PENGAMALAN HADIS DHA’IF AHMAD IBN HANBAL DALAM FADHAIL AL-A‘MAL


Pola pemikiran Ahmad Ibn Hanbal dipengaruhi oleh beberapa gurunya. Diantara guru beliau di bidang hadis adalah Imam Syafi‘i, Hasyim Ibn Bashir, Abd al-Rahman Ibn al-Mahdi, Abd al-Razaq Ismail Ibn Uyainah, Sufyan Ibn Uyainah, Yahya Ibn Said al-Qattan dan yang lainnya. Beliau juga sempat berguru kepada Abu Yusuf yang terkenal sebagai seorang tokoh fiqih, akan tetapi beliau lebih menitik-beratkan kepada hadisnya.
Ketokohan Ahmad Ibn Hanbal sebagai muhaddits dapat juga dilihat dari metode penetapan hukum Islam, di mana ia dalam menetapkan hukum selalu berpegang dengan nash, baik dari al-Qur’an, hadis, fatwa sahabat, memilih pendapat sahabat yang mendekati pada al-Qur’an atau hadis, hadis mursal dan hadis dha’if dan senantiasa menghindar dari penggunaan qiyas kecuali jika benar-benar terpaksa.
Ahmad Ibn Hanbal sebagaimana para Muhaddits pada umumnya. Mereka memandang diri Rasulullah sebagai uswah hasanah (contoh teladan yang baik), bukan sebagai sumber tasyri’. Oleh karena itu, mereka termasuk Ahmad Ibn Hanbal menerima dan meriwayatkan hadis yang diterima mereka tentang diri Rasulullah secara utuh tanpa melakukan klasifikasi apakah hadis tersebut berkaitan dengan penetapan hukum atau tidak.[1] Dalil yang mereka gunakan adalah firman Allah:
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانِ يَرْجُو اللهَ وَ الْيَومَ الآخِرَ وَ ذَكَرَ اللهَ كَثِيْراً
Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan yang banyak mengingat Allah.”
Prinsip para muhaddisin tersebut berbeda dengan prinsip para fuqaha dan ahli ushul al-fiqh yang memandang Rasulullah sebagai pengatur undang-undang yang menerangkan kepada manusia tentang aturan-aturan kehidupan. Mereka berargumentasi dengan firman Allah:
وَ ماَ آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَ ماَ نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَ اتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ الْعِقَابِ
Dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.”
Hal ini semakin jelas jika dihubungkan dengan situasi dan kondisi sosial pada masa hidup Ahmad Ibn Hanbal. Di mana saat itu Baghdad merupakan sentral madrasat al-ra’y, aliran yang banyak menggunakan rasio dari pada hadis, hal itu sangat dijauhi oleh Ahmad Ibn Hanbal. 
Ahmad Ibn Hanbal hidup pada masa pertengahan dinasti Abbasiyah, dimana aliran Muktazilah sedang mencapai kesuksesannya, karena khalifah al-Makmun menjadikan aliran Muktazilah tersebut sebagai mazhab resmi negara dan memaksakan untuk dianut oleh para pejabat dan tokoh masyarakat. Menurut Yusuf Qardawi, mereka adalah sebodoh-bodohnya manusia dan paling berani terhadap Rasulullah. Mereka tidak hanya mengingkari hadis dha’if, tetapi juga mendustakan hadis-hadis mutawatir, mereka lebih mendewakan rasio (akal).
Pada dasarnya ulama menolak penggunaan hadis dha’if sebagai hujjah. Hadis dha’if baru dapat dijadikan hujjah oleh ulama-ulama tertentu apabila telah memenuhi syarat-syarat yang cukup ketat. Penolakan penggunaan hadis dha’if itu didasarkan pada keyakinan bahwa hadis itu sangat sulit dipertanggung jawabkan berasal dari Nabi baik dari sisi sanad ataupun matan-nya. Karena berasal dari perbedaan persepsi dalam penilaian suatu hadis, maka muncul perbedaan ulama dalam pengamalan hadis dha’if.[2]
Berikut pendapat ulama terhadap fungsi hadis dha’if untuk diamalkan ataupun tidak diamalkan:
1.     Tidak boleh memakai hadis dha’if secara mutlak, baik untuk fadhail al-a‘mal ataupun dalam bidang hukum, yang dipelopori oleh Ibn Sayyid an-Nas, Abu Bakar ibn al-‘Arabi, al-Bukhari, Muslim dan Ibn Hazm. Demikian juga Pendapat al-Shihab al-Khafaji dan al-Jalal al-Dawani. Pendapat ini dipilih dengan alasan bahwa fadhail al-a‘mal itu seperti fardhu dan haram, karena semuanya adalah syara’ dan karena pada hadis-hadis shahih, hadis-hadis hasan terdapat jalan lain selain hadis-hadis dha’if.
2.     Mengamalkan hadis dha’if secara mutlak, baik yang berkaitan dengan fadhail al-a‘mal maupun yang berkaitan dengan masalah hukum, dengan syarat tidak ada hadis lain yang menerangkannya. Pendapat ini dipelopori oleh Abu Daud dan Ahmad ibn Hanbal, Abdurrahman al Mahdi dan Abdullah ibn Mubarak. Pendapat ini berkaitan dengan hadis yang tidak terlalu dha’if karena hadis yang sangat dha’if itu ditinggalkan oleh para ulama. Di samping itu hadis yang dimaksud harus tidak bertentangan dengan hadis lain.
3.    Mengamalkan hadis dha’if untuk fadhail al-a‘mal dan nasehat kebajikan (tarhib dan targhib) dengan syarat-syarat tertentu. Ibn Hajar al-Asqalani memberikan syarat-syarat pengamalan hadis-hadis dha’if, yaitu: 
a.  Hadis tersebut harus berupa hadis-hadis yang berkenaan dengan fadhail al-a‘mal
b.  Ke-dha’if-an hadis tersebut tidak boleh terlalu dha’if, semisal hadis yang perawinya hanya terdiri dari pendusta, orang yang dicurigai berdusta, dan orang yang memiliki kekeliruan yang parah.
c.  Hadis tersebut masuk dalam kandungan asal (berupa ayat atau hadis shahih atau hadis pokok yang dapat diamalkan. 
d. Dalam mengamalkan hadis-hadis tersebut tidak boleh diyakini ketetapannya (artinya pasti dari Nabi), namun harus berkeyakinan untuk ihtiyath (bersikap hati-hati).  
Ahmad Ibn Hanbal adalah salah seorang yang dinyatakan sebagai pendukung hadis dha’if, baik secara mutlak atau hanya terbatas pada fadhail al-a‘mal. Demikian juga, salah satu metode penetapan hukumnya menyebut hadis dha’if. Disamping itu ada pernyataan Ahmad Ibn Hanbal yang menunjukkan bahwa hadis dha’if lebih disukai olehnya untuk diamalkan dari pada qiyas.
Ibn Qayyim dan Ibn Taymiyah dua orang murid Ahmad Ibn Hanbal memberikan klarifikasi mengenai ungkapan gurunya. Menurut kedua muridnya itu, hadis dha’if disini bukanlah hadis yang senantiasa dipahami dengan hadis bathil, hadis munkar, bukan pula para riwayatnya yang dicurigai akan adanya kedustaan sehingga dilarang mengambil dan mengamalkannya, akan tetapi yang dimaksud dengan hadis dha’if menurut Ahmad Ibn Hanbal adalah lawan dari hadis shahih yang merupakan bagian dari hadis hasan, karena pada masa beliau pembagian hadis masih terbagi dua yaitu hadis shahih dan hadis hasan
Al-Khatib dalam kitab al-Kifayah telah meriwayatkan berikut sanadnya dari Imam Ahmad yang mengatakan bahwa apabila kami meriwayatkan hadis dari Rasulullah mengenai masalah halal dan haram, sunnah-sunnah dan hukum-hukum, maka kami akan memperketat penilaian sanad-sanadnya. Apabila membahas masalah keutamaan beramal dan hal-hal yang tidak merendahkan hukum atau meninggikannya, maka kami mempermudah dalam penilaiannya. Selanjutnya, dia mengatakan bahwa hadis-hadis yang menyangkut masalah raqa’iq (yang mempertebal keimanan) dapat diberi kelonggaran selama tidak berkaitan dengan masalah hukum.




[1] Utang Ranuwijaya, Ilmu Hadis, (Jakarta: Gaya Media Utama, 1998), 7.
[2] Surydilaga, dkk. Ulumul Hadis, 280.

No comments:

Post a Comment