UPAH IMAM SHALAT

sholat
Praktik ibadah kedua yang ditentukan Islam adalah praktik shalat lima kali dalam waktu yang telah ditentukan, shalat pada dasarnya terdiri dari pembacaan al-Qur'an yang suci dan pengagungan Allah yang disertai berbagai gerak tubuh.[1] Shalat merupakan laku peribadatan yang memiliki banyak segi. Mengerjakannya secara teratur menyebabkan seorang muslim selama siang dan malam mengingat relasinya dengan sang Pencipta dan tempatnya dalam skema total realitas. Mengingat dan memuja Allah dalam sebuah jangka waktu singkat namun penuh konsentrasi di tengah aktivitas sehari-hari akan membuat tujuan itu menjadi selalu jelas dan utuh.[2]
Dalam melaksanakan shalat seorang muslim boleh mengerjakan sendiri atau berjamaah, namun yang lebih utama ialah dilakukan dengan berjamaah. Ketentuan ber-jamaah adalah adanya makmum dan imam. Untuk menjadi imam shalat paling tidak ia diterima oleh makmumnya serta mengetahui hal-hal yang perlu dihindari, sebab ia laksana duta atau pemberi syafaat bagi orang-orang yang diimaminya. Karena itu, ia harus menjadi orang terbaik diantara mereka.[3]
Beberapa ulama salaf berkata: “Tidak ada kelompok manapun, setelah para Nabi saw, lebih utama dari imam-imam shalat. Mereka itu berdiri dihadapan Allah Swt, antara Dia dan hamba-hamba-Nya.” Kelompok pertama dengan tegas kenabian, dan yang ini dengan menegakkan tiang agama, yakni shalat.[4] Seperti halnya mengenai persewaan muadzin dalam upah berbuat taat, maka demikian pula upah untuk mengimami shalat adalah termasuk perilaku berbuat taat. Pendapat Imam asy-Syafi’i,
تجوز الأجرة على الحج و لا تجوز على الإمامة في الصلاة الفرائض
Diperbolehkan upah atas haji, namun tidak diperbolehkan upah untuk imam shalat fardhu.[5]
Dijelaskan dalam pengimbalan imam shalat fardhu, bahwasanya Imam Syafi’i tidak membolehkannya. Dan diperbolehkan pengimbalan haji, umrah dan mengajarkan al-Qur'an, sebagaimana penjelasan Imam Syafi’i,
و لا بأس بالإجارة على الحج و العمرة و على تعليم القرآن و الخير
Diperbolehkan upah haji, umrah; mengerjakan al-Qur'an dan perbuatan kebaikan.[6]
Pada ketentuan-ketentuan hukum mengenai upah adzan, iqamat, dan imam shalat dalam perbuatan taat itu terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah. Tetapi apabila terjadi suatu masalah adzan, dan Imam bergaji tidak terdapat baik dalam al-Qur'an maupun hadits, maka untuk menentukan hukum kasus tersebut memerlukan kecermatan dan kelebihan serta kecerdikan para mujtahid untuk berijtihad yang berpangkal pada sumber utama yaitu al-Qur'an dan hadits. Adapun yang menjadi dasar terhadap masalah upah adzan serta imam,
a. Al-Qur'an surat Yaasin ayat 21,
إتبعوا من لا يسئلكم أجرا و هم مهتدون
Ikutilah orang yang tidak meminta balasan kepadamu dan mereka adalah orang yang mendapat petunjuk.
b. Hadits Nabi :
إنما الأعمال بالنيات و انما لكل امرئ ما نوى فمن كانت هجرته الى الله و رسوله فهجرته الى الله و رسوله و من كانت هجرته لدنيا يصيبها او امرأة ينكحها فهجرته الى ما هاجر اليه
Sesungguhnya sah atau tidaknya suatu amal tergantung niat. Dan yang teranggap bagi tiap orang apa yang ia niatkan, maka siapa yang hijrah semata-mata karena taat keapa Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrah karena keuntungan dunia yang dikejarnya atau karena perempuan yang ingin di-nikahi, maka hijrahnya terhenti pada apa yang ia niatkan kepadanya.[7]
Namun demikian, ayat-ayat itu ada yang dapat dipahami, secara pasti dan jelas, serta isi kandungannya disepakati oleh para mujtahid, tetapi ada pula yang susah untuk dipahami isi kandungannya, dikalangan para mujtahid menimbulkan perbedaan pendapat.
Terhadap upah imam shalat, imam Syafi’i berpendapat bahwa pada dasarnya beliau tidak menyukai para imam meminta upah, dengan alasan:
a. Ijarah dalam perbuatan taat seperti menyewakan untuk imam shalat tidak disukai, karena perbuatan tersebut tergolong perbuatan taqarrub.
b. Perbuatan-perbuatan tentang upah imam shalat termasuk jenis mashalih bukan termasuk ganti (iwadh).

[1] Suzanne Haneef, Islam dan Muslim, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1993), hlm. 88.
[2] Ibid., hlm. 89.
[3] Al-Ghazali, Rahasia-Rahasia Shalat, Penerjemah, M. al-Baqir, (Bandung: Karisma, 1991), hlm. 103.
[4] Ibid., hlm. 101.
[5] Sayid Sabiq, Fiqih Sunnah, (Beirut: Darul Kitab Arabi, 1971), hlm. 186.
[6] Imam Abi Abdullah M. Idris asy-Syafi’i, al-Umm, Juz 2, (Beirut: Darul Kutub Ilmiah, t.th.), hlm. 183.
[7] Abi Zakaria Yahya, Riyadus Shalihin, (Semarang: Toha Putra, t.th.), hlm. 6.

























No comments:

Post a Comment