HUTANG PIUTANG DANA ZAKAT


Sistem hutang piutang yang sering terjadi sudah menggunakan qar al-asan sebab orang yang berhutang tidak dikenakan kelebihan pembayaran diawal akad, hanya saja ketika diakhir akad atau akad sudah berakhir orang yang berhutang memberikan fee atau hadiah sebagai tanda terimakasih dan jumlah kelebihan yang diberikan orang yang berhutang tidak ada kesepakatan. 
Sifat al-Qar tidak memberi keuntungan finansial. Karena itu, pendanaaan qardh dapat diambil menurut kategori berikut:
1.     Al-Qar yang diperlukan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat dari berjangka pendek. Talangan dana di atas diambilkan dari modal.
2.     Al-Qar yang diperlukan untuk membentuk usaha sangat kecil dan keperluan sosial, dapat bersumber dari dana zakat, infak, dan sedekah.
Di samping sumber dana umat, para praktisi dan juga ulama, melihat adanya sumber dana lain yang dapat dialokasikan untuk qar al asan, yaitu pendapatan-pendapatan yang diragukan. Salah satu pertimbangan pemanfaatan dana-dana ini adalah kaidah akhaf fudhararain (mengambil mudarat yang lebih kecil). Hal ini mengingat jika dana umat Islam dibiarkan dilembaga-lembaga non muslim mungkin dapat digunakan untuk sesuatu yang merugikan Islam, misalnya dana kaum muslimin arab di Bank-bank Yahudi Switzerland. Oleh karenanya, dana yang parkir tersebut lebih baik diambil dan dimanfaatkan untuk penanggulangan bencana alam atau membantu duafa’.[1]
Jika bertitik tolak pada penjelasan diatas pada point 2 dijelaskan bahwa dana zakat boleh saja dihutangkan untuk memanfaatkan dana orang muslim agar bisa manfaat kepada orang muslim yang lain sebab jika dana ini dikelola oleh non muslim bisa jadi akan merugikan orang muslim tetapi perlu diingat bahwa dana yang dihutangkan tidak boleh mengambil keuntungan sebab dalam akad qar tidak diperbolehkan mengambil keuntungan dari uang atau dana yang dihutangkan. 
Diperbolehkan jika uang kelebihan yang didapat dari akad qar tersebut untuk biaya administrasi atau hadiah dan hal ini tidak terjadi diawal akad melainkan terjadi ketika pertengahan akad atau saat berakhirnya akad. Barang yang dibolehkan dalam qar yaitu harta yang satuan barangnya tidak berbeda yang mengakibatkan perbedaan nilainya, seperti barang-barang yang ditakar, ditimbang, dijual satuan dengan ukuran yang tidak jauh berbeda antara yang satu dengan yang lain.[2] Sesuai dengan al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 188, sebagai berikut:
وَ لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَ تُدْلُوا بِهاَ إِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوا فَرِيْقاً مِنْ أَمْوالِ النَّاسِ بِالإِثْمِ وَ أَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Dan janganlah kamu makan harta diantara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.” (Qs. Al-Baqarah: 188)
Atas dasar ini maka perjudian, penipuan, perampasan, pengingkaran hak, dan lain-lain tidak diperbolehkan. selain itu, jika ada yang melangsungkan akad, maka pihak yang bertransaksi haruslah pemilik barang tersebut atau wakil dari pemilik barang tersebut atau wakil dari pemilik barang atau yang diberi wasiat.[3] Jelas bahwa amil zakat melakukan praktik hutang piutang dengan menggunakan dana yang bukan miliknya penuh, amil berwenang mendayagunakan dana zakat tersebut, selama mustahik telah mendapatkan hak miliknya dengan cara didistribusikan terlebih dahulu, sesuai dengan pasal 27 ayat (2) Undang-undang  No. 23 tahun 2011 tentang pengelolaan  zakat. Dalam hal ini, hak mustahik tergolong pada posisi hak pertengahan, di mana ia dapat menuntut kepemilikan atas dana zakat tersebut.
Praktik hutang piutang harta zakat, ditinjau dengan menggunakan malahah mursalah tidak tepat. Karena, faktanya hampir separuh peminjam menunggak dalam pengembalian utangnya, bahkan kebanyakan adalah bukan dari kalangan mustahik, yang lebih berhak atas dana zakat itu agar mereka dapat menjadi muzakki. Ditinjau dengan teori saad aż żarī’ah, praktik peminjaman zakat māl, dengan sistem yang sudah diterapkan sekarang tidak tepat, bahkan perlu dihindari agar tidak terjadi kemafsadatan. Akan tetapi, akan menjadi maslahat jika pengelolaannya menggunakan sistem yang tepat dan tertata, khususnya menyikapi peminjam yang menunggak, ditambah kebanyakan bukan dari kalangan mustahik. Akhirnya dana berhenti di tangan peminjam tersebut, dan mustahik akan lebih sulit untuk menjadi muzakki. Selain itu, praktek ini akan lebih maslahah jika dilakukan setelah mustahik mendapat hak-haknya dari zakat.  
Dalil berlakunya qar al-asan terdapat pada al-Quran surat al-Hadīd ayat 11, sebagai berikut;
مَنْ ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللهَ قَرْضاً حَسَناً فَيُضعِفهُ لَهُ وَ لَهُ أَجْرٌ عَظِيْمٌ
Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, Allah akan melipat gandakan (balasan) pinjaman itu untuknya dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.”  (Qs. al-Hadīd: 11).8
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah mengajak berinfaq pada jalan-Nya serta menjanjikan kepada orang yang mau melakukannya dengan harapan mendapat pahala, maka Tuhannya akan melipat-gandakan pahala infaq itu dengan memberikan satu kebajikan menjadi tujuh ratus kali dan akan memperoleh balasan yang tidak terhingga di dalam surga. Yang menjadi landasan dalil dalam ayat ini adalah kita disuruh untuk “meminjamkan kepada Allah”, artinya untuk membelanjakan harta dijalan Allah. Selaras dengan meminjamkan kepada Allah, kita juga disuruh untuk “meminjamkan kepada sesama manusia”, sebagai bagian dari kehidupan bermasyarakat.[4]
Maka dari itu hutang piutang dana zakat yang terjadi harus sesuai dengan ketentuan qar al-asan agar tidak keluar dari ketentuan syariah. Selaras dengan hukum yang berlaku untuk akad qar al-asan dalam fatwa DSN ditentukan bahwa dalam hal yang demikian LKS dapat:
a.     Memperpanjang jangka waktu pengembalian
b.     Menghapus write off sebagian atau seluruh kewajibannya.[5]



[1] Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana Pranada Media, 2012), 336
[2] Wahbah Zuhaily, al-Fiqh al-Islam wa Adillātuhu, jilid 5, terj Abdul Hayyie al  Kattanai, (Jakarta: Gema Insani, 2011), 377
[3] Imam  al- Qurthubi, Tafsir Al-Qurthubi, alih bahasa Ahmad Rijali Kadir (Jakarta: Pustaka Azam, 2008), hal 788.
[4] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2001), 132.
[5] DSN MUI, Qarḍ, Fatwa DSN MUI. No. 19/DSN-MUI/IV/2001 Tentang Qarḍ, 3.

No comments:

Post a Comment