliyah sebagaimana yang kita fahami saat ini. Justru muncul pembagian akademis, dalam ilmu-ilmu Islam, ketika pengetahuan dan pengajaran Islam mulai disusun secara sistematis oleh generasi Mujtahidin, Muhadditsin, Mufassirin, dan Mutakallimin.
Banyak umat Islam terjebak oleh jargon “Kembali pada sumber al-Qur’an dan as-Sunnah", dengan cara-cara yang dangkal dan bahkan malah menyesatkan. Misalnya dengan menegaskan segala hal yang tidak tertera secara eksplisit dalam kedua sumber tersebut dianggap menyesatkan. Kemudian mereka bersikeras mengikuti jejak Nabi secara ketat dengan formalitasnya belaka, sedangkan aspek kedalaman jiwa (ruh)-nya hilang sama sekali, sehingga Islam tampak kaku, keras, dan radikal. Padahal dalam amaliyah Islam, Rasulullah Saw membagi tiga: Islam, Iman, dan Ihsan.
Islam yang kelak berhubungan dengan ibadah syari'ah, penataan aturan-aturan fiqih, dalam rangka menata kehidupan lahiriyah. Lalu di sana muncul para fuqaha yang menyimpulkan produk hukum Islam melalui Ijtihad. Bahkan untuk membuka pintu Ijtihad ini pun para Ulama sangat ketat aturannya, agar tidak semua orang menafsirkan al-Qur’an dan as-Sunnah dengan klaim-klaim yang gampangan. Kita bisa bayangkan jika para Mujtahid tidak membuat aturan ketat mengenai syarat ijtihad, pasti konflik-konflik sosial akibat perbedaan ijtihad begitu luar biasa dan malah menghancurkan umat Islam itu sendiri.
Sedangkan Iman, kelak berpengaruh dalam akademia teologi yang popular dengan ilmu Tauhid. Di kalangan ahli Tauhid sendiri soal-soal sifat dan Asma Allah banyak pandangan yang berbeda. Tetapi perbedaan itu sebatas masalah-masalah yang berkembang yang berinduk pada ushuliyah-nya. Misalnya Allah Maha Esa. Dalam al-Qur’an Allah menggunakan kata Yang Satu, dengan kata yang berbeda-beda. Misalnya Ahad, Wahdat, Wahdaniyah, Wahid, yang memiliki hubungan yang berbeda-beda. Bahwa Allah Maha Esa itu tidak satu pun yang berbeda pandangan. Namun mengenai interaksi Ahad, Wahdah, Wahid, dengan praktek Tauhid maupun filosofi Ketauhidan akan muncul banyak ragam.
Rupanya kaum formalis yang menolak tasawuf dengan serampangan saja menggenalisir fakta keragaman kata dalam al-Qur’an maupun Sunnah, lalu mengklaim apa yang dipandangnya itu sebagai kebenaran mutlak yang tak terbantah sama sekali. Ihsan, sebagai praktik dan manifestasi Islam dan Iman dalam kualitas hubungan hamba dengan Allah, sama sekali tidak pernah dibedah secara tuntas oleh mereka yang anti terhadap dunia sufi. Sebab, hanya akademi Sufisme saja yang menguraikan secara gamblang apa dan bagaimana Ihsan Itu diterapkan dalam ‘Ubudiyah sehari-hari. Karena tanpa pelaksanaan Ihsan, seorang hamba yang melakukan ibadah shalat hanyalah melaksanakan kewajiban formalnya salat, sesuai dengan syarat dan rukunnya. Sedangkan kualitas khusyu' dalam shalat, elemen-elemen kekhusyuan, maupun nuansa khusyu’ di depan Allah tidak dikaji tuntas, kecuali dengan mengetangahkan teknik-teknik khusyu' yang kering.
Apakah jika dunia sufi membahas masalah khusyu' dalam shalat maupun di luar salat menjadi bid'ah dan bertentangan dengan Quran dan Sunnah? Alangkah bodohnya kita, jika menuduh kajian dunia Sufi sebagai bentuk yang menyimpang dari kedua sumber utama Islam itu. Justru dunia sufi mendorong seseorang untuk meraih khusyu' yang hakiki, bukan khusyu' yang dikhusyu'-khusyu'kan, sementara ia telah gagal meraih shalat Khusyu'.
Seluruh ajaran sufi, walaupun sebagian kecil yang minor kita jumpai telah menyimpang dari ajaran sufi yang benar, sesungguhnya tetap bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah. Para sufi sendiri sepakat demikian, dan sebaliknya yang jauh dari al-Qur’an dan Sunnah malah dianggap bathil.
Hanya saja kriteria mengenai sesuatu yang menyimpang dan tidak dari al-Qur’an dan Sunnah, maka dunia sufi lebih dalam lagi dan sulit difahami mereka yang hanya memandang al-Qur’an dan Sunnah secara formal belaka.
Sementara itu tudingan terhadap Ibnu Araby, al-Bisthamy, Junaid al-Baghdady, al-Hallaj, Syekh Abdul Qadir al-Jilany, maupun sufi-sufi besar lainnya, semata karena cara memandang al-Qur’an dan Sunnah secara berbeda. Perbedaannya ibarat kita memandang cermin. Ada cermin itu, buram, ada yang retak dan pecah, ada pula yang bercermin dari samping dan dari balik cermin, tentu semua itu akan gagal memantulkan, gambar yang objektif. Dunia Sufi dengan segala ragam metodenya mengajak kita memandang cermin dari arah yang benar dan dengan objek; yang utuh. Bahkan berusaha agar cermin tetap bening, bersih dan cemerlang.
Dikutip dari majalah POSMO edisi 281




















No comments:

Post a Comment