Tarekat menurut para ahli tasawuf bertujuan untuk mencari keridhaan Allah SWT, melalui latihan jiwa (riyadlah) dan berjuang melawan hawa nafsu (mujahadah) dan membersihkan diri dari sifat yang tercela.[1]
Berkenaan dengan tujuan tarekat ini, Abu Bakar Aceh mengatakan bahwa tujuan daripada tarekat itu ialah mempertebal iman dalam hati pengikut-pengikutnya, demikian rupa sehingga tidak ada yang lebih indah dan dicintai selain daripada Tuhan, dan kecintaan itu melupakan dirinya dan dunia ini seluruhnya. Dalam perjalanan kepada tujuanitu, manusia harus ikhlas, bersih segala amal dan niatnya, muraqabah, merasa diri selalu diawasi Tuhan dalam segala gerak-geriknya, muhasabah, memperhitungkan labarugi amalnya, dengan akibat selalu dapat menambah kebajikan, tajarrud, melepaskan segala ikatan apapun jua yang akan merintangi dirinya menuju jalan itu, agar dengan membentuk pribadi yang demikianitu dapat diisi jiwa dengan Isyq, rindu yang tidak terbatas terhadap Tuhan, sehingga kecintaan, hubb, kepada Tuhan itu melebihi dirinya dan segala alam yangada disekitarnya.[2]
Pada hakekatnya tujuan utama tarekat ini tidak lain adalah agar seorang hamba dapat mengenal Allah atau ma’rifat billahdan selalu dekat dengan Allah. Dalam ajaran Islam, Tuhan memang dekat sekali dengan manusia. Dekatnya manusia disebut al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 186:
و إذا سألك عبادي عنّي فإنّي قريب أجيب دعوة الداعي إذا دعاني فليستجيبوا لي و ليؤمنوا بي لعلهم يرشدون
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah) Kudan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.
Dengan kata lain, seorang Sufi tak perlu pergi jauh untuk mencari dan menjumpai Tuhan, karena Tuhan dekat dan di mana saja Tuhan dapat dijumpai. Cukup ia masuk ke dalam dirinya dan Tuhan yang dicarinya akan ia jumpai dalam dirinya sendiri. Dengan memperoleh hubungan langsung dengan Tuhan, seseorang merasa dengankesadarannya itu berada di hadirat-Nya.
Dalam rangka mengenal sedekat-dekatnya dengan Tuhan itu, menurut para Sufi, manusia harus berusaha mengenal dirinya. Dengan mengenal dirinya itulah maka ia akan mengenal Tuhannya. Jadi, dengan menempuh tarekat, menurut Nurcholis Madjid, berarti kita menempuh jalan yang benar secara mantap dan konsisten. Orang yang demikian dijanjikan Tuhan akan memperoleh karunia hidup bahagia yang tiada terkira. Hidup bahagia itu ialah hidup sejati, yang dalam ayatsuci diumpamakan dengan air yang melimpah ruah. Dalam literatur kesufian, air karunia illahi itu disebut “air kehidupan”. Inilah yang secara simbolik dicari oleh para pengamal tarekat, yang wujud sebenarnya tidaklain ialah “pertemuan” dengan tuhan dengan ridla-Nya.[3]
[1] K.H. Muslim Nurdin, et.al. Moral dan Kognisi Islam, CV. Alfabet, Bandung, 1995, hlm. 217.
[2] H. Abu Bakar Aceh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, CV. Ramadhani, Solo, cet. V, 1992, hlm. 64.
[3] Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban, Paramadina, Jakarta, cet. I, 1995, hlm. 109.
No comments:
Post a Comment