Secara bahasa kata ikhlas berasal
dari bahasa Arab: (خَلَصَ – خُلُوصاً - خِلاَصاً) yang artinya murni, tiada bercampur, bersih, jernih.[1] Ikhlas secara bahasa
berbentuk mashdar, dan fi’ilnya adalah akhlasha. Fi’il tersebut berbentuk mazid.
Adapun bentuk mujarrad-nya adalah khalasha. Makna khalasha
adalah bening (shafa), segala noda hilang darinya. Jika dikatakan khalashal
ma’a minal kadar (air bersih dari kotoran), artinya air itu bening.
Jika dikatakan dzahaban khalish
(emas murni) artinya emas yang bersih tidak ada noda di dalamnya. Dalam hal ini,
emas tidak dicampuri oleh partikel lain seperti perunggu dan lain sebagainya.[2] Ikhlas adalah menyaring sesuatu
sampai tidak lagi tercampuri dengan yang lainnya. Kalimatul ikhlas
adalah kalimat tauhid yaitu laa ilaaha illallah. Surah ikhlas adalah surat qul huwallahu ahad,
yaitu surat tauhid.
Dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui
bahwa makna ikhlas secara bahasa adalah suci (ash-shafa’), bersih (an-naqi),
dan tauhid. Adapun ikhlas dalam syariat Islam adalah sucinya niat, bersihnya hati
dari syirik dan riya serta hanya menginginkan ridha Allah semata dalam segala
kepercayaan, perkataan dan perbuatan.[3] Berkaitan dengan ikhlas, imam
Nawawi mengungkapkan bahwa:
الإِخْلاَصُ بِأَنْ
طَهُرَتْ حَوَاسُهُ الظَّاهِرَةُ وَ الْبَاطِنَةُ مِنَ الأَخْلاَقِ الذَّمِيْمَةِ
Ikhlas
yaitu membersihkan panca indranya dengan lahir dan batin dari budi pekerti yang
tercela.[4]
Sementara ikhlas menurut al-Imam asy-Syahid,
sebagaimana dikutip oleh Ramadhan, adalah sebuah sikap kejiwaan seorang muslim yang
selalu berprinsip bahwa semua amal dan jihadnya karena Allah Swt. Hal itu ia
lakukan demi meraih ridha dan kebaikan pahala-Nya, tanpa sedikitpun melihat
pada prospek (keduniaan), derajat, pangkat, kedudukan, dan sebagainya.[5] Arberry dalam bukunya Sufism
An Account Of The Mystics Of Islam, mengatakan ikhlas (sincerity) that
is, seeking only God in every act of obedience to Him.[6] Ikhlas atau ketulusan hati
yaitu, yang dalam setiap perbutannya ditujukan hanya semata-mata karena Tuhan.
Adapun beberapa pendapat guru tasawuf
mengenai ikhlas, sebagaimana dikutip oleh imam al-Ghazali, antara lain sebagai
berikut: As-Susi berkata, “Ikhlas adalah hilangnya pandangan keikhlasan. Karena,
barangsiapa melihat keikhlasan di dalam ikhlasnya, maka ikhlasnya memerlukan keikhlasan.”
Sahl ditanya, “Apakah yang paling sulit bagi diri?” Ia menjawab, “Ikhlas, karena
ia tidak mempunyai bagian di dalamnya.” Ia pun pernah berkata, “Ikhlas adalah
diam dan geraknya hamba hanyalah karena Allah Swt semata.” Al-Junaid mengatakan
bahwa, “Ikhlas adalah membersihkan perbuatan dari kotoran.”[7]
Dalam perspektif sufistik, ikhlas di
samping sebagai bagian dari maqam yang perlu dilalui oleh seorang sufi untuk
mendekatkan diri kepada Allah Swt, juga merupakan syarat sahnya suatu ibadah. Jika
amal perbuatan diibaratkan sebagai badan jasmani, maka ikhlas adalah roh atau jiwanya.
Hal ini berbeda sekali dengan pandangan ulama fiqih yang menganggap bahwa
ikhlas bukanlah syarat sahnya suatu ibadah.
Dari beberapa pengertian di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa ikhlas adalah mengerjakan suatu amal perbuatan
semata-mata hanya untuk mendapatkan ridha dari Allah Swt, bukan untuk meraih
pamrih duniawi, dengan tidak mengharapkan
pujian dari manusia dan senantiasa menjaga niatnya dengan benar.
Sesungguhnya jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka tidak akan diterima sehingga
amal itu haruslah ikhlas dan benar.
Adapun ikhlas artinya amal itu dikerjakan
karena Allah, dan benar jika amal itu dikerjakan berdasarkan aturan agama. Jadi,
ikhlas adalah berbuat sesuatu dengan tidak ada pendorong apa-apa melainkan semata-mata
untuk ber-taqarrub kepada Allah Swt, serta mengharapkan keridhaan-Nya saja.
Keikhlasan yang demikian tidak akan tercipta melainkan dari orang yang
betul-betul cinta kepada Allah Swt, dan tidak ada tempat sedikitpun dalam hatinya
untuk mencintai keduniaan.
[1] Munawir & Al-Bisri, Kamus
Al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), hlm. 171.
[2] Abu Farits, Tazkiyatunnafs,
terj. Habiburrahman Saerozi, (Jakarta:
Gema Insani, 2006), Cet. II, hlm. 15.
[3] Ibid, hlm. 16.
[4] Imam Nawawi as-Syafi’i al-Qadiri,
Bahjatul Wasaail Bisyarhi Masaail, (Semarang: Maktabah Wamatbaah “Karya
Thoha Putra”, tt.), hlm. 32.
[5] Ramadhan, Quantum Ikhlas,
terj. Alek Mahya Shofa, (Solo: Abyan, 2009), hlm. 9.
[6] Arberry, Sufism An Account
Of The Mystics Of Islam, (London: George Allen & Unwin Ltd, t.th), hlm.
77.
[7] Al-Ghazali, Mutiara Ihya
Ulumuddin, (Bandung: Mizan, 2008), hlm. 412.
No comments:
Post a Comment