Dalam
Proses Muhasabah harus memiliki kesesuaian dengan kondisi subjek penelitian
yang diantaranya adalah faktor kultur tempat individu berkembang.
Pada dasarnya
proses dan teknik Muhasabah agar menjadi bagian dalam kehidupan sehari-hari
terdiri dari beberapa tahap diantaranya tahap pembersihan diri, pengembangan diri, dan penyempurnaan
diri, ketrampilan dan kemampuan bermuhasabah tidak akan datang dan tumbuh dalam
jati diri seseorang dengan sendirinya tanpa
adanya suatu latihan-latihan.
Yang perlu dilakukan pada setiap individu
terlebih bagi para remaja, proses tersebut diantaranya adalah Takhalli, Tajalli,
Tahalli.[1]
1. Tahap Takhalli (pembersihan diri)
Yaitu
pembersihan dan penyucian diri dari segala sifat dan sikap yang buruk yang bisa
mengotori hati dan fikiran. Tahap ini meliputi:
a. Sholat
Terminologi
sholat mengisyaratkan bahwa didalamnya terkandung adanya hubungan manusia
dengan Tuhannya. Dalam sholat, manusia berdiri khusuk dan tunduk kepada Allah,
pencipta alam semesta, Keadaan ini akan membekalinya dengan suatu tenaga rohani
yang menimbulkan perasaan tenang, jiwa yang damai dan hati yang tentram.
Selain
menyeru Tuhan, juga menemukan harapan-harapan dan ketakutan-ketakutan kita,
dengan memunculkan diri yang paling dalam menuju diri kita sendiri.[2]
Pada
saat seseorang sedang sholat (khusuk) maka seluruh fikirannya terlepas dari
segala urusan dunia yang membuat jiwanya gelisah. Setelah menjalankan sholat ia
senantiasa dalam keadaan tenang sehingga secara bertahap kegelisahan itu akan
mereda.[3]
Keadaan
yang tentram dan jiwa yang tenang tersebut mempunyai dampak terapeutik yang
penting dalam proses pembentukan muhasabah dalam diri.
Diuraikan dalam bukunya Djamaluddin
Ancok dalam bukunya “Psikologi Islami” mengatakan bahwa aspek-aspek bagi kesehatan
jiwa yang terdapat dalam sholat yaitu:
Pertama, aspek olahraga. Sholat adalah suatu ibadah yang
menuntut aktifitas, konsentrasi otot, tekanan dan “pijatan” pada bagian
tertentu yang merupakan proses relaksasi
(pelemasan). Sholat merupakan aktifitas yang menghantarkan pelakunya pada
situasi seimbang antara jiwa dan raganya.
Eugene
Walker mengatakan bahwa olahraga dapat mengurangi kecemasan jiwa, jika demikian
sholat yang berisi aktifitas fisik yang juga dapat dikategorikan olahraga, dapat pula
menghilangkan kecemasan.
Kedua, sholat
memiliki aspek meditasi. Setiap muslim dituntut agar dapat menjalankan sholat
secara khusuk, yang dapat dikategorikan sebagai suatu proses meditasi. Hal ini
akan membawa kepada ketenangan jiwa.
Ketiga, aspek
auto-sugesti. Bacaan dalam sholat dipanjatkan ke hadirat Illahi, yang
berisi puji-pujian atas keagungan Allah dan do’a serta permohonan agar selamat dunia
dan akhirat. Proses sholat pada dasarnya
adalah terapi self-hypnosis (pengobatan terhadap diri sendiri).
Keempat, aspek
kebersamaan. Ditinjau dari segi psikologi, kebersamaan itu sendiri merupakan
aspek terapieutik. Beberapa ahli psikologi mengemukakan bahwa perasaan
“keterasingan” dari orang lain ataupun dari dirinya sendiri dapat hilang.
Dianjurkan sholat berjamaah perasaan terasing dari orang lain ataupun dirinya
sendiri dapat hilang.[4]
b. Puasa
Puasa
dalam pengertian bahasa adalah menahan dan berhenti dan menahan sesuatu, sedangkan
dalam istilah agama berarti menahan diri dari makan, minum dan berhubungan suami
istri mulai terbit fajar hingga terbenam matahari (magrib), karena mencari
ridho Illahi. Disini keimananlah yang mendorong untuk berpuasa, sehingga ia
mampu menjalankan seperti apa yang di perintahkan Allah.
Puasa
sebagai satu intuisi dalam Islam, dijadikan disiplin spiritual, moral, dan
fisik yang tinggi, juga sebagai alat meningkatkan kualitas rohani manusia.
Dengan demikian maka terbentuklah jiwa yang sehat dengan kualitas iman yang mungkin
meningkat dengan bermuhasabah melalui puasa di setiap aspek kehidupan.
Menurut
Abdul Hamid Hakim ada 6 hikmah puasa:
1.
Mensyukuri nikmat Allah
2.
Menjauhkan jiwa untuk berlaku amanah
3. Menumbuhkan sifat solidaritas, penuh
kasih sayang kepada orang yang tidak mampu
4.
Menjauhkan sifat jiwa dari sifat-sifat kebinatangan
5. Dengan merasakan haus dan dahaga serta
lapar akan mengingatkan siksa akhirat.
6.
Menyehatkan badan.
Puasa
digambarkan oleh Tuhan yang maha tinggi sebagai suatu keberkahan besar atas
umat manusia-Nya. Sebagai Sang pembuat tubuh manusia. Dan puasa tidak hanya merupakan
cara terbaik dan teraman untuk melindungi kesehatan jasmani, tetapi juga
membawa ganjaran spiritual yang sangat besar.[5]
2. Tahap Tahalli
Tahap
tahalli yaitu merupakan tahap pengisian diri dengan kebaikan, yang termasuk
dalam tahap tahalli adalah:
a.
Dzikir
Secara
etimologi adalah berasal dari kata dzakara, yang artinya mengingat,
memperhatikan, mengenang, mengambil pelajaran, mengenal atau mengerti.
Al-Qur’an memberi petunjuk bahwa dzikir itu bukan hanya ekspresi daya ingatan
yang ditampilkan dengan komat-kamitnya lidah sambil duduk merenung, tetapi
lebih dari itu, dzikir bersifat implementatif dalam berbagai variasi yang aktif
dan kreatif.
Al-Qur’an
menjelaskan dzikir berarti membangkitkan daya ingatan dalam Surat Al-Ra’ad ayat
28 berfirman:
الذين آمنوا و تطمئن قلوبهم بذكر الله ألا بذكر الله تطمئن القلوب
“Dengan mengingat Allah, hati orang-orang yang beriman menjadi
tenang. Ketahuilah dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang.”[6]
Menurut
Profesor Angha dalam O’riodan menggambarkan dzikir sebagai langkah pertama
menempuh perjalanan cinta. Ketika kita mencintai seseorang maka terus menerus
berfikir tentang dirinya, mengingatnya bahkan berkali-kali menyebut namanya, seperti
LA ILAHAILLALLAH (Tidak ada Tuhan selain Allah) atau ALLAH HU
(Tuhan, hanya dia).
Ketika dzikir sedang berlagsung, terciptalah medan
elektromagnetik yang sangat kuat dengan penyatuan suara, gerakan (motion)
dan maksud (mengingat yang dicintai) seluruhnya berkonsentrasi dalam hati,
gerakan tak terbatas dalam hati dan tubuh bergabung dalam harmoni dengan
gerakan bumi, system matahari, galaksi dan kosmos secara keseluruhan. Dzikir
merupakan pintu gerbang melewati relung-relung sebuah elemen yang telah
dipraktekkan selama bertahun-tahun.[7]
Memang
antara mengingat, mengenang, menyadari atau berfikir dengan tingkah laku
manusia itu saling terkait dan tidak bisa dilepaskan. Jadi dzikir kepada Allah
bukan hanya mengingat suatu peristiwa, namun mengingat dengan segala keyakinan akan kebesaran Tuhan
dengan segala sifat-Nya serta menyadari bahwa dirinya senantiasa berada dalam
pengawasan Allah, serta menyebut asma Allah dalam hati dan lisan.
Dzikir
dan do’a dari sudut ilmu kedokteran jiwa dan kesehatan jiwa merupakan terapi psikiatrik,
setingkat lebih tinggi dari psikoterapi biasa, karena keduanya mengandung unsur
spiritual kerohanian yang dapat membangkitkan harapan, rasa percaya diri dari
orang sakit, yang pada gilirannya kekebalan tubuh meningkat, sehingga
mempercepat proses penyembuhan.[8]
Dzikir
merupakan olah batin yang paling efektif untuk menyembuh-kan gangguan kejiwaan,
yang juga sangat mudah dilakukan dan biaya yang sangat murah. Dengan dzikir dan
berdo’a yang berarti berserah diri dan pasrah kepada Allah, para korban penyalahgunaan
narkoba akan memperoleh ketenangan hati dan kesejukan jiwa, sehingga lambat
laun gangguan kejiwaan terkikis habis.
3. Tahap Tajalli/ Penyempurnaan Diri
Tahap
ini adalah kelahiran/munculnya eksistensi yang baru dari manusia yaitu
perbuatan, ucapan, sikap, gerak-gerik, martabat dan status yang baru.[9]
Jika pada tahap tahalli memfokuskan pada upaya memulai hubungan dengan
manusia maka dalam tahap tajalli memfokuskan hubungan dengan Allah.
Dalam tahap
ini peningkatan hubungan dengan Allah. Cahaya Tuhan akan diberikan kepada
hambanya ketika hambanya itu telah
terkendali, bahkan bisa dilenyapkan sifat-sifat yang dapat mendorong seseorang
untuk berbuat maksiat dan terlepasnya dari kecenderungan kepada masalah
keduniawian.[10]
Dan
kemudian setelah tercapainya proses-proses tersebut akan berdampak secara
otomatis terhadap diri seseorang dalam rangka bermuhasabah dalam kehidupan
sehari-hari tanpa harus direncana terlebih dahulu.
[1] M. Hamdani Bakran
Adz-Dzaky, Konseling dan Psikoterapi Islam, Fajar Pustaka Baru, Yogyakarta,
2004, hlm. 326
[2] R.N.L.O’riordan,
Sulaiman. “Seni Penyembuhan Alami”, PT.
Pasirindo Bungamas Nagari, Jakarta, hlm. 112-113.
[3] M. Ustman Najati,
Al-Qur'an dan Ilmu Jiwa, Pustaka, Bandung, 1985, hlm. 310-311.
[4] Djamaluddin Ancok, Psikologi
Islami: Solusi Atas Berbagai Problem-problem Psikologi, Yogyakarta, 1995, hlm.
98-100.
[5] Amin Syukur.
“Pengantar Studi Islam”, Duta Grafika, Semarang, hlm. 110.
[6] Amin Syukur,
Tasawuf Sosial, Pustaka pelajar, Yogyakarta, 2004, hlm. 45.
[7] R.N.L. O’riodan,
Sulaiman Al-Kumayyi, Seni Penyembuh
Alami, Pasarindo Bunga Mas Nagari,
Jakarta, 2002, hlm. 112.
[8] Dadang Hawari, Al-Qur’an Dan Ilmu Kedokteran Jiwa dan
Kesehatan Jiwa, Dana Bhakti Prima Yasa, Yogyakarta, 1997, hlm. 9.
[9] M. Hamdan Bakran Aadz-Dzaky,
Op. Cit. hlm 326.
[10] Amin Syukur, Op Cit
, hlm 168.
No comments:
Post a Comment