A. Pendahuluan
Berbicara mengenai pendidikan, tema diskusi dan seminar yang marak akhir-akhir ini adalah tentang pendidikan karakter, bukan hanya karena terpengaruh oleh isu yang dilontarkan oleh Menteri Pendidikan Nasional tentang tema dalam Peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun 2010 ini, “Pendidikan Karakter untuk Membangun Peradaban Bangsa”, tetapi juga karena keprihatinan yang sama di berbagai kalangan masyarakat.
Berbagai diskusi itu diselenggarakan untuk mencari akar penyebab, dan selanjutnya jika mungkin berusaha menemukan jalan keluarnya, untuk mengurangi rasa prihatin itu. Sudah barang tentu persoalan itu bukan hal ringan, bisa dijawab dengan cepat dan mudah. Persoalannya sudah sedemikian berat dan rumit. Ada berbagai variabel penyebab yang terlanjur terjadi, dan tidak bisa dihapus. Kemerosotan akhlak tersebut adalah merupakan akibat, sedangkan sebab-sebab yang mendahului sudah terjadi, dan karena itu tidak akan mungkin dihilangkan atau ditarik kembali.[1]
Jika ingin mengurai, mengapa keadaan tersebut terjadi, kiranya perlu merenungkan peristiwa-peristiwa beberapa tahun terakhir di negeri ini. Sejak tahun 1998 yang lalu, ketika terjadi reformasi, sehari-hari di kampus-kampus, hingga di kota-kota kecil, dan bahkan di tingkat desa terjadi demonstrasi yang seolah-olah tidak ada henti-hentinya. Dalam setiap demo itu selain mereka membawa poster-poster bernada protes, juga melontarkan teriakan-teriakan yang bernada mengolok-olok, dan bahkan juga menghujat terhadap mereka yang dianggap keliru atau salah dalam mengambil kebijakan.[2]
Maka dalam waktu yang cukup lama, muncul generasi yang pekerjaannya sehari-hari menyalahkan terhadap generasi sebelumnya. Siapapun dianggap salah, apalagi pejabat pemerintah. Dengan begitu sopan santun terhadap generasi tua, termasuk terhadap orang tua, guru, pemimpin menjadi hilang. Kewibawaan menjadi tidak ada. Yang terjadi adalah menyalahkan dan menuduh. Keadaan seperti itu, maka otomatis menghilangkan tradisi yang sekian lama dipelihara, misalnya menghormat kepada orang tua, pemimpin, guru dan seterusnya.[3]
Generasi muda yang telah kehilangan figur mulai merasa bahwa dia yang paling benar dan jika dia disalahkan akan dengan mudah mengembalikan kepada mereka yang telah menuduhnya salah. Prestasi akademik yang membanggakan dirasa cukup baginya untuk menutupi kekeliruan-kekeliruan akhlak yang diperbuat. Sehingga harapan masyarakat Indonesia untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dapat diibaratkan seperti telur di ujung tanduk.
Wacana tentang pendidikan karakter yang dikenal oleh dunia telah digagas oleh Dr. Thomas Lickona, seorang profesor pendidikan dari Cortland University pada tahun 1991, namun menurut penulis, penggagas pembangunan karakter pertama kali adalah Rasulullah SAW. Pembentukan watak yang secara langsung dicontohkan Nabi Muhammad SAW merupakan wujud esensial dari aplikasi karakter yang diinginkan oleh setiap generasi. Secara asumtif bahwa keteladanan yang ada pada diri Nabi menjadi acuan perilaku bagi para sahabat, tabi’in dan umatnya. Namun, sampai abad 15 sejak Islam menjadi agama yang diakui universal ajarannya, penerapan pendidikan karakter justru dipelopori oleh negara-negara yang penduduknya minoritas muslim.
Namun, untuk mewujudkan generasi Qur’ani sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah bukan pekerjaan yang mudah. Ia harus diusahakan secara teratur dan berkelanjutan baik melalui pendidikan informal seperti dalam keluarga, pendidikan formal atau melalui pendidikan non formal (masyarakat). Generasi Qur’ani tidak lahir dengan sendirinya, tetapi ia dimulai dari pembiasaan dan pendidikan dalam keluarga, misalnya menanamkan pendidikan agama yang sesuai dengan tingkat perkembangan-nya, sebagaimana hadits Nabi: “Perintahlah anak-anakmu mengerjakan shalat, lantaran ia sudah berumur 7 tahun, pukullah mereka setelah mereka berumur 10 tahun dan pisahkan tempat tidurmu dan tempat tidur mereka” (HR. Abu Daud).[4]
Dalam kaitan ini, maka nilai-nilai akhlak mulia hendaknya ditanamkan sejak dini melalui pendidikan agama dan diawali dalam lingkungan keluarga melalui pembudayaan dan pembiasaan. Kebiasaan itu kemudian dikembangkan dan diaplikasikan dalam pergaulan hidup kemasyarakatan. Di sini diperlukan kepeloporan para pemuka agama serta lembaga-lembaga keagamaan yang dapat mengambil peran terdepan dalam membina akhlak mulia di kalangan umat.[5]
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan diangkat dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pengertian pendidikan karakter?
2. Bagaimana Hadits mengkaji tentang konsep pendidikan karakter?
C. Pembahasan
1. Pengertian pendidikan karakter
Istilah karakter digunakan secara khusus dalam konteks pendidikan baru muncul pada akhir abad ke 18, terminologi karakter mengacu pada pendekatan (approach) idealis spiritualis dalam pendidikan yang juga dikenal dengan teori pendidikan normatif, dimana yang menjadi prioritas adalah nilai-nilai transenden yang dipercaya sebagai motivator dan dinamisator sejarah, baik bagi individu maupun bagi perubahan sosial.[6]
Doni A. Koesoema menengarai pendidikan karakter sudah dimulai dari Yunani. Dari zaman inilah dikenal konsep arête (kepahlawanan) dari bangsa Yunani, kemudian konsepsi Socrates yang mengajak manusia untuk memulai tindakan dengan “mengenali diri sendiri” dan “ilusi pemikiran akan kebenaran”. Doni A. Koesoema juga menjelaskan keseluruhan historis pendidikan karakter dengan urutan: homeros, hoseiodos, Athena, Socrates, Plato, Hellenis, Romawi, Kristiani, Modern, Foerster, dan seterusnya.[7]
Dalam kacamata Islam, secara historis pendidikan karakter merupakan misi utama para nabi. Muhammad Rasulullah sedari awal tugasnya memiliki suatu pernyataan yang unik, bahwa dirinya diutus untuk menyempurnakan karakter (akhlak). Manifesto Muhammad Rasulullah ini mengindikasikan bahwa pembentukan karakter merupakan kebutuhan utama bagi tumbuhnya cara beragama yang dapat men-ciptakan peradaban. Pada sisi lain, juga menunjukkan bahwa masing-masing manusia telah memiliki karakter tertentu, namun belum disempurnakan.[8]
Sebagaimana yang dikutip Ni’matulloh dalam buku Character of Education karangan Thomas Lickona, bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan untuk “membentuk“ kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan nyata seseorang yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras dan sebagainya.[9]
Ada dua paradigma dasar pendidikan karakter:[10]
a. Pertama, paradigma yang memandang pendidikan karakter dalam cakupan pemahaman moral yang sifatnya lebih sempit (narrow scope to moral education). Pada paradigma ini disepakati telah adanya karakter tertentu yang tinggal diberikan kepada peserta didik.
b. Kedua, melihat pendidikan dari sudut pandang pemahaman isu-isu moral yang lebih luas. Paradigma ini memandang pendidikan karakter sebagai sebuah pedagogi, menempatkan individu yang terlibat dalam dunia pendidikan sebagai pelaku utama dalam pengembangan karakter. Paradigma memandang peserta didik sebagai agen tafsir, penghayat, ekaligus pelaksana nilai melalui kebebasan yang dimilikinya.
Pendidikan karakter yang berbasis Al Qur’an dan Assunnah, gabungan antara keduanya yaitu menanamkan karakter tertentu sekaligus memberi benih agar peserta didik mampu menumbuhkan karakter khasnya pada saat menjalani kehidupannya. Hanya menjalani sejumlah gagasan atau model karakter saja tidak akan membuat peserta didik menjadi manusia kreatif yang tahu bagaimana menghadapi perubahan zaman, sebaliknya membiarkan sedari awal agar peserta didik mengembangkan nilai pada dirinya tidak akan berhasil mengingat peserta didik tidak sedari awal menyadari kebaikan dirinya.[11]
Melalui gabungan dua paradigma ini, pendidikan karakter akan bisa terlihat dan berhasil bila kemudian seorang peserta didik tidak akan hanya memahami pendidikan nilai sebagai sebuah bentuk pengetahuan, namun juga menjadikannya sebagai bagian dari hidup dan secara sadar hidup berdasar pada nilai tersebut.[12]
2. Hadits tentang konsep pendidikan karakter
Hadits nabi yang berkaitan dengan konsep pendidikan karakter adalah hadits yang diriwayatkan oleh imam Bukhari-Muslim sebagai berikut,
قال أسامة بن زيد رضي الله عنهما سمعت رسول الله صلى الله عليه و سلم يقول يُؤْتَى بِالعاَلِمِ يَومَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُهُ فَيَدُورُ بِهاَ كَماَ يَدُورُ الْحِماَرُ بِالرِّحَى فَيُطِيْفُ بِهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُوْلُونَ مَا لَكَ؟ فَيَقُولُ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَ لاَ آتِيْهِ وَ انْهَى عَنِ الْمُنْكَرِ وَ آتِيْهِ (متفق عليه)
Artinya : “Usamah bin Zaid ra. berkata: Saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: Akan dihadapkan orang yang berilmu pada hari kiamat, lalu keluarlah semua isi perutnya, lalu ia berputar-putar dengannya, sebagaimana himar yang ber-putar-putar mengelilingi tempat tambatannya. Lalu penghuni neraka disuruh mengelilinginya seraya bertanya: Apakah yang menimpamu? Dia menjawab: Saya pernah menyuruh orang pada kebaikan, tetapi saya sendiri tidak mengerjakan-nya, dan saya mencegah orang dari kejahatan, tetapi saya sendiri yang mengerjakannya”. (Muttafaq Alaih)[13]
Menurut tinjuan Abubakar Muhammad dalam bukunya Hadits Tarbawi, hadits ini beberapa pelajaran yang harus diperhatikan oleh para sarjana khususnya dan orang-orang yang berilmu pada khususnya:[14]
a. Setiap orang yang berilmu, teritama para ulama, sarjana, pembesar, guru dan dosen, termasuk para muballigh dan khotib, harus konsekuen mengamalkan ilmunya untuk kesejahteraan umat manusia.
b. Semua orang berilmu harus menjadi teladan bagi orang lain dalam tutur kata dan tingkah lakunya.
c. Orang berilmu yang tidak konsekuen dengan tutur katanya, diancam dengan siksaan yang berat dalam neraka kelak.
d. Dalam hadits tersebut terkandung larangan kepada para pembesar, ulama, muballigh, guru dan dosen, berakhlak tercela.
Dalam hadits riwayat Bukhori-Muslim di atas menguraikan bahwa pembentukan karakter yang didasari keteladanan akan menuai kebaikan bagi dirinya sendiri dan orang lain. Dengan bukti adanya siksa Allah bagi orang yang hanya memerintahkan suatu kebaikan namun ia tidak turut menjalankannya. Oleh karenanya, pengaruh keluarga sebagai tempat pendidikan pertama bagi sang anak harus berupa orang-orang yang baik pula. Beberapa pandangan dari para ilmuwan dari Barat menyoroti masalah pendidikan dikenal adanya tiga teori:
a. Teori Nativisme
Teori ini mengemukakan bahwa manusia yang dilahirkan telah memiliki bakat-bakat dan pembawaan baik karena berasal dari keturunan orang tuanya, nenek moyangnya maupun karena ditakdirkan demikian, yang penganutnya antara lain: Scopenhauer yang mengatakan bahwa manusia itu tidak berubah-ubah, akhlak manusia tetap seumur hidup.[15]
Penganut teori ini mengatakan bahwa lingkungan sekitar manusia tidak akan memberi pengaruh apa-apa dalam per-kembangan manusia. Jika manusia membawa potensi jahat maka dalam perkembangannya ia akan menjadi jahat dan begitu juga sebaliknya, jika manusia sejak lahir membawa potensi baik, maka perkembangan hidup selanjutnya akan menjadi baik pula.[16]
Pandangan yang dilontarkan oleh faham nativisme ini, nampaknya terlalu mutlak menggantungkan kepada pembawaan diri manusia sejak lahir, dan tidak menerima masukan apapun di luar diri manusia. Dalam perspektif pendidikan, teori ini memang bertolak belakang dari kenyataannya, bahwa kegiatan pendidikan umumnya telah berhasil membentuk, mengarahkan, dan menumbuh-kembangkan bakat yang dibawa oleh manusia sampai menuju kearah yang diharapkan (kedewasaan), baik melalui proses pendidikan formal maupun non-formal.[17]
b. Teori Empirisme
Teori kedua ialah teori Empirisme (teori lingkungan) yang mengemukakan bahwa anak yang lahir itu laksana kertas yang putih bersih atau semacam tabularasa (meja lilin), di mana kertas dapat ditulisi dengan tinta macam warna apa saja. Inilah teori John Lock, yang agak mirip atau mengikuti teori Rasulullah tersebut, yaitu bahwa anak dilahirkan dalam keadaan suci bersih, tergantung kedua orang tuanya, yang akan mencetaknya akan jadi apa anaknya itu.[18]
Dalam perspektif pendidikan teori ini menganggap bahwa pendidik sangat memegang peranan yang sangat penting terhadap peserta didik, sebab pendidik akan menyediakan lingkungan semaksimal mungkin sesuai dengan yang dikehendaki oleh peserta didik. Lingkungan pendidikan ini kemudian disajikan dan dikondisi-kan oleh pendidik kepada peserta didik sebagai pengalaman-pengalaman dalam kehidupannya dan selanjutnya melalui pengalaman-pengalaman tersebut akan membentuk pengetahuan, sikap dan tingkah laku peserta didik sesuai dengan tujuan pendidikan yang diharapkan.[19]
c. Teori Konvergensi
Teori yang ketiga adalah teori konvergensi atau persesuaian di antara dua teori.[20]
Teori ini dipelopori oleh William Stern dari Jerman dengan pandangan yang lebih akomodatif. Hasil sintesa tersebut mengatakan bahwa manusia lahir di dunia ini telah membawa bakat dan sekaligus bakat itu tidak akan berfungsi jika tidak dikembangkan oleh lingkungan sekelilingnya. Jadi, pembawaan dan lingkungan adalah dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Lingkungan mendukung, tetapi bila bakat tidak ada maka pribadi manusia sulit untuk bisa berkembang dan sebaliknya, bila bakat itu ada tetapi lingkungan tidak mendukung juga sulit untuk berkembang.[21]
Teori ini mengakui bahwa manusia sejak lahir di dunia ini sudah membawa bakat baik dan buruk. Oleh karena itu, jika manusia hidup dalam lingkungan yang baik, maka bakat baiknya itu akan berkembang dan begitu pula sebaliknya, jika manusia hidup dalam lingkungan yang jelek maka bakat jelek yang dibawa sejak lahir tersebut akan mudah untuk tumbuh dan berkembang. Untuk itu, pandangan dunia pendidikan menganggap bahwa manusia akan berkembang ke arah mana yang dituju sangat bergantung pada; lingkungan pendidikan yang diterimanya.[22]
Ajaran Islam yang datangnya lebih dahulu dari teori-teori tersebut sebenarnya tidak terpengaruh, sebab ajaran Islam itu berdiri terlepas daripada teori bikinan manusia. Di samping orang tua ber-kewajiban mendidik anaknya menjadi anak yang baik, juga berkewajiban si anak untuk menuntut ilmu yang bermanfaat baik bagi hidupnya di dunia maupun bagi kehidupannya di akhirat kelak, sehigga ia akan bahagia hidup di dunia dan di akherat.[23]
Dalam pandangan Islam, kira-kira teori konvergensi inilah yang hampir memiliki kesamaan. Hanya saja yang membedakan bahwa dalam Islam manusia sejak lahir telah membawa fitrah, yang tercermin dalam beragama Islam.
Hadits riwayat Bukhori-Muslim, “Tiap manusia dilahirkan membawa fitrah (potensi), kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi”, mengandung makna bahwa, manusia lahir di dunia ini membawa fitrah, atau dalam bahasa pendidikan sering disebut potensi atau kemampuan dasar, atau dalam istilah psikologi disebut pembawaan (hereditas). Fitrah itu akan berkembang tergantung dari bagaimana lingkungan itu mempengaruhi. Lingkungan itu dapat mempengaruhi perkembangan manusia baik jasmani maupun ruhani.
Lingkungan manusia yang paling awal dan utama dalam membentuk dan mempengaruhi perkembangan manusia sejak lahir adalah lingkungan keluarga. Anak manusia akan tumbuh dan berkembang menjadi manusia yang memiliki sifat dan karakter seperti kaum Yahudi, Nasrani atau Majusi, sangat tergantung dari didikan dalam keluarga terutama yang diberikan oleh kedua orang tua.[24]
Konsep fithrah dalam Al-Qur’ân juga bertentangan dengan teori yang menganggap, manusia itu sesungguhnya suci bersih. Pendukung aliran Behaviorisme dalam psikologi memandang bahwa manusia itu ketika dilahirkan tidak mempunyai kecenderungan baik maupun jahat. Teori seperti ini yang kemudian disebut dengan “Teori Tabula Rasa”, lingkunganlah yang memainkan peranan dalam membentuk kepribadiannya. Menurut Skinner, “lingkungan menentukan kehidupan manusia ketika manusia ini melibatkan dirinya dengan lingkungan sekitar”, maka manusia bukan warisan yang lebih dari refleksi-refleksi. Agama sebagaimana aspek-aspek lain dari tingkah laku manusia dapat diwujudkan ke dalam terma-terma mengenai faktor-faktor lingkungan sekitar. Kenyataan menyebutkan, bahwa anak dari seorang muslim biasanya menjadi muslim, sedangkan dari keturunan Kristen biasanya beragama Kristen. Bukti ini dicatat oleh Skinner sebagai contoh untuk menjelaskan teorinya.[25]
Tidak diragukan lagi, periode defensi yang panjang selain pada masa kanak-kanak memberikan kemungkinan orang tuanya memberi pengaruh sangat besar bagi putra-putrinya. Fakta ini menurut Abdurrahman Saleh dalm bukunya Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’ân nampaknya telah menarik perhatian Skinner berkenaan dengan Hadits Nabi saw. yang menunjukkan bagaimana fithrah itu dipengaruhi lingkungan.[26]
Hadits Nabi: “Tidaklah seorang anak itu dilahirkan, melainkan mempunyai fithrah Islam. Maka orang tuanyalah yang mempengaruhi menjadi Yahudi, Nashrani atau Majusi” menekankan, bahwa fithrah yang dibawa sejak lahir bagi anak itu sangat besar dipengaruhi oleh lingkungan. Fithrah itu sendiri tidak akan berkembang tanpa dipengaruhi kondisi lingkungan sekitar, yang mungkin dapat dimodifikasikan atau dapat diubah secara drastis manakala lingkungannya itu tidak memungkinkan menjadikannya lebih baik.
Faktor-faktor eksternal bergabung dengan fithrah, sifat dasarnya bergantung kepada sejauh mana interaksi eksternal dengan fithrah itu berperan. Sebaliknya, menurut pengamat behavioris, fithrah tidak mengharuskan manusia berusaha sekeras tenaga terhadap lingkungannya. Dua orang anak yang hidup dalam kondisi sama barangkali memberi respon terhadap setiap stimulus serupa dalam cara yang berbeda-beda satu dengan yang lain.[27] Lingkungan merupakan salah satu fakor yang mem-pengaruhi perkembangan kehidupan manusia, namun bukan satu-satunya faktor. Karena di samping itu juga dalam perkembangan seorang anak sebaiknya juga memperhatikan faktor gen, makanan, teman, masyarakat, ekonomi, budaya dan sebagainya.
Mencermati hadits-hadits tersebut dapat dipahami bahwa pendidikan, utamanya pendidikan yang diberikan kedua orang tua terhadap anak-anaknya memiliki pengaruh yang sangat besar dalam pengembangan fithrah anak, karena pada dasarnya anak memiliki sifat dasar atau kecenderungan beragama yang lurus yaitu agama tauhid, hanya saja persoalannya kemudian bagaimana kedua orang tua “khususnya” dan lembaga pendidikan/sekolah serta masyarakat lingkungan di mana peserta didik berada memberikan pendidikan kepadanya, karena berbicara masalah pendidikan sesungguhnya terdapat tiga titik sentral dalam arena pendidikan anak yaitu, keluarga, sekolah dan masyarakat, yang ketiganya saling terkait terintegrasi dan tidak mungkin dipisah-pisahkan.[28]
Orang tua sebagai figur pendidik pertama dan utama bagi anak-anak tentu memiliki peran yang teramat besar dalam memeberikan dasar bagi pendidikan putra-putrinya, dan sekolah sebagai penerus pendidikan keluarga juga punya tanggung jawab moral untuk membentuk kepribadian peserta didik menjadi manusia yang baik, sementara masyarakat di mana anak tinggal, punya andil cukup besar di dalam turut memberikan warna dan membentuk karakter kepribadian mereka.[29]
Jika kemudian dalam pertumbuhan dan perkembangan anak mendapati kuman-kuman yang dapat mempengaruhi potensi baiknya -dalam Hadits disebutkan unsur-unsur Yahudi, Nasrani dan Majusi- maka tidakmenutup kemungkinan potensi taqwa anak akan hilang dan berganti dengan potensi fujûr karena pembiasaan yang diterapkan oleh lingkungannya.
Menurut penulis, teori yang dikemukakan dalam Hadits merupakan penguatan dari tujuan awal Allah menciptakan manusia, yaitu sebagai khalifah di bumi. Dalam arti luas khalifah dimaksudkan bukan hanya memimpin dan bertanggung jawab pada alam dan seisinya, namun manusia juga memiliki kewajiban untuk bertanggung jawab pada dirinya sendiri untuk mengasah dan mengembangkan potensi baik dengan perbuatan dan pembiasaan yang baik pula (amal shalih).
Mengetahui fithrah sebagai potensi dan sifat dasar manusia adalah sangat penting dan besar manfaatnya, yakni:[30]
a. Pemahaman atas fitrah akan memberikan harapan yang optimis akan penyelamatan dan kesuksesan dalam menata kehidupan ke arah masa depan.
b. Pemahaman atas fitrah akan menanamkan kepercayaan diri melalui potensinya sendiri untuk melakukan sesuatu yang baik dan benar dan menolak yang jahat dan salah.
c. Pemahaman atas fitrah akan memacu dan mendorong untuk secara aktif mengejar semua yang baik dan benar serta menolak segala yang jahat dan keliru.
d. Pemahaman atas fitrah akan membangkitkan semangat dan daya untuk mengembangkan berbagai potensi diri yang dimiliki; potensi kalbu (iman), potensi akal (ilmu pengetahuan) dan potensi tangan (keterampilan).
Dalam Hadits Nabi Riwayat Bukhori dan Muslim yang telah penulis sampaikan pada bab sebelumnya, bahwa keteladanan memiliki andil yang sangat besar dalam proses pembentukan karakter manusia. Setiap manusia memiliki prosentasi hak dan kewajiban yang sama sebagai subjek dan objek pendidikan karakter, tidak terkecuali. Rasulullah sebagai sumber teladan merupakan wujud nyata dari firman Allah yang masih terbatas bagi manusia untuk menafsirkannya.
Menurut M. Quraish Shihab, keteladanan diperlukan karena tidak jarang nilai-nilai yang bersifat abstrak itu tidak dipahami, bahkan tidak terlihat keindahan dan manfaatnya oleh orang kebanyakan. Hal-hal abstrak dijelaskan dengan perumpamaan yang konkret dan indrawi. Keteladanan, dalam hal ini, melebihi dalam perumpamaan itu dalam fungsi dan peranannya. Itu pula sebabnya maka keteladanan diperlukan dan memiliki peranan yang sngat besar dalm mentransfer sifat dan karakter.[31]
Dalam kehidupan sehari-hari dapat terlihat betapa contoh/ keteladanan yang diberikan oleh mereka yang dinilai baik atau terhormat oleh suatu kelompok, menjalar demikian cepat dan mudah di tengah masyarakat. Lebih-lebih dalam hal-hal yang bersifat material atau cara pergaulan. Warga kampus dapat menjadi teladan yang baik, apalagi kedudukan mereka sebagai ilmuwan mempunyai daya tarik tersendiri, karena semua ingin dinilai ilmuwan. Semua berpacu meraih gelar kesarjanaan, bahkan sebagian membelinya.
D. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, maka dapat kami simpulkan,
1. Pendidikan karakter adalah penanamkan karakter tertentu sekaligus memberi benih agar peserta didik mampu menumbuhkan karakter khasnya pada saat menjalani kehidupannya. Hanya menjalani sejumlah gagasan atau model karakter saja tidak akan membuat peserta didik menjadi manusia kreatif yang tahu bagaimana menghadapi perubahan zaman, sebaliknya membiarkan sedari awal agar peserta didik mengembangkan nilai pada dirinya tidak akan berhasil mengingat peserta didik tidak sedari awal menyadari kebaikan dirinya.
2. Adapun konsep pendidikan karakter dalam hadits adalah sebagai berikut:
a. Pembentukan karakter yang didasari keteladanan akan menuai kebaikan bagi dirinya sendiri dan orang lain. Oleh karenanya pengaruh keluarga sebagai tempat pendidikan pertama bagi sang anak harus berupa orang-orang yang baik pula.
b. Dalam pandangan Islam, manusia lahir di dunia ini membawa fitrah, potensi, kemampuan dasar, atau pembawaan (hereditas). Fitrah itu akan berkembang tergantung dari bagaimana lingkungan itu mempengaruhi.
E. Referensi
A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, Malang: UIN Malang Press, 2008
Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, Jakarta: Rineka Cipta, 1994
Abubakar Muhammad, Hadits Tarbawi III, Surabaya: Karya Abditama, 1997
Bambang Q-Anees dan Adang Hambali, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’ân, Bandung: PT. Simbiosa Rekatama Media, 2008
Imam Suprayogo, Generasi Miskin Tauladan, http://www.facebook.com, diakses pada tanggal 5 Februari 2013
Juwairiyah, Hadits Tarbawi, Yogyakarta: Teras, 2010
M. Furqon Hidayatullah, Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas, Surakarta: Yuma Pustaka, 2010
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’ân, Jakarta: Lentera Hati, 2008
Mustafa, Smart Parenting: 30 Strategi Mendidik Anak, Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2007
Ni’matulloh. et. all, Pendidikan Karakter Dalam Persfektif Pendidikan Islam, http://nimatulloh.blogspot.com, diakses pada tanggal 5 Februari 2013
Redja Mudyarahardjo, dkk., Materi Pokok Dasar-dasar Kependidikan, Jakarta: Universitas Terbuka, 1995
Said Agil Husin al Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qur‟ani dalam Sistem Pendidikan Islam, Jakarta Selatan: Ciputat Press, 2003
Said Agil Husin al Munawar, Al-Qur’ân: Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, Jakarta: Ciputat Press, 2002
Wajidi Sayadi, Hadis Tarbawi: Pesan-pesan Nabi Saw. Tentang Pendidikan, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009
[1] Imam Suprayogo, Generasi Miskin Tauladan, (http://www.facebook.com, diakses pada tanggal 5 Februari 2013)
[2] Ibid.
[3] Ibid.
[4] Said Agil Husin al Munawar, Al-Qur’ân: Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), cetakan kedua, hlm. 353.
[5] Said Agil Husin al Munawar, Aktualisasi Nilai-nilai Qur‟ani dalam Sistem Pendidikan Islam, (Jakarta Selatan: Ciputat Press, 2003), hlm. 27.
[6] Ni’matulloh. et. all, Pendidikan Karakter Dalam Persfektif Pendidikan Islam, (http://nimatulloh.blogspot.com, diakses pada tanggal 5 Februari 2013)
[7] Bambang Q-Anees dan Adang Hambali, Pendidikan Karakter Berbasis Al-Qur’ân, (Bandung: PT. Simbiosa Rekatama Media, 2008), hlm. 100
[8] Ibid.
[10] Bambang Q-Anees dan Adang Hambali, op.cit., hlm. 103.
[11] Ni’matulloh, loc.cit.
[12] Ibid.
[13] Abubakar Muhammad, Hadits Tarbawi III, (Surabaya: Karya Abditama, 1997), hlm. 70.
[14] Ibid.
[15] Mustafa, Smart Parenting: 30 Strategi Mendidik Anak, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2007), hlm. 39.
[16] Redja Mudyarahardjo, dkk., Materi Pokok Dasar-dasar Kependidikan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 1995), hlm. 198.
[17] Ibid, hlm. 58-59.
[18] M. Furqon Hidayatullah, Guru Sejati: Membangun Insan Berkarakter Kuat dan Cerdas, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2010), Cetakan ketiga, hlm. 100
[19] A. Fatah Yasin, Dimensi-dimensi Pendidikan Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), hlm. 60.
[20] M. Furqon Hidayatullah, loc.cit.
[21] A. Fatah Yasin, loc.cit.
[22] Ibid, hlm. 61.
[23] M. Furqon Hidayatullah, loc.cit.
[24] A. Fatah Yasin, op.cit., hlm. 61-62.
[25] Abdurrahman Saleh Abdullah, Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, (Jakarta: Rineka Cipta, 1994), hlm. 61-62.
[26] Ibid, hlm. 62.
[27] Ibid.
[28] Juwairiyah, Hadits Tarbawi, (Yogyakarta: Teras, 2010), hlm. 6-7.
[29] Ibid.
[30] Wajidi Sayadi, Hadis Tarbawi: Pesan-pesan Nabi Saw. Tentang Pendidikan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009), hlm. 168.
[31] M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’ân, (Jakarta: Lentera Hati, 2008), hlm. 724.
Syukron Artikelnya sangat bermanfaat.
ReplyDelete