Sertifikasi
halal merupakan langkah awal pencantuman label halal, proses mendapatkan sertifikasi
halal, yaitu melalui MUI yang memiliki perangkat yaitu LP POM dan komisi fatwa.
LP POM melakukan pegkajian dan pemeriksaan dari tinjauan sains terhadap produk
yang akan disertifikasi. Jika berdasarkan pendekatan sains telah didapatkan
kejelasan maka hasilnya dibawa ke komisi fatwa yang akan dibahas dari tinjauan syariah.
Pertemuan
sains dan syariah inilah yang akan dijadikan dasar penetapan fatwa oleh komisi
fatwa, yang selanjutnya dituangkan dalam bentuk sertifikat halal oleh MUI. Jadi,
sertifikasi halal adalah suatu fatwa tertulis dari Majelis Ulama Indonesia
(MUI) yang menyatakan kehalalan suatu produk sesuai dengan syari’at Islam.
Adapun
kriteria produk sertifikat halal yaitu:
1. Produk tidak mengandung babi atau
produk-produk yang mengandung babi.
2.
Tidak mengandung bahan-bahan yang diharamkan
seperti: bahan-bahan yang berasal dari
organ manusia, darah, kotoran-kotoran dsb.
3.
Semua bahan yang berasal dari
hewan halal yang disembelih menurut tata cara syari’at islam.
4.
Semua makanan dan minuman tidak
mengandung khamar.
5. Semua tempat yang digunakan dalam
proses pembuatan harus dalam keadaan bersih dan digunakan untuk hal-hal yang
berkaitan dengan babi.
Sertifikasi juga
menjadi keharusan bagi produsen, berbagai peraturan yang mendorong sertifikai
halal adalah sebagai berikut:
1.
Menurut UU No. 7 / 1996 tentang
pangan, pasal 30 yang mengatakan bahwa LABEL memuat sekurang-kurangnya
keterangan mengenai:
a.
Nama produk.
b.
Daftar bahan yang digunakan.
c.
Berat bersih atau isi bersih.
d.
Nama dan alamat perusahaan
(produsen/importir).
e.
Keterangan tentang halal.
f.
Tanggal, bulan dan tahun
kadaluarsa.
Pasal 41, juga
yang mengatakan bahwa produsen bertanggung jawab atas keamanan pangan yang
diproduksi.
2.
UU No.8 / 1999 tentang
perlindungan konsumen. Pasal 4 huruf C mengatakan konsumen berhak atas
informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau
jasa.
Pasal 8 ayat
(1) huruf h mengatakan, pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan
barang dan/atau jasa yang tidak mengikuti ketentuan berproduksi secara halal sebagaimana
pernyataan halal yang dicantumkan dalam label.
Setiap produsen
yang mengajukan sertifikat halal bagi produknya, diwajibkan mengisi formulir
yang telah disediakan dengan melampirkan:
1.
Spesifikasi dan sertifikasi halal bahan
baku, bahan tambahan dan bahan penolong serta bagan alur proses produksi.
2.
Sertifikat halal atau surat
keterangan halal dari MUI daerah (produk lokal) atau sertifikat halal dari lembaga
Islam yang telah diakui oleh MUI (produk impor) untuk bahan yang berasal dari hewan
dan turunanya.
3.
Sistem jaminan halal yang
diuraikan dalam panduan halal beserta prosedur baku pelaksanaanya.
Adapun proses
sertifikasi halal yang dilakukan LP POM MUI adalah sebagai berikut:
1.
Tim auditor LP POM MUI melakukan pemerikasaan
atau audit ke lokasi produsen setelah formulir beserta lampiran-lampiranya dikembalikan
ke LP POM MUI dan diperiksa kelengkapanya.
2.
Hasil pemeriksaan atau audit dan
hasil labolatorium dievaluasi dalam rapat tenaga ahli LP POM MUI. Jika telah memenuhi
persyaratan, maka dibuat laporan hasil udit untuk diajukan kepada Sidang Komisi
Fatwa MUI untuk diputuskan status kehalalanya. Sidang Komisi Fatwa MUI dapat menolak laporan hasil audit jika dianggap
belum memenuhi semua persyaratan yang telah ditentukan.
3.
Sertifikat halal dikeluarkan oleh majelis
ulama Indonesia setelah ditetapkan status kehalalanya oleh Komisi Fatwa MUI.
4.
Perusahaan yang produknya telah
mendapat sertifikat halal, harus mengangkat auditor halal internal sebagai bagian
dari sistem jaminan halal. Jika kemudian ada perubahan dalam penggunaan bahan baku,
bahan tambahan atau bahan penolong pada proses produksinya, auditor halal
internal diwajibkan segera melaporkan untuk mendapat “ketidak beratan penggunaanya”.
Bila ada perusahaan yang terkait dengan produk halal hasil dikonsultasikan dengan
LP POM MUI oleh auditor halal internal.
No comments:
Post a Comment