Term/kata ulama
disebutkan dalam al-Qur’an sebanyak dua, pertama terdapat di surat asy-Syu’ara
ayat 197 dan kedua terdapat di surat al-Fatir ayat 28. Akan
tetapi untuk mendapatkan pengertian ulama secara komprehenshif penulis mendasarkan
pada ayat-ayat yang secara langsung menyinggung kata ulama maupun tidak,
seperti hanya QS. az-Zumar ayat 9, surat Ali Imron ayat 164, surat al-Baqarah
151 dan lain sebagainya.
Dalam merumuskan
kaitannya dengan konsep ulama penulis membagi dengan empat kategori, yakni karakteristik, kedudukan, tugas dan keutamaan ulama. Ketika M. Quraish Shihab
memaparkan karakter ulama, dia mendasarkan pada dua ayat, yaitu QS. asy-Syuara
ayat 197 dan al-Fatir ayat 28.
M. Quraish Shihab
menjelaskan bahwa kata ulama yang terdapat dalam surat asy-Syu’ara ayat 97
terambil dari kata (عَلِمَ) ālima
(orang yang mengetahui). Pengetahuan disini menurutya adalah orang yang
memiliki pengetahuan tentang al-Qur’an dan tidak terbatas hanya kepada
orang-orang Muslim, siapapun yang memiliki pengetahuan tersebut, dia-lah yang
disebut ulama.
Hal ini disebabkan karena M. Quraish Shihab dalam menafsirkan ayat
memperhatikan konteks ayat yang turun pada waktu itu yaitu mereka orang-orang
Bani Israil mengetahui tentang sifat al-Qur’an sebagai wahyu Allah dan
kebenaran sifat-sifat yang disandangnya karena sesuai dengan apa yang mereka
ketahui melalui kitab suci mereka, bahkan mengetahui pula kebenaran
kandungannya.
Selanjutnya M.
Quraish Shihab juga memperhatikan gaya bahasa atau kosa kata dan munāsabah
ayat yaitu hubungan dengan ayat sebelumnya ataupun sesudahnya. Ini
terlihat ketika dia menafsirkan kata ulama, yaitu orang yang mengetahui tentang
al-Qur’an, hal ini karena ayat sebelumnya menjelaskan berkaitan al-Qur’an dan Nabi
Muhammad yang telah disebutkan dalam kitab-kitab terdahulu seperti hanya Injil,
Zabur, Taurat. Akan tetapi, orang-orang tidak mau mempelajarnya dan juga
menolak kebenaran kitab al-Qur’an dan Nabi Muhammad. Padahal ulama Bani Israil
mengetahui akan perkara tersebut.
Lain pula ketika M.
Quraish Shihab menafsirkan ayat kedua surat al-Fatir ayat 28. Dalam pernyataannya
yang dimaksud ulama disini adalah seseorang yang mengetahui, baik berkaitan
dengan ilmu agama ataupun fenomena alam, serta dengan pengetahuannya
mengantarkan dirinya Khasyah (memiliki rasa takut) kepada Allah. Khasyah
dimaksudkan disini menurut pakar bahasa al-Qur’an, ar-Raghīb al-Ashfăhănī, adalah
rasa takut ya ng disertai penghormatan yang lahir akibat pengetahuan tentang
objek.
Penyataan di dalam al-Qur’an bahwa yang memiliki sifat tersebut hanya ulama,
mengandung arti bahwa yang tidak memilikinya bukanlah ulama.
Penafsiran M.
Quraish Shihab terhadap ayat kedua tentu berbeda, yaitu jika ayat pertama
merujuk kata ulama hanya orang yang memiliki pengetahuan tentang al-Qur’an,
maka ayat yang kedua cakupannya lebih luas. M. Quraish Shihab menafsirkan surat
al-Fatir ayat 28, yaitu dengan merujuk pada akar kata ulama adalah bentuk jamak
dari kata (عَالِمٌ) ālim
yang berarti (mengetahui secara jelas). Karena itu, semua kata yang terbentuk
oleh huruf-huruf ain, lam, mīm selalu menunjuk kepada kejelasan, seperti (عَلَمَ) ‘alam/bendera, (عَالَمٌ) ălam/alam raya makhluk yang memiliki rasa dan atau kecerdasan,
(عَلاَّمَة)
alămah/alamat.
M. Quraish Shihab
juga menambahkan munassabah ayat sebagai penunjang untuk menafasirkannya
sebagaimana dijelaskan dalam ayat sebelumnya (surat al-Fatir [35] ayat 27)
bahwa al-Qur’an menyinggung tentang fenomena alam, yaitu meliputi proses
penurunan hujan, dan dari hujan tersebut tumbuh-tumbuhan akan menghasilkan
buah-buahan yang beraneka ragam jenisnya, serta keaneka ragaman tentang
penggambaran gunung. Oleh karenanya, M. Quraish Shihab mengisyaratan bahwa
pengetahuan tentang fenomena alam begitu penting dan bila diantara kita
memiliki pengetahuan berkaitan dengan fenomena alam dalam dan dengan
pengetahuannya mengantarkan dirinya takut kepada Allah maka orang tersebut bisa
dikatakan ulama.
Pandangan berbeda
datang dari ahli tafsir Sayyid Muhammad Husain at-Ṭabaṭaba‟ī dalam tafsirnya al-Mizān. Dia menjelaskan
bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah orang-orang yang mengerti akan dzat
Allah, nama-namanya, sifat-sifat dan perbuatannya secara sempurna, yang dapat
menenangkan hati mereka, menghilangkan rasa ragu-ragu dari hatinya, bekasnya
akan nampak dalam semua amalnya, lalu semua perbuatan dan perkataannya akan
menjadi benar. Yang dimaksud dengan khasyah adalah benar-benar takut dan
kekhusyukan batinnya dan kerendahan ḍzohirnya akan selalu menyertainya.
Ṭabaṭaba‟ī lebih lanjut juga
menjalaskan dalam tafsirnya bahwa kata: Innamā yakhsyallaha min ‘ibādihil
ulamā, adalah ‘adat isti’naf. Kata innamā menjelaskan bahwa ibarat ayat ini memberikan bekas
dan mewariskan iman kepada Allah secara hakikat, dan takut yang sebenarnya
hanya terdapat pada ulama bukan orang-orang bodoh. Sungguh telah lewat bahwa
peringatan hanya bisa dilalui oleh mereka (ulama) sebagaimana firman Allah:
إِنَّماَ تُنْذِرُ الَّذِيْنَ يَخْشَونَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ وَ
أَقامُوا الصَّلاَةَ
Sesungguhnya yang
dapat kamu beri peringatan hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya,
(sekalipun) mereka tidak melihat-Nya dan mereka mendirikan sholat. (QS. al-Fatir, ayat
18).
Maka ayat ini
seperti menjelaskan terhadap makna ayat Innamā yakhsyallaha yang
menjelskan bahwa takut yang secara hakikat hanya bisa ditemukan pada diri
ulama.
Yang dimaksud
dengan ulama adalah orang-orang yang mengerti akan dzat Allah, nama-namanya,
sifat-sifat dan perbuatannya secara sempurna yang dapat menenangkan hati
mereka, menghilangkan rasa ragu-ragu dari hatinya, bekasnya akan nampak dalam
semua amalnya lalu semua
perbuatan dan perkataannya akan
menjadi benar. Yang dimaksud dengan khasyah adalah
benar-benar takut dan kekhusyukan batinnya dan kerendahan dzohirnya akan selalu
menyertainya.
Pendapat yang sama
diungkapkan oleh Ṭahir Ibn ‘Ᾱsyūr dalam Tafsir At-Tahrīr wa At-Tanwīr,
bahwa yang dimaksud dengan ulama adalah orang-orang yang mengetahui tentang
Allah dan syariat. Sebesar kadar pengetahuan tentang hal itu, sebesar itu juga
kadar kekuatan khasyah/takut.
Lebih lanjut Ibnu ‘Ᾱsyūr menjelaskan terkait kata innamā
merupakan ‘adat qosor iḍhofi yang bertujuan untuk pengkhususan makna.
Maksudnya adalah orang-orang bodoh tidak akan takut kepada Allah, karena mereka
adalah ahlu syirik, terlebih orang-orang yang memiliki sifat-sifat seperti itu
termasuk orang-orang jahiliyyah (tidak memiliki pengetahuan). Orang-orang
mukmin, pada saat itu adalah para ulama, dan sebaliknya orang-orang musyrik
yang tidak memiliki rasa takut kepada Allah bukan ulama. Kemudian ulama dalam
tingkat ketakutannya sangat berbeda-berbeda.
Didahulukan kata yahsya
dari fa’il-nya karena sesungguhnya bertujuan untuk pembatasan. Hal
tersebut ditunjukan kepada ulama, yakni orang yang takut kepada Allah maka
mengakhirkan fa’il hukumnya wajib daripada mengakhirkan fi’il-nya, dan
perlu diketahui bahwa Ṭahir Ibn ‘Ᾱsyūr dalam menafsirkan surat al-Fatir ayat
28 lebih menitik beratkan pada gaya bahasa.
Berdasarkan
penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa menurut M. Quraish Shihab, pengertian
ulama dalam al-Qur’an adalah orang yang mempunyai pengetahuan yang jelas
tentang ilmu agama, kitab suci dan ayat-ayat Allah lainnya yang ada di muka bumi, yang dengan
pengetahuannya itu menghantarkan orang tersebut memiliki khasyah (rasa takut)
kepada Allah. Inilah konsep ulama menurut penulis dengan mengacu penafsiran M,
Quraish Shihab atas surat asy-Syu’ara ayat 197 dan kedua terdapat di surat
al-Fatir ayat 28.
Di sini juga dapat
diketahui bahwa hal yang mempengaruhi penafsiran M. Quraish Shihab atas
ayat-ayat tersebut adalah metode/pendekatan yang ia gunakan dalam menafsirkan
ayat-ayat tersebut, sebagaimana telah dijelaskan bahwa M. Quraish Shihab dalam
menafsirkan ayat ayat tersebut menggunakan beberapa pendekatan, antara lain: kosa kata atau gaya bahasa, munāsabah
ayat, konteks sosial historis, baik pada
waktu turunnya ayat atau kondisi dari mufassir sendiri.
Mengenai kedudukan
ulama, M. Quraish Shihab mendasari pada QS. Al-Fatir [35]: 32 yang menjelaskan
tentang pewarisan al-Kitab kepada hamba-hamba yang telah dipilih oleh Tuhan
yakni Nabi Muhammad. Dalam konteks ini memang M. Quraish Shihab tidak secara
langsung menyinggung ayat terkait ulama, melainkan kenabian. Hal ini menunjukan
bahwa ulama adalah pewaris para nabi sebagaimana sabda Rasul:
إِنَّ الْعَلَماَءَ وَرَثَةُ الأَنْبِيَاءِ
“Sesungguhnya
ulama adalah pewaris para nabi.”
Ayat yang
dikemukakan di atas akan lebih jelas hubungannya dengan apa yang diwariskan
oleh para nabi kepada ulama sekaligus fungsi yang harus mereka emban bila
dihubungkan juga dengan surat al-Baqarah [2]: 213, yang berkesimpulan bahwa Tuhan
mengutus nabi-nabi dan memberikan kepada mereka kitab-kitab suci agar
masing-masing, melalui kitab suci, memberikan keputusan atau pemecahan terhadap
apa-apa yang diperselisihkan atau dipersoalkan dalam masyarakat. Menurut
hemat penulis bahwa kedudukan ulama yang dimaksud surat al-Fatir ayat 32 yaitu
sebagai pewaris Nabi.
Berkenan dengan
tugas seorang ulama M. Quraish Shihab menitik beratkan pada ayat tentang kenabian
lagi, yaitu QS. Al-Baqarah [2]: 129. Dalam tafsir al-Misbah, dia menjelaskan
setidaknya ada tiga tugas seorang Nabi, yakni: Pertama, membacakan
al-Qur’an, Kedua, mengajarkan al-Qur’an, dan Ketiga, yakni menyucikan
diri dari segala hal yang berbau maksiat.
Pendapat yang senada
juga disampaikan oleh Prof. Dr. Hamka dalam tafsir al-Azhar, beliau
menjelaskan bahwa ketika Nabi Ibrahim berdo’a kepada Allah supaya anak cucunya
nanti dikemudian hari menjadi seorang Rasul dan Membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, yaitu perintah-perintah Ilahi untuk memupuk
atau menjelaskan kepada
seseorang tentang keesaan
Tuhan. “Dan mengajarkan kepada mereka khitan dan hikmat.”
Kitab yang dimaksud
ialah kumpulan daripada wahyu-wahyu yang diturunkan oleh Allah, yang bernama
al-Qur’an dan hikmat adalah kebijaksanaan di dalam cara menjalanan perintah baik
di dalam perkataan, atau perbuatan atau sikap hidup Nabi itu sendiri, yang akan
dijadikan contoh dan teladan bagi umatnya. Wayuzakkīhim, untuk
membersihkan diri mereka baik jasmani maupun rohani.
Lebih lanjut Ahmad Musthofa
al-Maraghi dalam kitab tafsirnya juga memaparkan bahwa yang dimaksud dengan (وَ يُعَلِّمُكُمُ الْكِتبَ وَ
الْحِكْمَةَ) mengajarkan al-Qur’an kepada mereka, di samping
rahasia-rahasia syariat dan tujuan-tujuannya dengan peragaan amal dihadapan
umat Islam, sehingga dapat dijadikan sebagai teladan bagi mereka, baik
perkataan ataupun perbuatan.
Sedangkan kalimat (وَ يُزَكِّيْهِمْ) kemudian
ia bersihkan diri dari kemusyrikan dan segala bentuk yang maksiat yang merusak jiwa
dan mengotori akhlak, di samping meruntuhkan tatanan sosial, juga akan menuntun
mereka di dalam membiasakan diri beramal baik, sehingga tertanamlah naluri kebaikan yang mendapatkan
ridha Allah.
Dari beberapa
pendapat di atas penulis dapat mengambil kesimpulan bahwa M. Quraish Shihab dalam
menafsirkan berkaitan dengan tugas ulama yang mendasarkan pada ayat kenabian, tidak
jauh berbeda mufassir yang lainya, yaitu membacakan al-Qur’an, mengajarkan al-Kitab
dan menyucikan diri dari segala hal yang berbau maksiat.
Selanjutnya berkaitan
dengan keutamaan ulama, M. Quraish Shihab menyinggunya dalam QS. al-Zumar [39]:
9, dia menjelaskan bahwa penekanan pada ayat tersebut yaitu tentang keutamaan
seseorang yang mengetahui dengan yang tidak mengetahui. Pengetahuannya yang dimaksud ialah tentang ilmu
pengetahuan yang bermanfaat, baik sosial ataupun agama. Kedua ilmu tersebut
begitu penting karena pada hakikatnya semua ilmu adalah dari Allah.
Interpretasi yang dijelaskan
di atas sama halnya dengan yang disampaikan oleh Syaikh Abu Bakar Jabir
al-Jazairi dalam tafsir al-Aisar, dia berkesimpulan bahwa dalam QS.
Az-Zumar: 9 menjelaskan terkait keutamaan bagi orang yang berilmu atas orang yang
bodoh. Dan seandainya orang yang berilmu tidak mengamalkan ilmunya, niscaya
kedudukan mereka akan sama. Pernyataan Syakih Abu Bakar juga mengandung peringatan
yang keras terutama bagi orang yang memilki ilmu yang enggan mengamalkannya.
Berbeda juga dengan
pandangan Ahmad Musthofa al-Maraghi, dia menafsirkan kata (يَعْلَمُون) mengetahui, maksudnya mengetahui balasan ketika seseorang melakukkan
ketaatan pada Tuhan, dan mengetahui hukuman yang akan mereka terima apabila mereka
bermaksiat kepada-Nya. Sedangkan kata (لاَ يَعْلَمُونَ) tidak mengetahui, maksudnya yaitu orang-orang yang merusak amal
perbuatan mereka secara membabi buta, sedang terhadap amal-amal mereka yang baik
tidak mengarapkan kebaikan, dan terhadap amal-amal yang buruk mereka tidak
takut kepada keburukan.
Sedangkan ayat lain
yang berkenaan dengan keutamaan ulama yaitu surat al-Mujadallah ayat 11. Dalam
ayat tersebut, M. Quraish Shihab menjelaskan kalimat (الَّذِيْنَ أُوتُوا الْعِلْمَ) orang yang
diberi ilmu pengetahuan, adalah mereka yang beriman dan menghiasi diri mereka
dengan pengetahuan. Seseorang yang senantiasa melakukkan shalat, dzikir,
beramal shaleh dan bertaqwa kepada Allah tanpa didasari dengan adanya ilmu, niscaya
amal ibadah mereka kurang sempurna. Seperti hanya seseorang melakukkan shalat tanpa
dilandasi dengan ilmu maka shalatnya rusak. Inilah yang menjadi titik yang
begitu penting dari ayat dia atas dimana ilmu pengetahuan dan keimanan seseorang
harus selaras tidak boleh berdiri sendiri.
Pendapat yang
hampir sama diungkapkan oleh Dr. Wahbah Zuhaili dalam tafsir al-Wasith,
dia menjelaskan bahwa Allah secara khusus mengangkat kedudukan para ulama hingga
beberapa tingkatan yang tinggi, dalam bentuk kehormatan di dunia dan di akhirat.
Ini membuktikan bahwa keutamaan orang yang memiliki ilmu atau ulama lebih tinggi
dari pada yang lainnya.
Dari penjelasan di atas
bisa ditarik kesimpulan bahwa konsep ulama menurut M. Quraish Shihab adalah
seorang yang memiliki pengetahuan yang jelas terhadap agama, al-Qur’an, ilmu fenomena
alam serta dengan pengetahuan tersebut menghantarkannya
memiliki rasa khasyah (takut)
pada Allah dan mempunyai kedudukan sebagai pewaris Nabi yang mampu mengemban tugas-tugasnya
serta memiliki derajat yang tinggi disisi-Nya.