1. Pengertian Muhasabah
Dalam
dunia tasawuf kata Muhasabah tidak terlalu asing didengar, Muhasabah diartikan
sebagai Introspeksi, mawas, atau meneliti diri.[1]
Seperti kata-kata yang diucapkan oleh sahabat Umar bin Khatab,
حاسبوا أنفسكم قبل ان تحاسبوا
“Koreksilah dirimu sebelum kamu dikoreksi.”[2]
Hal
ini menegaskan bahwa muhasabah akan membimbing seseorang pada pemahaman akan
dirinya seperti kesalahan, dosa-dosa, serta perbuatan negatif yang pernah
seseorang lakukan terhadap dirinya sendiri ataupun orang lain.
Dalam pemahaman
lain Muhasabah diartikan sebagai metode untuk mengatasi kekuasaan nafsu amarah[3]
atas hati seorang mukmin dengan selalu mengintrospeksi diri dan menyelisihnya.[4]
Keharusan
melakukan perhitungan terhadap diri sendiri (Muhasabah) dijelaskan oleh firman
Allah dalam surat Al Anbiya' 21:47:
و نضع الموازين القسط ليوم القيامة فلا تظلم نفس شيئا و إن كان مثقال
حبة من خردل أتينا بها و كفى بنا حاسبين
"Kami
akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan
seseorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi
sekalipun, pasti Kami akan mendatangkan (pahala)-nya. Dan cukuplah Kami menjadi
orang-orang yang membuat perhitungan."[5]
Dan
firman Allah dalam surat Al Baqarah, 2:235.
و اعلموا أن الله غفور رحيم
"Dan
ketahuilah bahwasannya Allah mengetahui apa yang ada di dalam hatimu;maka
takutlah kamu kepada-Nya."[6]
Ayat-ayat
di atas dijadikan dalil oleh orang-orang yang berakal bahwa Allah swt.
senantiasa mengawasi mereka; bahwa amalan mereka akan perhitungkan dengan
cermat pada hari perhitungan nanti, dan bahwa mereka akan dimuntai pertanggung
jawaban atas semua lintasan dan detikan hati hingga yang seberat biji sawi
sekalipun. Oleh karena itu, mereka akan yakin bahwa tidak ada yang menyelamatkan
mereka dari bahaya-bahaya tersebut kecuali dengan membiasakan diri melakukan
muhasabah.[7]
Dalam
pengertian lain Muhasabah adalah bahwa manakala seseorang muslim melakukan amal
pada siang dan malam hari dalam upaya mencari kebahagiaan hidupnya di akhirat,
berupaya meraih keutamaanya, serta keridlaan Allah terhadapnya sementara dunia merupakan
kesempatan untuk beramal, maka hendaknya dia memperhatikan
kewajiban-kewajibannya.[8]
Pada umumnya hendaklah menyempatkan diri untuk
menghitung-hitung pekerjaan hariannya, apabila melihat kekurangan pada yang
diwajibkan kepadanya, maka hendaklah dia mengecam dan memperolok-kannya,
kemudian ketika itu juga ia berusaha untuk memperbaikinya. Kalau termasuk harus
di-qadha, maka qadha-lah, kalau tidak bisa maka berusahalah dengan memperbanyak
melakukan nawafil (amal-amal yang disunatkan).[9]
Sekiranya
amal-amal nawafil-pun masih kurang, gantilah dan usahakanlah. Dan sekiranya
kerugian tersebut disebabkan karena perbuatan yang terlarang, maka haruslah
segera memohon ampun, menyesali, kemudian kembali mengerjakan kebaikan-kebaikan
yang dianggap dapat memperbaiki yang telah rusak. Inilah yang dimaksud dengan muhasabah
terhadap diri (tepo seliro) yaitu salah satu cara untuk memperbaiki diri,
membina, menyucikan, dan membersihkannya.[10]
Muhasabah
biasanya dilakukan pada kalangan sufi, seorang sufi haruslah senantiasa
mencurahkan dan mengarahkan perhatiannya terhadap dirinya sendiri dalam saat
apapun dan dalam melakukan perbuatan apapun. Ia harus selalu waspada dalam
memandang diri sendiri didalam setiap gerak-geriknya baik menyangkut hal
ruhaniah dan batiniahnya, orang-orang sufi senantiasa melakukan koreksi diri atau
mengontrol dirinya, akan selalu tampak padanya perbuatan apa yang sedang
dilakukanya. Dan karenanya ia tidak akan berani melakukan perbuatan jahat yang
bagaimanapun kecilnya.[11]
Orang
yang selalu berfikir tentang keberadaan dirinya, mengontrol segala kesalahanya
dan mengawasi gerak-geriknya menandakan hati dan fikiranya masih jernih dan
masih berfungsi secara normal dan bahkan Rasulullah SAW. Menggolongkan orang yang
jenius atau orang yang cerdas karena pandai mengoreksi kesalahannya sendiri.
Dari sini dapatlah dikatakan bahwa kontrol diri atau muhasabah bukanlah dilakukan dilakukan
sewaktu-waktu saja, melainkan harus dilakukan setiap saat, sebab apabila sekali
waktu atau suatu saat lengah, saat itu pula
akan terjerumus kedalam jurang kejahatan yang nantinya akan timbul
penyesalan, karenanya kewaspadaan harus selalu dijaga sebagaimana peringatan
Allah dalam firmannya,
يا بني آدم لا يفتننكم الشيطان كما أخرج أبويكم من الجنة
“Hai
anak adam, janganlah syaitan itu sampai memfitnahkan kamu pula, sebagaimana ia
telah mengeluarkan ibu bapakmu dari surge." (Q.S. Al A'raf:27)[12]
Dalam
Muhasabah Jiwa Suryaningsih Site. disebutkan bahwa, "Semoga Allah
merahmati seorang hamba yang berfikir di saat pertama ia ingin melakukan
sesuatu. Jika itu karena Allah ia melanjutkan dan jika bukan karena Allah ia
meninggalkannya. Allah swt. berfirman,
يا أيها ال>ين آمنوا اتقوا الله و لتنظر نفس ما قدمت لغد و اتقوا
الله إن الله خبير بما تعملون
“Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri
memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)." (Q.S.
Al Hasyr, 59:18)
Oleh
karena itu, sebagai orang Islam dan beriman, hendaknya senantiasa pandai-pandai
mengoreksi dan membersihkan aib atau kesalahan-kesalahan yang terjadi pada diri
sendiri atau berusaha dengan segala upaya untuk mengekang hawa nafsu. Karena
pada dasarnya, kesalahan-kesalahan yang terjadi itu karena menurutkan hawa
nafsu dalam firman Allah diterangkan,
و أما من خاف مقام ربه و نهى النفس عن الهوى فإن الجنة هي المأوى
"Dan
adapun orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari
keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya syurgalah tempat tinggalnya." (Q.S.
An Naazi'aat 40-41)
Dan
bergolaknya hawa nafsu itu bersumber dari empat hal, diantaranya adalah:
a.
Sering melanggar larangan Allah.
b.
Sering berlaku riya' (berbuat baik bukan karena Allah, melainkan supaya dapat
pujian, sanjungan dan sebagainya).
c. Suka membuang-buang waktu dengan percuma.
2. Urgensi Muhasabah
Perputaran
roda kehidupan, dari hari demikian juga dengan bulan dan tahun. jika kita
perhatikan pergantian waktu ini, sesungguhnya kehidupan dunia makin lama makin
menjauh sedang pada kesempatan yang sama kehidupan akhirat makin mendekat.
Perhatikan
keadaan di lingkungan tempat kita kerja dan di tengah keluarga, dapat
dipastikan selalu akan bergerak berubah baik berubah secara positif maupun
negatif. Karena kesemua perubahan tersebut akan berujung pada kematian sebagai
akhir dari perjalanan hidup manusia. Sebagian karena sudah meninggal, dan semua
manusia pasti akan meninggal.Firman Allah dalam Al Qur’an:
كل نفس ذائقة الموت
“Tiap-tiap
yang berjiwa akan merasakan mati.“ (Q.S.Ali Imran. 3:185)
Kemudian
sesudah mati kita akan dihidupkan kembali, sebagaimana firman-Nya,
إنكم مبعوثون من بعد الموت
”Sesungguhnya
kamu akan dibangkitkan sesudah mati.“ (Q.S. Huud, 11: 7)
Sesungguhnya
manusia dalam hal ini dibangkitkan untuk memper-tanggung-jawabkan semua amal
perbuatannya, baik yang burhubungan dengan ibadah maupun amaliah. Maka dalam
melakukan muhasabah, seorang muslim menilai dirinya, apakah dirinya lebih banyak
berbuat baik ataukah lebih banyak berbuat kesalahan dalam kehidupan
sehari-harinya.
Dia mesti objektif melakukan penilaiannya dengan menggunakan Al
Qur’an dan Sunnah sebagai dasar penilaiannya bukan berdasarkan keinginan diri
sendiri. Oleh karena itu, melakukan muhasabah atau introspeksi diri merupakan
hal yang sangat penting untuk menilai apakah amal perbuatannya sudah sesuai
dengan ketentuan Allah. Tanpa introspeksi, jiwa manusia tidak akan menjadi baik.
Imam Turmudzi meriwayatkan ungkapan Umar bin Khattab dan juga Maimun bin Mihran
mengenai urgensi muhasabah.
Umar
r.a. mengemukakan: “Hisablah (diri) kalian sebelum kalian dihisab, dan
berhiaslah (bersiaplah) kalian untuk akhirat (yaumul hisab).” Al Hasan
mengatakan: “Orang-orang mukmin selalu mengevaluasi dirinya karena Allah. Dan
bahwasanya hisab itu akan menjadi ringan pada hari kiamat bagi orang yang
menghisab (evaluasi) dirinya di dunia”.[14]
Maimun
bin Mihran r.a. menyampaikan: “Seorang hamba tidak dikatakan bertakwa hingga ia
menghisab dirinya sebagaimana dihisab pengikutnya dari mana makanan dan
pakaiannya”.
Urgensi lain dari muhasabah adalah karena setiap orang kelak pada
hari akhir akan datang menghadap Allah SWT. sendiri-sendiri untuk
mempertanggung jawabkan segala amal perbuatannya. Firman Allah,
و كلكم آتيه يوم القيامة فردا
“Dan
tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan
sendiri-sendiri.” [QS. Maryam. 19: 95]
[1] Amin Syukur, Tasawuf
Bagi Orang Awam, Menjawab Problem Kehidupan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006,
hlm. 83.
[2] Amin Syukur,
Tasawuf Kontekstual Solusi Problem Manusia Modern, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
2003, hlm. 254.
[3] Nafsu yang mengarah
kepada perbuatan kejahatan dan kedurhakaan, Wawan Susetya, Biografi Nafsu
Manusia Mengenal, Mengelola, dan Menaklukkan Gelegar Hawa Nafsu dalam Jiwa,
Diva Press, Yogyakarta, 2008, hlm. 96.
[4] Admin, Muhasabah
Jiwa, Artikel pada Suryaningsih, Site. Mht. 19 September 2007, hlm. 2.
[5] Syeikh Muhammad
Jamaluddin, Mouidhotul Mukminin Min Ihya' 'Ulumuddin, terjemah Abu Ridha, Asy
Syifa, Semarang, 1993, hlm. 769.
[6] Ibid., hlm. 771.
[7] Ibid., hlm. 771.
[8] Abu Bakar Jabir Al
Jazair, Pola Hidup Muslim:Etika, alih bahasa Rahmat Djatnika, Ahmad Sumpeno,
Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hlm.40.
[9] Ibid., hlm. 40.
[10] Ibid., hlm. 40.
[11] M. Saifulloh Al
Aziz Senali, Risalah Memahami Ilmu Tasawuf, Bintang Terang, Surabaya, tt, hlm.
106.
[12] Ibid., hlm. 107.
[13] M. Saifulloh Al
Aziz Senali, Op.Cit., hlm. 110.
[14] http://www.dakwatuna.com/index.php/tazkiyatun-nafs/2007/makna-muhasabah/
No comments:
Post a Comment