Tarekat Tijaniyah didirikan oleh Syeikh Abul Abbas Ahmad bi Muhammad bin al-Mukhtar at-Tijani atau yang lebih dikenal Syekh Ahmad al-Tijani (1737-1815). Tarekat Tijaniyah berkembang terutama di Maroko dan Aljazair.[1]
Tarekat Tijaniyah yang datang belakangan juga menunjukkan kekuatan jaringan ordo sufi yang sangat besar. Walaupun dengan kekhususan bahkan mungkin keganjilannya tarekat ini pernah mengalami reaksi dan tantangan keras. Namun dewasa ini, tarekat Tijaniyah di Indonesia telah menjadi tarekat yang mapan di Indonesia. Tarekat ini datang di Indonesia tahun 1920 yang dibawa oleh Syekh Ali bin Abdullah at-Thayib al-Madani al-Azhari dan Syekh Abdul Hamid al-Futi.[2]
Sementara melalui Syekh Ali al-Thayib (anak Syekh Ali bin Abdullah) tarekat Tijaniyah berkembang di Jawa Barat, sedang Syekh Abdul Hamid al-Futi merupakan pembuka utama tarekat ini ke Jawa Timur antara lain ke Surabaya dan Madura. Pada akhirnya para muqaddam tarekat Tijaniyah sepeti Kyai Abbas dan Kyai Anas Buntet telah menjadikan Tijaniyah berkembang menjadi tarekat yang besar melalui muqaddam-muqaddam baru.
Di antara muqaddam itu yang istimewa ialah Kyai Hawi yang menghasilkan tujuh muqaddam yang tersebar di berbagai daerah. Mereka adalah Kyai Abdullah Syifa (Buntet), Kyai Fahim Hawi (Buntet), Kyai Junaedi putera Kyai Anas (Sidamulya), Kyai Muhammad Yusuf (Surabaya), Kyai Muhammad Basamalah (Brebes), Kyai Baidhawi (Sumenep) dan Kyai Rasyid (Pesawahan Cirebon). Kyai Fahim Hawi membariat ustadz Maufur (Klayan Cirebon Utara), Kyai Abdul Mursyid (Kesepuhan) dan Kyai Imam Subki (Kuningan). Di Jawa Timur, Kyai Muhammad Yusuf Surabaya membaiat Kyai Badri Masduki (Probolinggo) dan kyai fauzan Fathullah. Sedang Kyai Baidhawi (Sumenep) membaiat Habib Luqman (Bogor), Kyai Mahfudz (Kesepuhan) dan Nyai Hammad (Kuningan).[3]
Di Cirebon, kegiatan tarekat Tijaniyah mulai muncul sejak 1928 M dibawah pimpinan Kyai Buntet yakni Kyai Abbas dan Kyai Anas. Banyak murid-muridnya yang berdatangan dari Tasikmalaya, Brebes, Tegal dan Banyumas yang kemudian dapat menyebarkan tarekat Tijaniyah ke pelosok Jawa Tengah.
Sejauh ini Syeikh at-Tijani tidak meninggalkan karya tulis tasawuf yang diajarkan dalam tarekatnya. Ajaran-ajaran tarekat ini hanya dapat dirujuk dalam buku-buku karya murid-muridnya, misalnya Jawahir al-Ma’ani wa Biligh al-Amani fi-Faidhi as-Syekh at-Tijani, Kasyf al-Hijab Amman Talaqqa Ma’a at-Tijani min al-Ahzab dan as-Sirr al-Abhar fi-Aurad Ahmad at-Tijani. Dua kitab tersebut ditulis langsung oleh murid Syeikh at-Tijani sendiri, dan dipakai sebagai panduan para muqaddam dalam persyaratan masuk ke dalam tarekat Tijaniyah pada abad ke-19.
Ajaran-ajaran pokok tarekat Tijaniyah adalah membaca istighfar (astaghfiru Allah al-Adzim al-Ladzi la ilaha illa Huwa al-Hayyu al-Qoyyum), membaca shalawat (shalawat al-Fatih li ma ughliq) dan membaca hailalah (la ilaha illa Allah).
Secara umum, praktek dzikir (wirid) dalam tarekat Tijaniyah terdiri dari tiga unsur pokok, yaitu istighfar, shalawat dan hailalah. Inti ajaran dzikir tarekat Tijaniyah adalah sebagai upaya mengosongkan jiwa dari sifat-sifat lupa terhadap Allah dan mengisinya secara terus menerus dengan menghadirkan jiwa kepada Allah melalui dzikir terhadap zat, sifat-sifat, hukum-hukum dan perbuatan Allah.
Bentuk amalan wirid tarekat Tijaniyah terdiri dari dua jenis (1) wirid wajibah, yakni wirid-wirid yang wajib yang diamalkan oleh setiap murid Tijaniyah, tidak boleh tidak, dan yang memiliki ketentuan pengamalan dan waktu serta menjadi ukuran sah atau tidaknya menjadi murid Tijaniyah; (2) wirid ikhtiariyah, yakni wirid yang tidak mempunyai ketentuan kewajiban untuk diamalkan dan tidak menjadi ukuran syarat sah atau tidaknya menjadi murid Tijaniyah.
Bentuk wirid wajibah terdiri dari tiga jenis wirid pokok, yaitu (1) wirid lazimah, (2) wirid wadhifah, dan (3) wirid hailalah.[4] Setiap jenis wirid ini mempunyai ketentuan waktu, isi,dan teknik yang berbeda-beda. Namun, ketiganya harus diamalkan dan dimiliki oleh setiap murid serta menjadi syarat sahnya menjadi murid Tijaniyah.
Isi dan praktek masing-masing jenis wirid tarekat Tijaniyah adalah sebagai berikut:
1. Wirid Lazimah
Wirid ini harus dipraktekkan dua kali setiap hari (pagi dan sore) dan dilakukan secara perseorangan, bacaannya tidak boleh dikeraskan. Untuk waktu pagi pelaksanaannya setelah shalat shubuh sampai waktu dhuha; untuk waktu sore pelaksanaannya setelah shalat ashar. Jika uzur, maka waktu wirid lazimah bisa diamalkan sampai waktu maghrib. Jika waktunya dimajukan, maka lebih utama dilakukan sebelum shubuh.
Praktek wirid lazimah itu adalah sebagai berikut:
a. Membaca hadarat (tawashul) pada Rasulullah, kemudian membaca al-Fatihah 1 X.
b. Membaca hadarat kepada Syekh Ahmad Tijani, kemudian membaca al-Fatihah 1 X.
c. Membaca hadarat untuk para ahli silsilah tarekat Tijaniyah, kemudian membaca al-Fatihah 1 X.
d. Membaca khutbah muqaddimah.
e. Membaca niat (secara talafudz) untuk mengamalkan wirid lazimah (untuk pagi dan sore).
f. Membaca ta'awudz dan al-Fatihah 1 X.
g. Membaca shalawat al-fatih li ma ughliq 1 X.
h. Membaca tasbih, salam,dan tahmid 1 X.
i. Membaca Istighfar; astaghfiru Allah 100 X.
j. Membaca shalawat (biasa) 100 X.
k. Membaca tasbih, salam,dan tahmid 1 X.
l. Membaca tahlil (la ilaha illa Allah ) 99 X, dilanjutkan dengan bacaan la ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah salamullah (dipanjangkan bacaannya).
m. Membaca ta'awwudz dan al-Fatihah 1 X.
n. Membaca shalawat al Fatih li ma ughliq 1 X.
o. Membaca ayat shalawat .
p. Membaca doa.[5]
Isi doa tergantung pada yang berdoa, namun biasanya menggunakan contoh-contoh doa yang lazim digunakan dalam wirid tarekat Tijaniyah.
2. Wirid Wadhifah
Wirid Wadhifah juga harus dikerjakan setiap hari sebanyak 2 X (pagi dan sore atau siang dan malam). Jika selama sehari semalam seorang murid tidak mengerjakan wirid ini sama sekali, maka ia wajib meng-qadha (bayar denda pengamalan), demikian juga ia wajib qadha dalam wirid lazimah. Praktek wirid wadhifah adalah sebagai berikut:
a. Membaca hadarat kepada Rasulullah dan al-Fatihah 1 X.
b. Membaca hadarat kepada Syekh Ahmad Tijani.
c. Membaca hadarat kepada para ahli silsilah tarekat Tijaniyah.
d. Membaca khutbah muqaddimah.
e. Membaca niat (secara talafuzh) untuk mengamalkan wirid wadhifah.
f. Membaca ta'awudz dan al-Fatihah 1 X.
g. Membaca shalawat al-Fatih li ma ughliq 1 X.
h. Membaca tasbih, salam, dan tahmid 1 X.
i. Membaca istighfar (astaghfirullah) 100 X.
j. Membaca shalawat al-Fatih li ma ughliq 1 X.
k. Membaca tasbih, salam, dan tahmid 1 X.
l. Membaca tahlil (la ilaha illa Allah) 99 X, dilanjutkan dengan bacaan la ilaha illa Allah Muhammad Rasulullah salamullah (dipanjangkan bacaannya).
m. Membaca jauharat al-kamal, dan diakhiri dengan membaca tasbih, salam dan tahmid.
n. Membaca doa.
o. Membaca ta'wudz dan al-Fatihah 1 X.
p. Membaca shalawat al-Fatih li ma ughliq 1 X.
q. Membaca ayat shalawat dan diakhiri dengan tasbih, salam dan tahmid.[6]
3. Wirid Hailalah
Selain wirid Lazimah dan Wadhifah, tarekat Tijaniyah juga menganjurkan membaca Hailalah, yang terdiri dari La ilaha illa Allah dan lafal Allah saja dalam jumlah yang tidak dibatasi.[7]
Dalam tarekat Tijaniyah, tekhnik dzikir yang banyak dipraktekkan dalam tarekat Tijaniyah adalah dzikir iqtishadi (pertengahan), yakni membaca dzikir yang sedang antara pelan (khafi) dan keras (jahr). Para penyiar tarekat Tijaniyah berkeyakinan bahwa melestarikan wirid tarekat menyebabkan seseorang akan selamat dari siksa neraka dan selamat dari penghisaban.[8]
Setiap tarekat memiliki satu atau lebih doa kekuatan khusus. Ciri khusus dari dzikir dan wirid yang menjadi andalan penuh tarekat Tijaniyah adalah Shalawat Fatih dan Jauharat al-Kamal. Mengenai shalawat fatih, Syekh at-Tijani mengatakan bahwa dirinya telah diperintahkan untuk mengucapkan doa-doa ini oleh Nabi Saw sendiri. Meskipun pendek, doa itu dianggap mengandung beberapa kebaikan: orang yang membaca sekali, dijamin akan menerima kebahagiaan dari dua dunia; juga membaca sekali akan dapat menghapus semua dosa dan setara dengan 6000 kali semua doa untuk memuji kemuliaan Tuhan, semua dzikir dan doa yang pendek maupun panjang, yang pernah dibaca di alam raya. Orang yang membacanya 10 kali, akan memperoleh pahala yang lebih besar dibanding yang patut diterima oleh sang wali yang hidup selama 10 ribu tahun tetapi tidak pernah mengucapkannya.
Mengucapkannya sekali setara dengan doa seluruh malaikat, manusia, jin, sejak awal penciptaan mereka sampai masa ketika doa tersebut diucapkan, dan mengucapkannya untuk yang kedua kali adalah sama dengannya (yaitu setara dengan pahala dari yang pertama) ditambah dengan pahala dari yang pertama dan yang kedua dan seterusnya. Shalawat al-fatih li ma ughliq lengkapnya:
اللهُمَّ صَّلِّ عَلَى سَيِّدِناَ مُحِمَّدٍ الْفَاتِحِ لِماَ أُغْلِقَ وَ الْخَاتِمِ لِماَ سَبَقَ نَاصِرِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ وَ الْهَادِي إِلَى صِرَاطِكَ الْمُسْتَقِيْمِ وَ عَلَى آلِهِ حَقِّ قَدْرِهِ وِ مِقْدَارِهِ الْعَظِيْمِ
Tentang Jauharat al-Kamal, yang juga diajarkan oleh Nabi Saw sendiri kepada at-Tijani, para anggota tarekat ini meyakini bahwa selama pembacaan ke tujuh Jauharat al-Kamal, asalkan ritual telah dilakukan sebagaimana mestinya, Nabi Saw beserta ke empat sahabat atau khalifah Islam hadir memberikan kesaksian pembacaan itu. Shalawat Jauharat al-Kamal lengkapnya adalah:
اللهُمَّ صَّلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى عَيْنِ الرَّحْمَة الرَّبَّانِيَّةِ وَ الْيَاقُوْتَةِ الْمُتَحّقِّقَةِ الْحَائِطَةِ بِمَرْكَزِ الْفُهُومِ وَ الْمَعَانِيْ وَ نُوْرِ الأَكْوَانِ الْمُتَكَوِّنَةِ الأَدَمِيِّ صَاحِبِ الْحَقِّ الرَّبَّانِيِّ الْبَرْقِ الْأَسْطَعِ بِمُزُونِ الأَرْبَحِ الْمَالِئَةِ لِكُلِّ مُتَعَرِّضٍ مِنَ الْبُحُورِ وَ الأَوَانِيْ وَ نُورِكَ اللَّامِعِ الَّذِي مَلَأْتَ بِهِ كَوْنَكَ الْحَائِطَ بِأَمْكِنَةِ الْمَكَانِيْ اللهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى عَيْنِ الْحَقِّ الَّتِي تَتَجَلَّى مِنْهاَ عُرُوْشُ الْحَقَائِقِ عَيْنِ الْمَعَارِفِ الأَقْوَمِ صِرَاطَكَ التَّامِ الأَسْقَمِ اللهُمَّ صَّلِّ وَ سَلِّمْ عَلَى طَلْعَةِ الْحَقِّ بِالْحَقِّ الْكَنْزِ الأَعْظَمِ أَفَاضَتْكَ مِنْكَ إِلَيْكَ إِحَاطَةِ النُّورِ الْمُطَلْسَمِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ عَلَى آلِهِ صَلاَةً تُعَرِّفُناَ بِهاَ إِيَّاهُ
Dalam mengamalkan wirid, setiap tarekat memiliki tradisi ritual masing-masing. Tradisi ritual dalam tarekat Tijaniyah tidak lepas dari ketentuan-ketentuan dalam praktek wirid Lazimah, Wadhifah dan Hailalah. Tarekat Tijaniyah memiliki beberapa bentuk tradisi ritual, antara lain individual, kolektif, harian, mingguan, bulanan, temporal (pada waktu tertentu) dan tahunan.
Tradisi ritual individual dilakukan oleh setiap murid yang mengamalkan wirid-wirid Lazimah, Wadhifah. Wirid Lazimah dan Wadhifah wajib diamalkan oleh setiap murid tarekat Tijaniyah pada waktu pagi dan sore tanpa harus berjamaah. Berjamah hanya bersifat anjuran.
Tradisi berjamaah dalam tarekat Tijaniyah dilakukan setiap hari Jum’at, khususnya untuk melakukan wirid Hailalah, karena ketentuan pelaksanaan wirid Hailalah harus berjamaah. Tradisi demikian bisa dilakukan oleh para murid dalam jumlah yang banyak yang dipimpin langsung oleh muqaddam. Setiap muqaddam bertugas memimpin langsung wirid Hailalah bagi murid-murid Tijaniyah yang ada di daerah masing-masing.
Tradisi Hailalah, yang dilakukan setiap Jum'at, selain berfungsi untuk wirid, sekaligus sebagai media peningkatan kualitas ilmu pengetahuan bagi murid-murid Tijaniyah. Sebelum wirid dimulai, biasanya ada sambutan yang dilanjutkan dengan pengajian umum membahas tentang akidah, syari’ah, tasawuf, muamalah dan ajaran pokok tarekat Tijaniyah. Yang bertugas mengisi pengajian adalah muqaddam yang ada di daerah bersangkutan, atau muqaddam dari daerah lain secara bergiliran. Selesai pengajian langsung dimulai kegiatan wirid. Tradisi berjamaah Hailalah ini biasanya dilakukan di lokasi yang terdapat banyak murid Tijaniyah dan bertempat di masjid atau mushalla tersebut.[9]
Tarekat Tijaniyah di Indonesia, umumnya memiliki dua macam tradisi hailalah, yang bersifat lokal dan yang bersifat regional diadakan untuk tingkat kabupaten dihadiri oleh seluruh warga Tijaniyah kabupaten. Tradisi demikian biasa dinamakan Ijtma' atau Ijtima' Hailalah. Dalam Ijtima' Hailalah di samping dilakukan wirid hailalah juga sekaligus dilakukan wirid wadhifah dan lazimah. Ijtima' sebagai forum berjamaah, sekaligus berfungsi sebagai forum silaturahmi seluruh warga Tijaniyah di wilayah kabupaten.[10]
Tradisi Ijtima' Hailalah ada yang diadakan secara rutin, satu setengah bulan sekali, ada yang diadakan pada waktu tertentu di luar jadwal rutin sesuaikebutuhan, seperti haul (peringatan hari wafat) Syekh tarekat Tijaniyah atau ulama besar tertentu, dan hari-hari besar Islam seperti Maulid Muhammad, Isra'-Mi'raj, dan halal bi halal.
Dalam tarekat Tijaniyah juga memiliki tradisi ritual tahunan yang disebut 'Id al-Khatmi. Tradisi ritual ini dilaksanakan setiap tanggal 17/18 Safar dalam rangka memperingati hari pengangkatan Syekh Tijani sebagai wali. 'Id al-Khatmi merupakan puncak ijtima' kaum Tijaniyah seluruh Indonesia. Tradisi ritual 'Id al-Khatmi ditetapkan di tempat-tempat yang berbeda di Indonesia, berdasarkan restu sesepuh muqaddam tingkat nasional.
[1] Laily Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, cet. III, 2002, hlm. 285
[2] M. Muhsin Jamil, Tarekat dan Dinamika Sosial Politik: Tafsir Sosial Sufi Nusantara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, cet.I, 2005, hlm. 101
[3] Ibid.,hlm. 102.
[4] Sri Mulyati, et al., Mengenal dan memahami Tarekat-tarekat Muktabarah di Indonesia, Kencana, Jakarta, 2005, hlm. 236.
[5] Misbahul Anam dan Ustadz Manshur Irsan, Menggapai Derajat Ma'rifat Billah, Pondok Pesantren al-Um, Jakarta, cet. 1, 2000, hlm. 64
[6] Ibid., hlm. 65
[7] Sayyid Abdullah Dahlan, Tarekat Tijaniyah Suatu Pertanyaan, Terj. Bahrun Abu Bakar Ihsan, Andamera Pustaka, Jakarta, 1987, hlm. 35
[8] Ibid., hlm.33
[9] Sri Mulyati, et al., Op.Cit., hlm. 245
[10] Ibid., hlm. 245-246
No comments:
Post a Comment