Sebagaimana
pembahasan di bagian depan yaitu terjadinya perebutan tahta kerajaan
Demak oleh Ario
Penangsang dengan membunuh Sultan Prawata sebagai pewaris raja
Demak III dengan
motif menuntut balas kematian ayahnya yang mestinya lebih dahulu
menjadi raja ketimbang Sultan Trenggono.
Untuk mewujudkan cita-citanya menjadi raja Demak maka setelah Sunan
Prawata meninggal, Sultan Hadirin juga menjadi penghalangnya, akhirnya Sultan Hadirin juga terkena pembunuhan tatkala
pulang dari kasunanan kudus. Ratu kalinyamat merasa prihatin atas kematian saudaranya
dan suaminya maka dia pergi bertapa untuk
meminta pengadilan kepada yang kuasa. Hal ini di sebutkan dalam Babat Tanah
Jawa:
Kacarios
Sunan Prawata wau gadah sederek istri, anomo Ratu Kalinyamat. Puniko senget ngenipun
mboten narimah pjhahe sedereipun jaler.
Lajeng mangkat dhateng ing Kudus inggih sampun kapanggih, serto nyuwun adil, wangsulanipun Sunan
Kudus “Kakangmu kuwi wis utang pati marang Arya Pinangsang, samengko dadi sumurup nyaur bae” Ratu Kalinyamat miring wangsulanipun
Sunan Kudus mekaten sanget sakit ing manahipun.
Lajeng
mangkat mantuk. Wonten ing margi dipun begal utusanipun Arya Penangsang. Lakinipun
Ratu Kalinyamat dipun pejahi. Ratu Kalinyamat selangkung memales, sebab mentas
kepejahan sedulur, nunter kepejahan bojo, dados sanget ngenipun prehatin. Lajeng
mertopo awudo wonten ing redi Donorojo. Kang minongko tapeh remanipun kaore. Ratu
Kalinyamat nudalaken prasetyo, mboten bade ngangge sinjang selaminipun gesang
yen Aryo Jipang dereng pejah lan opuragi sinten-sinten ingkang saget mejahi Ariyo
Penagsang, Ratu bade nyuwito lan sembarang gedhahipun kasukaaken sedoyo.[1]
Artinya:
Sunan Prawata
tadi mempunyai saudara wanita, bernama Ratu Kalinyamat, dia tidak rela atas kematian
saudaranya bersama suaminya ia pergi ke Kudus memohon keadilan pada Sunan
Kudus, kemudian Ratu sudah bertemu dan minta keadilan padanya dan diberinya jawaban
“kakakmu berhutang nyawa pada Aryo Penangsang jadi sekarang anggap
saja sebagai pelunas” ratu Kalinyamat sakit hatinya mendengar
jawaban Sunan Kudus kemudian dia bersama suaminya pulang, namun dalam perjalanan
dia disambut utusan Aryo Penangsang dan suaminya terbunuh. Ratu Kalinyamat
sangat kasihan nasibnya, oleh karena baru suka kematian saudaranya lalu kematian suaminya
jadi sangat prehatin lalu Ratu bertapa telanjang di gunung
Danaraja yang dijadikan kain adalah rambutnya yang terurai. Ratu bersumpah
selama hidupnya tidak mau memakai kain jika Aryo Pengsang belum mati. Ratu juga berjanji
kepada siapa saja yang dapat membunuh Aryo Penangsang
Ratu akan mengabdi dan memberikan semua
harta miliknya.
Di dalam
buku serat Babat Demak di lukiskan dalam bentuk pangkur, senagai berikut:
Nimas
Ratu Kalinyamat
Tilar
puro mratopo ing wukir
Topo
wudo sinjang rambut
Aning
wukir Donorojo
Apratopo
nora tapih-tapihan ingsun
Yen tan
antuk adhiling Hyang
Artinya:
Ratu
Kalinyamat
Meninggalkan
gerbang istana
Pergi
bertapa di atas gunung
Tapa
telanjang berkain rambut
Di atas
gunung Danaraja
Saya
bersumpah tak akan berkain
Jika
belum menerima keadilan Tuhan
Atas
kematian saudara saya.
Di dalam
kedua sumber di atas disebutkan bahwa Ratu Kalinyamat bertapa dengan telanjang. Benarkah demikian? Di sini perlu penulis jelaskan bahwa para pujangga zaman dulu
mempunyai kebiasaan tidak berbicara terus terang. Mereka sering menggunakan
kiasan tersamar.
Dalam bahasa
Jawa wudo (telanjang) bisa berarti tidak mengenakan pakaian tapi juga bisa berarti tidak
memakai barang-barang perhiasan
dan pakaian yang bagus-bagus. Jika demikian maka “Wudo” artinya kiasan.
Interpretasi
ini sesuai dengan pendapat Drs. Uka Sasmita yang pernah mengemukakan pendapatnya
bahwa untuk menebus jiwa suaminya yang dicintai
itu ia (Ratu Kalinyamat) bertekat melakukan tapa dengan tidak menghiraukan pakaian dan makanan apapun.[3]
Dengan mengemukakan pendapat tadi maka tapa wuda Ratu kalinyamat harus
diartikan secara kias bukan secara harfiyah.
Situs
pertapaan Ratu Kalinyamat terdapat di tiga tempat. Yang pertama beliau bertapa
tidak jauh dari pesanggrahannya, hanya beberapa meter kearah timur. Di situ ada
tempat yang luas dengan pohon besar yang rimbun, apalagi letaknya ada di
pinggir sungai. Maka tempat itu betul-betul
cocok untuk bertirakat. Tempat itu kemudian hingga sekarang disebut dengan nama “gilang”. Berasal
dari kata gilang-gilang atau luas.
Bahkan masih ditemukan di situ batu bekas alas sembahyang sang Ratu dan
pancuran tempat berwudu.[4]
Kabar pertapaan
Ratu Kalinyamat sampai ke Pajang terdengar olah Hadiwijaya, setelah mendapatkan pengarahan dari Ki Panjawi, Hadiwijaya memutuskan untuk pergi menjenguk kakaknya
kesana, ia membujuk kakak iparnya itu berkenan meninggalkan pertapaan dan kembali ke keraton. Tetapi sang
ratu telah bertekat bulat. Bahkan akhirnya Ratu Kalinyamat memindah tempat pertapaannya
ke Gunung Donoroso yang sekarang berada di
Desa pengkol (Loji Gunung), karena di sini juga dikira sudah tidak memungkinkan
lagi untuk menenagkan pikiran, maka Ratu Kalinyamat
pindah lagi untuk mencari tempat yang tepat. Maka sang ratu memutuskan untuk mencari tempat itu bersama beberapa dayangnya.[5]
Selama
dalam perjalanan setelah beberapa hari melakukan perjalanan, rombongan Ratu Kalinyamat bertemu dengan seorang yang bernama Ki Pejing,
Ki Pejing menunjukkan tempat yang sangat bagus untuk bertapa, yaitu tempat di tepi sungai kecil yang airnya jernih dan selalu mengalir sepanjang tahun, disamping
itu tanah yang ditunjukkan tersebut berbau harum, karena baunya yang harum maka tempat yang akan dijadikan pertapaan Ratu
Kalinyamat disebut sebagai sitiwangi (siti = tanah wangi = harum, jadi tanah yang berbau
harum).
Setelah segalanya dipersiapkan Ratu Kalinyamat sebelum mulai bertapa terlebih
dahulu mandi dan bersuci (wudlu) di sungai kecil yang berada di samping pertapaan tersebut.[6]
Namun Hadiwijaya tidak putus asa, ia tetap memutuskan untuk
pergi menyusul kakaknya kesana. Sultan lalu pergi ke lereng gunung
Donorojo pada malam hari bersama Ki Pemanahan, Ki Panjawi, dan ketiga Raden Ngabehi loring Pasar (Danag Sutawijaya),
setelah sampai di tempat pertapaan Ratu Kalinyamat berkata, “Adimas Prabu, apa maksud kedatanganmu kemari?”
Sultan pajang menjawab, “Mbakyu
meninggalkan negeri, bertapa di Gunung Donorojo serta tidak berkain, apakah yang menjadi kesusahan
hati Mbakyu.”
Sultan Pajang
berusaha menghibur, “adapun kematian kakang sudah menjadi takdir Allah,”
Ratu Kalinyamat berkata, “aku sangat bahagia dengan kedatanganmu kemari akan tetapi
aku sudah bertekat bahwa sebelum mendapatkan
keadilan dari Gusti Allah, saya tidak akan memakai kain sebelum Arya Penangsang
yang menimbulkan keonaran, dan pembunuhan
dapat dihukum sesuai dengan angkara yang
diperbuat,”
Ratu Kalinyamat meneruskan perkataannya, “dan barang siapa yang mampu mengembalikan keadaan dengan meringkus orang-orang yang telah berbuat dzolim maka kekayaan dan kerajaan yang saya miliki akan saya berikan kepada
orang tersebut”.
Sultan
Pajang tertegun mendengar perkataan sang ratu, Sultan Pajang sebetulnya bermaksud
menolong Ratu Kalinyamat untuk meringkus
Arya Penangsang, akan tetapi tidak berani karena Arya penangsang adalah jagoan pilih tanding pada waktu itu.
Atas
dorongan dari Ki Panjawi, Sultan Pajang berani memutuskan untuk meringkus Arya
Penangsang, setelah terjadi musyawarah
panjang antara Ki Panjawi, Ki Pemanahan, dan Ki Mentahun. Akhirnya Arya Penangsang (Adipati Jipang) bisa diringkus
di tangan Raden Ngabehi Loring Pasar.[7]
[1] Babat Tanah Jawi, op.cit,
hlm. 519
[2] Dinas pariwisata Daerah jawa
Tengah, Ratu Kalinyamat, (Semarang: 1974), hlm. 6.
[3] Ibid, hlm. 7.
[4] Tim Penyusun Naskah Sejarah
Sultan Hadirin Dan Ratu Kalinyamat, Sultan Hadirin Dan Ratu Kalinyamat Sebuah
Sejarah Ringkas, (Jepara: t.p., 1991), hlm. 26.
[5] Ibid, hlm. 26.
[6] Soebekti, Babat Desa Tulakan
Pertapaan Ratu Kalinyamat, (Rahma, 2001), hlm.1-7
[7] Purwadi dan
Kazonori Toyoda, Babad
Tanah Jawi, (Jogjakarta:
Glombang Pasang, 2007), hlm. 96.
No comments:
Post a Comment