KEBEBASAN MANUSIA MENURUT ISLAM

freedom
Dalam al-Qur’an menekankan supremasi dan keagungan Tuhan. Di pihak lain, diantara seluruh makhluk, manusia telah diberi potensi yang paling besar dan dipercayai memikul amanat dengan seluruh makhluk lainnya. Manusia selain merupakan makhluk biologis yang sama dengan makhluk hidup lainnya, adalah juga makhluk yang mempunyai sifat-sifat tersendiri yang berbeda dari segala makhluk dunia lainnya. Manusia tidak semata-mata tunduk pada kodratnya dan secara pasif menerima keadaannya, tetapi ia selalu secara sadar dan aktif menjadikan dirinya sesuatu. Proses perkembangan manusia sebagian ditentukan oleh kehendaknya sendiri, berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya yang sepenuhnya tergantung pada alam.
Manusia dikatakan bebas mengandung dua pengertian, yaitu ia mampu untuk menentukan diri sendiri dan ia tidak dibatasi oleh orang lain atau masyarakat dalam kemungkinannya untuk menentukan diri. Kebebasan pertama bersifat positif: sebagai suatu kemampuan yang ada pada manusia. Kebebasan yang kedua bersifat negatif: sebagai tidak adanya pembatasan.[1]
Kedua segi kebebasan itu perlu dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan: kedua-duanya merupakan satu kebebasan manusia. Manusia dari subyek kebebasan mempunyai kedudukan yang penting dalam Islam sehingga Islam mempunyai pandangan tersendiri terhadap manusia diantaranya yaitu:
1. Al-Qur’an dan as-Sunnah selalu meminta agar manusia mengisi hidupnya dengan bekerja untuk mempertahankan hidupnya dengan bekerja untuk memanfaatkan apa yang Allah telah ciptakan di muka bumi ini.
Manusia sebagai khalifah Allah di muka bumi harus menggunakan kebebasan berbuat yang dimilikinya itu sebagai itu wakil Tuhan untuk memakmurkan bumi dan meningkatkan kualitas dirinya dengan merealisasikan segala perintah dan larangannya. Sedangkan posisi manusia sebagai hamba Allah tidak boleh mempunyai sikap fatalis dan statis akan tetapi dalam perhambaannya kepada Allah haruslah tetap selalu disertai memiliki kepedulian dan peningkatan kualitas kehidupannya di dunia dan tidak boleh membencinya.
Posisi sebagai khalifah dan hamba Allah adalah bukan merupakan dua hal yang bertentangan akan tetapi merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Manusia bisa mempunyai kemampuan dan kekuatan yang hebat dan mengagumkan. Akan tetapi manusia juga memiliki kelemahan dan kekurangan yang tidak bisa diatasinya serta mempunyai keterbatasan yang tidakbisa dilampauinya.
2. Manusia adalah makhluk termulia dari seluruh ciptaan Tuhan.[2]
Keseluruhan alam semesta diciptakan baginya dan tunduk kepada tujuan-tujuannya. Bahwa tujuan manusia adalah mempelajari alam semesta, hukum-hukum susunan batinnya sendiri dan proses sejarah, untuk kemudian menggunakan pengetahuan ini demi kebaikan, dan bahwa aktivitas yang memiliki tujuan ibadat atau pengabdian kepada Tuhan merupakan tujuan dari penciptaan manusia, bahkan tujuan dari penciptaan seluruh makhluk.
3. Manusia adalah suatu problem, suatu persoalan bagi dirinya sendiri.
Manusia terikat pada hukum alam, hukum tidak dapat membuat manusia tanpa alat tidak dapat menembus alam tanpa pesawat dan alat-alat khusus yang diadakan untuk itu. Manusia dilindungi oleh hukum-hukum alam. Manusia dalam garis besarnya telah dapat menentukan masa depannya. Hal ini dapat membawa pada paham determinisme yaitu paham yang menyatakan bahwa manusia itu bebas tidak terikat oleh sesuatu yang lain. Manusia sebenarnya tidak mempunyai kemerdekaan dan kebebasan yang tidak terdapat. Kebebasan manusia dibatasi oleh unsur materi yang terdapat dalam dirinya. Jadi, kebebasan manusia tidak mengandung arti kebebasan tidak terbatas.
4. Manusia adalah makhluk Tuhan yang sangat istimewa, bahkan setinggi tingkatannya apabila dibandingkan dengan makhluk-makhluk Tuhan yang lain, misalnya hewan.
Kelebihan manusia dari hewan itu, antara lain terletak pada hal-hal sebagai berikut:
a. Manusia memiliki bentuk jasmani yang lebih baik dan lebih cantik daripada hewan.
b. Disamping itu manusia juga memiliki rohani atau jiwa yang sempurna.
c. Manusia diberi beban oleh Tuhan untuk dijadikan sebagai khalifah di muka bumi.[3]
Berkaitan dengan pandangan tersebut Islam juga memandang manusia mempunyai kebebasan seperti yang akan dipaparkan di bawah ini:
1. Kebebasan dalam al-Qur’an
Dalam al-Qur’an banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang kebebasan manusia diantaranya adalah surat Fushilat ayat 46 yang berbunyi:
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا فَلِنَفْسِهِ وَ مَنْ أَساَءَ فَعَلَيْهَا وَ مَا رَبُّكَ بِظَلاَّمٍ لِلْعَبِيْدِ
Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) atas dirinya sendiri; dan sekali-kali tidaklah Tuhanmu menganiaya hamba-hamba-(Nya).
Dalam ayat tersebut dijelaskan tentang amal yang saleh atau yang buruk seluruhnya disandarkan kepada manusia itu sendiri. Andaikata manusia itu tidak merdeka dan tidak bebas untuk memilihnya tentunya tidaklah akan disandarkan perbuatannya itu diatas dirinya.
Surat Asy Syuro ayat 30, yang berbunyi:
وَ مَا أَصَابَكُمْ مِنْ مُصِيْبَةٍ فَبِمَا كَسبَتْ أَيْدِيْكُمْ وَ يَعْفُوْ عَنْ كَثِيْرٍ
Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu).
Jadi, keburukan-keburukan dan bencana-bencana yang diderita oleh seseorang itu hanyalah sebagai bekas atau kesan dari hasil perbuatannya sendiri dan itu pulalah yang merupakan buah dan natijah dari cara pilihan dan pemikirannya yang merdeka dan bebas. Berkaitan dengan adanya kerusakan atau marabahaya yang selalu meliputi diri manusia dijelaskan bahwa itu semua bukanlah karena perbuatan manusia itu sendiri. Ada perbuatan manusia yang menurut hukum dapat dipertanggung-jawabkan karena perbuatan itu dilakukan dalam ketiadaan (kehendak bebas).
2. Kebebasan berkaitan dengan akal
Dalam struktur rohani manusia ada satu potensi yang dinyatakan dengan perkataan ratio (latin), akal (bahasa Arab: ‘aqal), budi (bahasa Sansekerta: buddi), akal budi (satu perkataan yang tersusun dari Bahasa Arab dan Bahasa Sansekerta), nous (bahasa Yunani), reason (Bahasa Perancis dan Inggris), verstand, vernuft (bahasa Belanda) dan vernunft (bahasa Jerman). Secara umum akal budi berarti suatu potensi dalam rohani manusia yang berkesanggupan untuk mengerti sedikit secara teoritis realita kosmis yang mengelilingnya dalam mana ia sendiri juga termasuk, dan untuk secara praktis merobah dan mempengaruhinya.
Berfikir adalah suatu gejala nafsiah yang bisa menghubungkan apa-apa yang kita ketahui. Ia merupakan proses dialektis. Artinya, selama kita berfikir, dalam fikiran itu terjadi tanya jawab, untuk bisa meletakkan hubungan-hubungan antara ketahuan kita itu dengan tepat.
Akal adalah suatu daya yang hanya dimiliki manusia, dan oleh karena itu dialah yang memperbedakan manusia dari makhluk lain. Akal adalah tonggak kehidupan manusia dan dasar kelanjutan wujudnya. Peningkatan daya akal merupakan salah satu dasar pembinaan budi pekerti mulia yang menjadi dasar dan sumber kehidupan dan kebahagiaan bangsa-bangsa.
Kata eksistensi berasal dari kata Latin existere, dari ex keluar: dan sitere: membuat berdiri. Artinya apa yang ada, apa yang memiliki aktualitas, apa saja yang dialami. Konsep ini menekankan bahwa sesuatu itu ada. Eksistensi berbeda dengan pengertian esensi. Jika esensi lebih menekan “apanya” sesuatu, sedangkan eksistensi menekankan “apanya” sesuatu yang sempurna. Dengan kesempurnaan ini sesuatu itu menjadi suatu eksisten. Hikmahnya adalah, ketidakmampuan akalnya mengetahui makhluk yang mendampinginya (ruh) merupakan bukti nyata ketidakmampuannya sama sekali untuk mengetahui Zat Khaliknya.[4]
Kebebasan eksistensial adalah kemampuan manusia untuk menentukan tindakannya sendiri. Kemampuan itu bersumber pada kemampuan manusia untuk berfikir dan berkehendak dan terwujud dalam tindakan. Eksistensi berarti keadaan yang aktual, yang terjadi dalam ruang dan waktu, eksistensi menunjukkan kepada “suatu benda yang ada disini dan sekarang”. Eksistensi berarti bahwa jiwa atau manusia diakui adanya atau hidupnya.
Pembicaraan akal ini berkaitan pula dengan berfikir. Berfikir adalah proses dari kebebasan akal yang menjadi eksistensi akal tersebut. Sebab sumber kebebasan akal potensi-potensi manusia itu sendiri yang menjadikannya mampu berfikir dan tidak bisa memiliki potensi maka manusia tersebut mesti bebas.


[1] Yustina Rostiawati, Etika Sosial, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1993, hlm. 18-19
[2] Fazlur Rahman, Penyunting Taufik Adnan Amal, Metode dan Alternatif Neomodernisme Islam, Mizan, Bandung, 1987, hlm. 90
[3] Humaidi Tatapangarsa, Kuliah Aqidah Lengkap, Bina Ilmu, Surabaya, 1990, hlm. 13-15
[4] Yahya Shaleh Basalamah, Manusia dan Alam Gaib, Pustaka Firdaus, Jakarta, 1991, hlm. 154



































No comments:

Post a Comment