LARANGAN MENIKAH

Manusia adalah makhluk yang lebih dimuliakan dan di utamakan Allah dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya. Allah telah menetapkan adanya aturan tentang perkawinan bagi manusia dengan aturan-aturan yang tidak boleh dilanggar. Orang tidak boleh berbuat semaunya. Allah tidak membiarkan manusia berbuat semaunya seperti binatang, kumpul dengan lawan jenis hanya menurut seleranya, atau seperti tumbuh-tumbuhan yang kawin dengan perantaraan angin. Allah telah memberikan batas dengan peraturan-peraturan-Nya, yaitu dengan shariat yang terdapat dalam Alquran dan sunnah Rasul-Nya dengan hukum-hukum perkawinan.[1]
Demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaan manusia Allah memberikan hukum sesuai dengan martabatnya berupa pernikahan. Sehingga hubungan laki-laki dan wanita diatur secara terhormat dan berdasarkan saling meridhai, yang dengan dilaksanakannya akad nikah sebagai lambang adanya rasa ridha meridhai, dengan dihadiri para saksi yang menyaksikan kedua pasangan laki-laki dan perempuan telah saling terikat.[2]
Allah telah mensyariatkan pernikahan dengan berbagai tujuan dan hikmahnya. Di samping itu, Hukum perkawinan Islam juga menganjurkan seorang muslim untuk bersikap selektif dalam menentukan calon pasangan hidupnya. Yakni bisa memilih mana yang boleh untuk dinikahi dan mana yang tidak boleh dinikahi. Walaupun pada dasarnya seorang laki-laki berhak memilih wanita mana saja yang akan dinikahinya, begitu pula sebaliknya. Namun, terdapat batasan-batasan yang mana batasan ini bersifat larangan.[3]
Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqh Sunnah menyebutkan tidak semua perempuan dapat dinikahi. Akan tetapi, perempuan yang akan menikah disyaratkan bukan mahram bagi laki-laki yang akan menikahinya, baik keharaman tersebut bersifat abadi atau selamanya (al-tahrim al-mu’abbad) maupun keharaman yang bersifat sementara (al-tahrim al-mu’aqqat). Keharaman yang bersifat abadi atau selamanya menyebabkan seorang perempuan haram dinikahi oleh laki-laki selamanya. Sedangkan keharaman yang bersifat sementara hanya mengharamkan perempuan untuk dinikahi oleh seorang laki-laki dalam kurun waktu tertentu dan dalam kondisi tertentu. Dimana jika kondisi tersebut berubah maka ia menjadi halal.[4]




[1] H.S.A. Al-Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta: Pustaka Amani, 2002), 2.
[2] Muhammad Thalib, Perkawinan Menurut Islam, (Surabaya : Al-Ikhlas, 1993), 1.
[3] Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta : Liberty, 2007) 31.
[4] Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, 2, (Beirut Lebanon: Dar El-Fikr, 2006), 153.

1 comment: