ULAMA DUNIA DAN ULAMA AKHIRAT


Umat yang tidak dibimbing oleh ulama akan menjadi umat yang sesat. Mereka dapat terjerumus oleh godaan syetan ke lembah kehidupan yang hina. Oleh karena itulah, betapa pentingnya kehadiran ulama di tengah-tengah masyarakat. Para ulama adalah seumpama lampu yang terang menerangi jalan yang benar, menjadi wakil Allah di atas bumi. Ulama adalah lambang iman dan harapan umat, memberikan petunjuk dan menyelamatkan manusia dari segala bencana.
Sejarah bangsa telah mengukir berbagai peran yang diperankan oleh para ulama. Kerukunan umat beragama pada dekade 1970-1980-an telah berhasil terbina dengan baik berkat dukungan para ulama, sehingga kerukunan itu dapat mengokohkan persatuan dan kesatuan bangsa yang menjadi modal pembangunan negara dan bangsa selama ini. Ulama berperan melalui komunikasi interpersonal yang dilakukan melalui ceramah-ceramah dan khutbah di masjid-masjid, dan di negara-negara pembangunan (yang baru berkembang) paling tidak ada tiga kelompok pemimpin resmi (pemerintah), pemimpin tidak resmi (tokoh Agama), dan pemimpin adat.
Menurut al-Munawar bahwa ulama adalah orang-orang yang memiliki pengetahuan luas tentang ayat-ayat Allah, baik bersifat kawniyyah (fenomena alam) maupun bersirat Qur’aniyyah yang mengantarkan manusia kepada pengetahuan tentang kebenaran Allah, dan memberikan pencerahan kepada masyarakat bukan memanfaatkannya.
  Menurut Imam Abu Hamid Muhammad bin Ahmad al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin menuturkan bahwa ulama terbagi menjadi dua, yakni ulama dunia (ulama su’) dan ulama akhirat.
1.     Ulama dunia (ulama su’) 
Yang dimaksud dengan ulama dunia (ulama su’) adalah mereka yang mempergunakan ilmu pengetahuannya untuk mendapatkan kesenangan dan kepuasan duniawi semata, menjadikan sebagai jembatan untuk mencapai pangkat dan kedudukan semata.[1] Ketahuilah bahwa pangkal kesesatan ulama su’ yaitu pada niat dan amalan mereka, hati mereka dapat diketahui dari indikator-indikator yang nampak dari amal perbuatannya. Kita telah mengenal ulama ad-din, yakni orang baik-baik dengan sebutan ulama akhirat, sedangkan ulama su’ adalah mereka yang menyeleweng yang juga disebut ulama dunia.
Menurut Imam Ghazali, ulama dunia digambarkan oleh Allah Swt dalam firman-Nya surat (Ali Imran (3): 82):
وَ إِذْ أَخَذَ اللهُ مِيْثقَ الَّذِيْنَ أُوتُوا الْكِتَابَ لِتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَ لاَ تَكْتُمُونَهُ فَنَبَذُوهُ وَ رآءَ ظُهُورِهِمْ وَ اشْتَرَوا بِهِ ثَمَناً قَلَيْلاً فَبِئْسَ ماَ يَشْتَرُونَ
Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi kitab (yaitu): “Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia, dan jangan kamu menyembunyikannya," lalu mereka melemparkan janji itu ke belakang punggung mereka dan mereka menukarnya dengan harga yang sedikit. Amatlah buruknya tukaran yang mereka terima.” (QS, Ali Imran (3): 187)
Setiap ulama yang diidealkan oleh al-Qur’an bukanlah sekedar citra manusia berilmu saja, melainkan sekaligus manusia yang bermoral. Oleh karena itu, ulama bukan orang yang yang memiliki ilmu melainkan harus disertai sikap istislam (menyerah), takut, dan tunduk kepada Allah. Rasulullah juga bersabda dalam masalah ini dalam hadisnya:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْماً لِغَيْرِ اللهِ أَو أَرَادَ بِهِ غَيْرَ اللهِ فَلْيَتَبَوَّءْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa yang mempelajari suatu ilmu hukum karena Allah, dan tidak mencarinya melainkan bukan karena Allah, maka Allah akan menempatkan ke dalam neraka.” (HR. Tirmidzi)[2]
Dalam hadis yang lain beliau bersabda,
مَنْ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ لِيُجَارِيْ بِهِ العلم أَو يُمَارِي بِهِ السُّفَهَاء أَو يُصْرَ بِهِ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللهُ النَّارَ
Barangsiapa yang mempelajari ilmu untuk membanggakan diri di hadapan para ulama, atau mendebat orang-orang yang bodoh, atau mengalihkan pandangan manusia kepada dirinya, maka Allah akan memasukan dia ke nereka.” (HR. Tirmidzi)[3]
Di dalam kitab Akhlaq Ulama, karya Syekh Abu Bakar Muhammad al-Ghazali dijelaskan mengenai ciri-ciri ulama dunia (ulama su’) di antaranya:
1)     Ulama yang orientasinya hanyalah demi kebahagian duniawi sebagaimana yang dilarang agama.
2)     Ia (ulama su’) tertimpa kefakiran dan tidak puas dengan anugerah Allah.
3)     Pikiran materialistis senantiasa mengendalikan jiwanya, sedangkan kehidupan ukhrawi hampir lenyap dari ingatannya.[4]
2.     Ulama Akhirat
Adapun pengertian ulama akhirat adalah ulama yang tidak termasuk klasifikasi di atas. Dalam hal ini, al-Ghazali mengaitkan ulama akhirat dengan surat Ali Imran (3): 199, yang berbunyi:
وَ إِنَّ مِنْ أَهْلِ الْكِتبِ لَمَنْ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَ ماَ أُنْزِلَ إِلَيْكُمْ وَ ماَ أُنْزِلَ إِلَيْهِمْ خشِعِيْنَ للهِ لاَ يَشْتَرُونَ بِئآيتِ اللهِ ثَمَناً قَلِيْلاً أُولئِكَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِنْدَ رَبِّهِمْ إِنَّ اللهَ سَرِيْعُ الْحِسَابِ
Dan Sesungguhnya diantara ahli kitab ada orang yang beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kamu dan yang diturunkan kepada mereka sedang mereka berendah hati kepada Allah dan mereka tidak menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit. Mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya.  Sesungguhnya Allah Amat cepat perhitungan-Nya.” (QS. Ali Imran (3): 199)
Adapun karekteristik ulama akhirat menurut Imam Ghazali adalah sebagai berikut:[5]
1.     Tidak mencari kemegahan dunia dengan menjual ilmunya dan tidak memperdagangkan ilmunya untuk kepentingan dunia. (QS. Ali Imran (3): 199).
2.     Konsekuen terhadap perkataannya, artinya perilakunya sesuai dengan ucapannya dan tidak menyuruh orang untuk berbuat kebaikan sebelum ia mengamalkannya. (QS. Al Baqarah (2): 44)
أَتَأْمُرُونَ النَّاسَ بِالْبِرِّ وَ تَنْسَونَ أَنْفُسَكُمْ وَ أَنْتُمْ تَتْلُونَ الْكِتبَ أَفَلاَ تَعْقِلُونَ
Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban)-mu sendiri, Padahal kamu membaca Al kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (QS. Al Baqarah (2): 44). 
3.     Mengamalkan ilmunya untuk kepentingan akhirat, senantiasa mendalami ilmu pengetahuan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Allah, dan menjauhi perdebatan yang sia-sia.
4.     Mengejar kehidupan dengan mengamalkan ilmunya dan menunaikan berbagai ibadah.
5.     Menjauhi godaan penguasa yang jahat.
6.     Tidak cepat mengeluarkan fatwa sebelum ia menemukan dalilnya dari al-Qur’an dan al Sunnah.
7.     Senang terhadap ilmu yang dapat mendekatkan diri kepada Allah, cinta kepada musyahadah (ilmu yang menyingkap kebesaran Allah), muraqabah (ilmu yang mencintai perintah Alah dan menjauhi larangan-Nya), dan optimis terhadap rahmat-Nya.
8.     Berusaha sekuat-kuatnya untuk mencapai derajat haqqul yaqin.
9.     Senantiasa khasyyah kepada Allah, ta’dzim atas segala kebesaran-Nya, tawadhu‟ hidup sederhana dan berakhlaq mulia terhadap Allah maupun sesamanya.
10. Menjauhi ilmu yang dapat membatalkan amal dan kesucian hati.
11. Memiliki ilmu yang berpangkal dalam hati, bukan di atas kitab, ia hanya taklid kepada hal-hal yang telah diajarkan Rasulullah Saw.[6]



[1] Imam Al-Ghazali., Ihya Ulum Al Din, (Beirut: Dar Al ikr, tth), h. 61.
[2] Abi Isa Muhâmmad bin Surah, Sunan Tirmidzi; (Beirut: dar al-Fikr, 1994), J. IV, h. 195, Kitab Ilmi, No. Hadis 2664.
[3] Abi Isa Muhâmmad bin Surah, Sunan Tirmidzi; (Beirut: dar al-Fikr, 1994), J. IV, h. 259-296, Kitab Ilmi, No. Hadis 2659
[4] Imam Mawardi, ZI, Abdullah Faqih, Wahai Ulama Kembalilah kepada Umat, h. 2659.
[5] Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, (Mesir: Dar al Bayan Li al Turats, 1987), Cet. Ke-I, h. 92.
[6] Imam Ghazali, Ihya „Ulumuddin, Sulaiman MaraI (ttp: Singapura, tth), Juz I, h. 60-68.

No comments:

Post a Comment