TAREKAT SHADHILIYAH

tarekat syadjiliyah
Tarekat Shādhiliyah adalah salah satu tarekat yang besar di samping tarekat Qadiriyah, Rifa'iyah, Naqsyabaniyah dan Suhrawardiyah. Tarekat Shādhiliyah adalah tarekat yang paling layak di sejajarkan dengan tarekat Qadiriyah dalam hal penyebarannya.[1]
Ibn 'Athā'illah mengemukakan bahwa al-Shādhili adalah orang yang ditetapkan oleh Allah Swt sebagai pewaris Nabi Muhammad Saw. Allah telah menegaskan peranan al-Shādhiliyah melalui karamah-karamahnya yang selanjutnya akan menunjukkan posisinya sebagai poros spiritual (quthb) alam semesta.[2]
Tetapi al-Shādhili tidak menuliskan ajaran-ajarannya dalam sebuah kitab karya tulis, diantara sebab-sebabnya adalah karena kesibukannya dalam melakukan pengajaran-pengajaran terhadap murid-muridnya yang sangat banyak dan sesungguhnya ilmu-ilmu tarekat itu adalah ilmu hakikat oleh karena itulah akal manusia tidak mampu menerimanya.
Ajaran-ajarannya dapat diketahui dari para muridnya misalnya tulisan-tulisan Ibn 'Athā'illah al-Iskandarī. Ketika al-Shādhili ditanya mengapa ia tidak mau menulis kan ajaran-ajarannya ia menjawab: "Kutubī ashābī"[3] artinya kitab-kitabku adalah sahabat-sahabatku.
Al-Shādhili tidak menganjurkan pada murid-muridnya untuk meninggalkan profesi dunia mereka. Dalam pandangannya, pakaian, makanan, kendaraan, yang layak dalam kehidupan yang sederhana akan menumbuhkan rasa syukur kepada Allah Swt dan mengenal rahmat ilahi. Meninggalkan dunia yang berlebihan akan menimbulkan hilangnya rasa syukur, dan berlebih-lebihan memanfaatkan dunia akan membawa kepada kedzaliman. Manusia sebaiknya menggunakan nikmat Allah Swt sebaik-baiknya sesuai petunjuk Allah dan rasul-Nya.[4]
Al-Shādhili adalah sufi yang tidak mengabaikan syariat, namun sebaliknya selalu menjalankan syariat Islam. Ia adalah salah satu tokoh sufi yang menempuh jalur tasawuf hampir searah dengan al-Ghazālī, yakni suatu tasawuf yang berlandaskan kepada al-Qur'an dan al-Sunnah. Mengarah pada askestisme, pelurusan dan penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs), dan pembinaan moral (akhlaq), suatu tasawuf yang dinilai oleh kebanyakan kalangan bersikap moderat, menawarkan konsep zuhud yang lebih moderat.
Menurutnya, zuhud tidak berarti harus menjauhi dunia, karena pada dasarnya zuhud adalah mengosongkan hati dari selain Tuhan.[5] Dunia yang dibenci para sufi adalah tingkah laku syahwat, dan berbagai keinginan yang tak kunjung habis, dan hawa nafsu yang tak kenal puas. Semua itu hanyalah permainan (al-la'b) dan senda gurau (al-lahw) yang akan melupakan Allah. Dunia semacam inilah yang di benci kaum sufi.
Tidak ada larangan bagi seorang sālik untuk menjadi konglomerat, asalkan hatinya tidak bergantung pada harta yang dimilikinya. Seorang salik boleh tetap mencari harta kekayaan, namun jangan sampai melalaikan-Nya dan jangan sampai menjadi hamba dunia, tiada kesedihan ketika harta hilang dan tiada kesenangan berlebihan ketika harta datang. Sejalan dengan itu pula, seorang salik tidak harus memakai baju lusuh yang tidak berharga, yang akhirnya hanya akan menjatuhkan martabatnya. Dan konon dengan konsepnya ini, banyak kalangan usahawan-hartawan tertarik menjadi pengikut ajaran al-Shādhili.
Tasawuf, menurut al-Shādhili, adalah latihan-latihan jiwa dalam rangka ibadah dan menempatkan diri sesuai dengan ketentuan Allah Swt. Tasawuf memiliki empat aspek penting, yaitu berakhlaq dengan akhlaq Allah Swt, senantiasa melakukan perintah-perintah-Nya, menguasai hawa nafsu serta berusaha selalu bersama dan berkekalan dengan-Nya secara sungguh-sungguh.
Ia juga meyatakan bahwa ada empat hal yang menjadi pegangan sufi untuk menuju dan bertemu Tuhan. Apabila seorang sufi dapat menjalani keempat hal tersebut, maka berarti ia telah mengetahui tasawuf dengan benar dalam pengetahuan yang hakiki. Jika ia dapat menjalani tiga hal, maka ia termasuk salah seorang wali Allah, yang digambarkan senantiasa dekat dengan-Nya. Jika ia dapat menjalani dua hal, maka ia termasuk salah seorang syahid. Tetapi jika ia hanya sanggup menjalani satu hal, maka ia dikategorikan sebagai orang yang melayani Tuhan dengan penuh keikhlasan.
Keempat hal tersebut, yang pertama adalah al-dzikir, fondasinya yaitu perbuatan-perbuatan yang benar, dan buahnya adalah iluminasi (al-nūr). Kedua, adalah al-tafakkur, landasannya adalah ketekunan, dan buahnya adalah pengetahuan. Ketiga, adalah kefakiran, dasarnya adalah syukur, buahnya adalah meningkatkan rasa syukur. Dan keempat, adalah cinta (al-hubb), landasannya adalah persatuan (al-ittihād) dengan penuh rasa cinta.[6]
Seorang murid yang berjalan (sālik) menuju kepada Allah pertama hendaklah berniat yang lurus disertai keikhlasan hati. Ia harus bertaubat dari segala dosa yang telah diperbuatnya dengan memohon ampun kepada allah (istighfār). Seorang salik harus selalu ingat kepada Allah (dzikir) karena tidak akan sampai seseorang kepada-Nya kecuali dengan melanggengkan dzikir (mulāzamah al-dzikir). Ia harus tawakkal kepada Allah, ridha kepada taqdir-Nya, syukur kepada segala nikmat-Nya, zuhud terhadap dunia, sabar terhadap musibah dan cobaan, tafakkur terhadap keagungan-Nya dan terhadap kehinaan dirinya, wara' yaitu meninggalkan dosa kecil dan syubhat, muraqabah atau mengawasi diri dari perbuatan buruk serta menyendiri ('uzlah) atau menyepi (khalwah) yang diisi dengan istighfar, dzikir, tafakkur, muraqabah, shalawat. Semua amalan tersebut harus dilakukan dengan sungguh-sungguh (al-jihad) dengan meninggalkan hawa nafsu.[7]
Dengan demikian, corak tasawuf yang dikembangkan oleh al-Shādhili adalah corak tasawuf al-Ghazālī ('amalī) atau tashawuf 'alā ahl al-sunnah wa al-jamā'ah yaitu pelaksanaan tasawuf yang tetap memegang teguh syariat yang berdasarkan al-Qur'an dan al-Hadits. Hal tersebut berdasarkan sumber pemikiran yang dipakai oleh al-Shādhili antara lain adalah kitab Ihyā' 'Ulūm al-Dīn karya al-Gazālī, Qūt al-Qulūb karya Abū Thālib al-Makkī, Risālah al-Qusyairiyah karya Imām al-Qusyairī, al-Syifā' kitab sirah al-nabawiyah terbaik karya ibn 'Iyādh (w. 923 M.).[8]
Antara al-Ghazālī dan al-Shādhili disamping memiliki beberapa persamaan, juga memiliki sedikit perbedaan yaitu dalam hal upaya untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. Al-Ghazālī lebih menekankan pada riyādhah al-abdān atau latihan yang berhubungan dengan fisik yang mengharuskan adanya masyaqah, misalnya bangun malam, lapar dan lain-lain. Sedangkan al-Shādhili lebih menekankan riyādhah al-qulūb, tanpa menekankan adanya masyaqqah al-abdān, misalnya menekankan senang (al-farh), rela (al-ridha), dan selalu bersyukur (al-syukr) pada nikmat Allah.[9]
Ajaran al-Shādhili ini kemudian diteruskan oleh muridnya Abū 'Abbās al-Mursī (w. 606 H.), kemudian diteruskan oleh Ibn 'Athā' illāh al-Iskandarī (w. 709 H.), kemudian Ibn 'Abad al-Randī (w. 793 H.), dan pada abad IX H/XV M dilanjutkan oleh Sayyid Abī 'Abd Allāh Muhammad ibn Sulaiman al-Jazulī (w. 1465 M.). Mereka ini dalam perkembangannya kemudian dipandang sebagai pemimpin-pemimpin tarekat Shādhiliyah, sehingga sekarang telah berkembang pesat dibeberapa wilayah seperti Tunisia, Mesir, Aljazair, Maroko, Sudan, Syiria, dan Indonesia khususnya di Jawa.


[1] Martin Lings, Membedah Tasawuf, Terj. Bambang Herawan dari Sufism: an Account to the Miystic of Islam, (Bandung: Mizan, 1979), hlm. 112
[2] John Renard, Surat-Surat Sang Sufi, Terj. M.S. Nasrullah dari Ibn Abbad of Ronda: Letters on the Sufi Path, (Bandung: Mizan, 1993), hlm. 60
[3] Ibn 'Atha'illah, Lathaif al-Minan, tahqiq 'Abd al-Halim Mahmud, (Mesir: Dar al-Syab, 1986), hlm. 24-25
[4] H.M. Laili Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, (Jakarta: Srigunting, 1996), hlm. 204
[5] 'Abd Halim Mahmud, Abu Hasan al-Shādhili: al-Shufi al-Mujahid al-'Arif bi Allah, terj. Abu Bakar Basymeleh dan Ibrahim Mansur dengan judul Abu Hasan al-Shādhili: Kehidupan, Do'a dan Hizbnya, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1992), hlm. 172
[6] Victor Danner, Ibn 'Atha'illah Sufi Aphorisms, Kitab al-Hikam, (Leiden: E.J. Brill, 1984), hlm.109
[7] Lihat 'Abd Halim Mahmud, Abu Hasan al- Shādhili, hlm. 149-173
[8] Ibn 'Atha'illah, Lathaif al-Minan, hlm. 10-13, H.M. Laili Mansur, Ajaran dan Teladan, hlm. 204
[9] Umar Ibrahim, Thariqah 'Alawiyah: Napak Tilas dan Studi Kritis atas Sosok dan Pemikiran Allamah Sayyid Abdullah al-Haddad Tokoh Sufi Abad ke-17, (Bandung: Mizan, 2001), hlm. 112























No comments:

Post a Comment