Peranan
politik yang dilakukan oleh Ratu
Kalinuyamat diawali ketika terjadi kemelut di Istana Demak pada pertengahan abad ke-16 yang disebabkan oleh
perebutan kekuasaan sepeninggalan
Sultan Trenggono. Perebutan tahta menimbulkan peperangan berkepanjangan yang
berakhir dengan kehancuran kerajaan.
Perebutan kekuasaan
terjadi antara keturunan Pangeran Sekar dengan
Pangeran Trenggono. Kedua Pangeran ini memang berhak menduduki tahta Kesultanan
Demak. Dari segi usia, Pangeran Sekar lebih tua sehingga merasa lebih berhak
atas tahta Kesultanan Demak daripada Pangeran Trenggono. Namun Pangeran Sekar lahir
dari istri ke tiga Raden Fatah, yaitu putri Adipati Jipang, sedangkan Pangeran Trenggono lahir dari istri pertama, putri Sunan Ampel, oleh karena itu
Pengeran Trenggono merasa lebih berhak menduduki tahta Kesultanan Demak.[1]
Pangeran
Prawata, putra Pangeran Trenggono, membunuh Pangeran Sekar yang dianggap sebagai
penghalang bagi Pangeran Trenggono untuk mewarisi tahta Kesultanan Demak. Pembunuhan terjadi di sebuah jembatan sungai
saat Pangeran Sekar dalam perjalanan pulang dari shalat Jum’at. Oleh karena itu,
ia dikenal dengan nama Pangeran
Sekar Seda Lepen.
Menurut
tradisi lisan di daerah Demak, pembunuhan itu terjadi di tepi sungai Tuntang, sedang menurut tradisi Blora, Pangeran Sekar dibunuh
didekat sungai Gelis.
Pembunuhan ini menjadi pangkal peresengketaan di Kerajaan Demak. Arya Penangsang,
putra Pangeran Sekar berusaha menuntut balas atas kematian ayahnya, sehingga ia berusaha untuk
menumpas keturunan Sultan Trenggono. Apalagi ia mendapat dukungan secara penuh
dari gurunya Sunan Kudus.
Bagi
lawan-lawan politiknya, Arya Penangsang dituduh telah banyak melakukan kejahatan
dan pembunuhan terhadap keturunan Sultan Trenggono.[2] Ia
menyuruh Rangkut untuk membunuh Sultan Prawata. Sultan Prawata terbunuh bersama
Permaisurinya pada tahun 1549. Ia kemudian membunuh Pangeran Hadirin, suami Ratu
Kalinyamat.
Pangeran Hadirin berhasil dibunuh
oleh pengikut Arya Penangsang dalam perjalanan pulang dari Kudus, mengantarkan istrinya dalam rangka memohon keadilan dari Sunan Kudus atas dibunuhnya
Sultan Prawata oleh Arya Penangsang. Namun Sunan Kudus tidak dapat menerima tuntutan Ratu Kalinyamat karena ia memihak
Arya Penangsang.
Menurut
Sunan Kudus, Sultan Prawata memang berhutang nyawa kepada Arya Penangsang yang harus
dibayar dengan nyawanya. Arya Penangsang juga mencoba membunuh Adipati Pajang
Hadi Wijaya, menantu Sultan Trenggono.
Kematian
Sultan Prawata dan Pangeran Hadirin tampaknya membuat selangkah lagi bagi Arya Penangsang
untuk menduduki Tahta Demak. Meskipun
pembunuhan terhadap Sultan Prawata
dan Pangeran Hadirin
telah berjalan mulus, namun
Sunan Kudus merasa
belum puas apabila Arya Penangsang belum menjadi raja, karena masih ada penghalangnya yaitu
Hadi Wijaya.
Atas
nasehat Sunan Kudus, Arya Penangsang berencana membunuh Hadi Wijaya, namun mengalami
kegagalan. Kegagalan itu mendorong pecahnya perang antara Jipang dengan
Pajang.[3]
Peperangan antara
Pajang dan Jipang
tidak dapat terelakkan.
Dalam peperangan itu, Arya Penangsang memimpin pasukan Jipang mengendarai kuda jantan bernama Gagak Rimang yang
dikawal oleh Prajurit Soreng.
Adapun
pasukan Pajang dipimpin oleh Ki Gede Pemanahan,
Ki Penjawi, Ki Juru Martani. Pasukan Pajang juga dibantu oleh sebagian prajurit
Demak dan Tamtama dari Butuh, Pengging. Dalam peperangan itu Arya Penangsang terbunuh.
Pertempuran dimenangkan oleh pihak Pajang dan Arya Penangsang gugur.
Rangkaian peristiwa
pembunuhan para kerabat
raja Demak hingga perang
antara Pajang melawan
Jipang itu dalam
sumber tradisi terjadi
pada tahun 1549. Hal itu merupakan anti klimaks dari sejarah Dinasti
Demak.[4]
Setelah
kematian Arya Penangsang, Retno Kencono dilantik menjadi penguasa Jepara dengan Gelar Ratu Kalinyamat. Peristiwa perebutan kekuasaan
di Demak itu disatu pihak telah
memunculkan tokoh wanita yang memegang
peranan penting dalam kesatuan keluarga kesultanan Demak, serta dalam bidang
politik kewanitaan yang begitu menonjol. Sementara itu dipihak lain, memunculkan
seorang tokoh baru atau Homonovus yaitu Sultan
Hadi Wijaya.
Kemashuran
kepemimpinan Ratu Kalinyamat sampai seluruh penjuru nusantara, hal ini
didasarkan dari berita Portugis yang melaporkan bahwa ada hubungan antara Ambon
dan Jepara. Pemimpin pemimpin “Persekutuan Hitu” di Ambon ternyata beberapa kali meminta bantuan Jepara melawan orang Portugis
dan juga melawan suku yang lain yang masih
seketurunan, yaitu orang orang Hative,[5]
juga betapa besar kekuasan Ratu Kalinyamat nampak dari usahanya
menyerang orang Portugis di Malaka pada tahun 1550 yang kemudian diulanginya pada tahun 1574.
Menurut De Couro pada tahun 1550 Raja Johor menulis sepucuk surat pada Ratu Kalinyamat, mengajak ratu Jepara itu melakukan perang suci
melawan orang orang Portugis di Malaka. Dalam
surat itu Raja Johor juga menyatakan, di Malaka telah terjadi kekurangan bahan pangan.
Ratu
Kalinyamat menjawab seruan itu dengan
mengirim sebuah armada yang kuat.
Dalam serangan tersebut telah muncul 200 buah kapal besar dari negeri negeri Islam yang telah bersekutu menyerang Malaka, 40 buah diantaranya berasal dari
Jepara, memuat 4 sampai 5 ribu orang prajurit.
Armada
itu dikepalai oleh seorang Panglima, seorang Jawa yang disebut dengan nama julukan “Sang Adipati”,
seorang lelaki yang gagah berani.[6]
Ratu
Kalinyamat diperkirakan memerintah hingga 1579. Penggantinya adalah Pangeran Jepara,
Putra angkat Ratu Kalinyamat. Sejarah Banten menyebutkan bahwa putra
mahkota Jepara yang bernama Pangeran Aria atau Pangeran Jepara adalah putra angkat
Ratu Kalinyamat, putra Raja Banten Hasanuddin. Pada masa itu pertahana Jepara mulai mengalami kemerosotan.
Ratu
Kalinyamat diperkirakan memimpin Jepara selama 30 tahun dimulai dari tahun
1549-1579, selama itulah setelah menjadi janda Ratu Kalinyamat dalam hidupnya digunakan
mensejahterakan masyarakat Jepara dan melakukan dakwah Islam di
wilayah Pantai Utara pulau Jawa.
[1] Selamet Muljana,
Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan Hindu Jawa dan T imbulnya Negara-Negara Islam di
Nusantara, (Lksi, Yogyakarta, 2005,) hlm. 242-245
[2] DR. H.J. Dee Graff,
op, cit, hlm. 25
[3] Sudibjo Z. H, Babat
Tanah Jawi, (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Proyek Penerbitan Buku Sastra
Indonesia dan Daerah,i, t. p, 1980), hlm.65-81
[4] DR. H.J. Dee Graff,
Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa : Peralihan Dari Majapahit ke Mataram. Terj.
Grafitipers dan KITLV. (Jakarta: Grafitipers, 1986), hlm. 91
[5] H.J. Dee Graff, op,
cit, hlm. 130
[6] Hartoyo Amin
Budiman, op.cit., hlm. 26
No comments:
Post a Comment