Prosesi
ibadah Puasa ketika dihubungkan dengan pendidikan anak (remaja) ada
beberapa aspek, diantaranya Aspek
Rohani, Aspek Sosial,
Aspek Spiritual.
A. Aspek Rohani
Pelakasanaan
ibadah puasa dalam hubungannya dengan aspek rohani, yaitu adanya manfaat yang terkandung didalamnya, diantaranya; untuk melatih rasa ikhlas,
beribadah, latihan disiplin
keuletan, serta kehalusan perasaan, memaksa diri untuk menimbulkan
kesadaran. Dan hal-hal lain yang bersifat kerohanian.[1]
Menurut
pendapat M. Farid Wajdy, dari Kairo
mengatakan: “Menjaga kesehatan
badan rohani dan
jasmani itu, adalah
satu soal yang
sulit, tidak mudah, dan
pokok-pokok menjagaa kesehatan kedua-duanya itu adalah sama. Bahwa badan rohani
itu berhajat kepada kesehatan, tidak berbeda dengan hajat badan jasmani,
tentulah mudah terserang penyakit, akhirnya mudah didatangi kerusakan. Demikianpun kalau badan rohani itu tidak terpelihara
dari segala kekotoran, tentulah mudah
sekali terserang penyakit, yang akhirnya dapat membinasakan”.[2]
Dalam pelaksanaan puasa dalam kaitannya dengan aspek rohani hendaknya seseorang (remaja);
a).
Memelihara dan menahan pandangan mata
dari melihat sesuatu
yang dilarang oleh Allah
SWT. seperti melihat
sesuatu yang akan
menarik perbuatan durhaka
b).
Memelihara pendengaran dari perkataan atau suara yang keji, yang
akan membawa perbuatan keji dan durhaka kepada Allah SWT.
c).
Memelihara lisan dari percakapan yang keji, perkataan yang kotor dan sebagainya, yang akan membawa perbuatan yang dilarang oleh Allah.
d).
Memelihara dan menahan anggota-anggota tubuh, seperti tangan, kaki dan lain-lainnya dari segala macam perbuatan atau kelakuan yang akan membawa atau menarik perilaku durhaka kepada Allah.
e).
Dalam mengerjakan puasa selalu membanyakkan pekerjaan-pekerjaan yang baik, seperti membaca Al-Qur’an, membaca hadits-hadits Nabi
dan sebagainya yang diperkenankan, bahkan dianjurkan oleh Islam.
f). Waktu berbuka puasa dan waktu sahur,
janganlah membanyakkan makan, minum
yang melebihi batas,
yang akan menimbulkan
banyak tidur dan malas beribadat.
g).
Pada malam harinya, hendaklah membanyakkan ibadah
kepada Allah, seperti mengerjakan
shalat tarawih, witir,
membaca Al-Qur’an dan sebagainya.[3]
B. Aspek Sosial
Ditinjau
dari segi sosial, puasa memberikan pimpinan ke arah kesadaran dan
keinsyafan mengalami dan merasakan lapar dan
dahaga, terutama bagi orang yang kebetulan kekayaan dan kehidupan
mewah. Mereka dapat merasakan
pahit getirnya orang
lapar dan menahan
keinginan hawa nafsu syahwat yang
murka,[4] minimal ada rasa belas kasihan bagi
orang-orang yang mampu (dalam kehidupannya) untuk bisa merasakan betapa lapar
dan hausnya manusia tatkala perut tidak terisi mulai fajar shodiq hingga terbenamnya matahari oleh sesuatu apapun, begitu beratnya penderitaan atau cobaan itu ketika menimpa pada
dirinya.
Pada
waktu menjalankan puasa manusia (remaja) akan
merasakan lapar, ingat kepada
fakir miskin, berarti bahwa
mereka yang sedang ingat itu menyelami
derita fakirmiskin. Dan oleh karenanya didalam sanubari manusia (remaja) tumbuh
rasa kasih sayang kepada si fakir dan si kaya.
Maka dari itu Islam mewajibkan untuk shadaqatul fitri dan shadaqotul mal
pada bulan puasa, sebagai ungkapan dengan
sengaja menahan makan, dapat menghargai karunia Allah, serta memberikan
sebagian hartanya kepada fakir miskin.
Dengan
maksud supaya fakir miskin bisa terjamin kehidupannya. Dan si kaya tidak
terlalu berlimpah-limpah kekayaannya hingga berbahaya, dengan demikian puasa
(khususnya puasa ramadhan) berarti memberikan kesempatan wajibnya keadilan sosial dilaksanakan, dengan demikian ukhuwah
Islamiyah tergalang, tiap-tiap
perbuatan yang memenuhi
hasrat hati dilarang. Wajib menahan
segala bentuk nafsu yang menjerumuskan manusia, sunah berhati tenang sehari-hari
melaksanakan ibadah puasa.
Terutama
hendaklah dijauhkan diri dari perselisihan. Memaki-makai, berdusta, memperkatakan
kejelekan orang, hasrat
hati yang tidak
baik dilarang, karena kejahatanlah yang sebenarnya merupakan neraka
manusia di dunia.[5]
Bagi orang
yang sudah fakir (tidak mampu dalam hidupnya), ketika berpuasa justru itu merupakan anugerah untuk berdo’a kepada Allah, karena denga do’a merekalah
keaadaan dunia ini semakin berkah, sebab do’a orang-orang lemah yang lebih sering diperhatikan oleh Tuhan-Nya. Dorongan berdo’a yang
dilakukan oleh orang fakir sebagai dampak dari kepedulian orang kaya
dalam menyantuni mereka
dalam prosesi puasa bertlangsung, walaupun kepeduliannya
itu hanya sesaat,
namun ada pencerahahn
yang diberikan kepada mereka orang fakir.
Dalam
kehidupan di dunia ini Allah SWT., sengaja tidak menyamakan rezeki yang diberikannya kepada semua orang (remaja), ada yang diberikannya mendapat
rezeki yang banyak, maka orang (remaja)
kaya, dan ada yang diberikannya sedikit maka orang (remaja) itu menjadi
orang (remaja) miskin, pemberian rezeki dan penentuan jumlahnya sepenuhnya
dipegang oleh Allah SWT.
Perbedaan
perolehan rezeki itu tidak sama, dan ini mempunyai hikmah yang besar dijadikan oleh Allah SWT. Adapun di antara hikmah tersebut;
Pertama, perbedaan
ini menjadi cobaan/ujian dari Allah SWT. apakah yang kaya itu bersyukur
kepada Allah atau tidak. Dan yang miskin itu bersabar atau tidak. Orang (remaja) kaya yang bersyukur beruntung, dan orang (remaja) yang bersabar juga beruntung. Jadi sama-sama beruntung, dan dapat pula kedua golongan itu
sama-sama merugi.
Disinilah hubungan keharmonisan itu terjadi, karena dengan bersyukurnya
orang (remaja) kaya akan mengeluarkan zakat, sedekah dan infaqnya kepada orang miskin, fakir dan yang tidak punya. Sementara orang (remaja) miskin, fakir dan yang tidak punya, tidak mengganggu harta orang kaya, karena kesabarannya dan keimanannya
kepada Allah SWT.
Dengan pemberian zakat, sedekah, infaq yang diberikan oleh orang (remaja) kaya kepada orang miskin, maka
orang miskin akan mendoakan agar tetap
kaya dan bahkan
lebih meningkatkan amal
ibadahnya. Silahturahmi antara keduanya semakin intim dan harmonis tidak
ada kesenjangan sosial dalam masyarakat.
Kedua,
mempertebal keimanan kepada Allah SWT. dengan
keimanan yang teguh orang (remaja) yang kaya dan miskin sama-sama
menyerahkan diri dan urusannya kepada Allah SWT. Setelah mereka berusaha semaksimal mungkin, kemudian menyerahkannya kepada Allah.
Ketiga, menerima
ketentuan Allah SWT, dengan penuh
keikhlasan, banyak sedikit rezeki, lapang dan sempitnya kehidupan
diterima dengan penuh keikhlasan. Dengan demikian hidup menjadi tenang, tidur menjadi
nyenyak, makan jadi enak, wajah menjadi cerah,
terhindar dari resah
dan gelisah dan stres.[6]
Inti
dari puasa itu sendiri
ternyata adalah menuju ketakwaan kepada Allah SWT, sebagai jembatan menuju ke
surga yang pernah
dirasakan oleh manusia (Nabi Adam as.). untuk mencapai tingkatan itu dibutuhkan ketaqwaan yang
dimiliki manusia.
Agar semua cobaan yang dialami di surga pada waktu dulu yang dialami
nabi Adam tatkala
itu tidak terulang lagi di dunia, hingga
padaa akhirnya manusia sebagai kholifah tidak terjerumus oleh
rayuan-rayuan setan.[7]
C. Aspek Spiritual
Islam
memberikan perhatian khusus terhadap spiritual yang merupakan sentral bagi manusia (remaja), karena spiritual merupakan penghubung manusia (remaja) dengan Allah SWT. Pendidikan spiritual dalam ibadah puasa adalah mewujudkan kaitan terus-menerus antara jiwa dengan Allah SWT.
Hikmah
yang paling mendasar dari perasan ini
adalah mengaitkan hamba kepada Tuhannya, memperkokoh hubungan dengan-Nya, semisal melakukan puasa
selama sebulan penuh dalam satu tahun,
ataupun ibadah puasa di sealain bulan Ramadhan, itu semua adalahwaktu untuk memperkokoh hubungan hamba dengan Tuhannya. Pada saat itu spiritual bersinar terang, tidak tertutup oleh kotoran, bersinar karena berhubungan dengan penciptanya.
Apabila hubungan dengan Allah lemah, niscaya jiwa akan layu, tertutup oleh
tanah yang tertarik ke bawah oleh bumi
(mati), dia menjalani hidupnya dengan unsur-unsur tanah yang mengenyangkan
jasadnya, pandangan dan cita-citanya di kubur di dalam bumi. Inilah kehidupan dunia, tertutup oleh apa
yang mereka capai.[8]
Ada
dua (2) kemungkinan dalam realitas pendidikan spiritual yang dilaksanakan ketika menjalankan ibadah
puasa;
1) Mengabaikan, meremehkan, bahkan mengingkari
aspek spiritual, dengan alasan bahwa spiritual bukanlah hal yang dapat
diindra. Hal ini merupakan metode orang-orang (remaja) bertaklid terhadap non-muslim, tidak
percaya kecuali kepada sesuatu yang dapat diindra.
2) Adakalanya
mengakui aspek spiritual,
namun tidak mengetahui
cara pengembangannya. Karena pihak barat menyajikan satu metode pendidikan pun mengenai spiritual. Sementara orang (remaja) Islam meng-impor metode-metode pengajaran dari dunia barat, kemudian diterapakan untuk pendidikan keislaman. Spiritual tetap terabaikan di lapangan pendidikan kontemporer di dunia
Islam.[9]
Remaja
dalam pelaksanakan ibadah puasa akan menemukan pelajaran, manfaat dalam perjalanannya, ia akan mengalami hal-hal yang
berinteraksi dengan pola kehidupannya, karena remaja yang
melakukan puasa
dengan dilandasi dengan ketakwaan akan mendapatkan banyak keuntungan, diantara-nya adalah remaja itu tidak akan menghadapi
kesulitan hidup.[10]
Walaupun
dampak yang diperoleh itu baik secara langsung
maupun tidak secara langsung. Interaksi remaja dalam kehidupannya itu akan membutuhkan kebutuhan spiritual manusia,[11]
yaitu;
1) Kebutuhan akan kepercayaan dasar (basic trust) yang
senantiasa secara teratur terus menerus diulang guna membangkitkan kesadaran bahwa hidup ini adalah ibadah.
2) Kebutuhan akan makna hidup, tujuan hidup dalam
membangun hubungan yang selaras, serasi dan seimbang dengan Tuhannya (vertikal) dan dengan sesama manusia (horisontal) serta alam sekitar.
3) Kebutuhan akan komitmen peribadatan
dan hubungannya dalam
hidup keseharian. Pengalaman agama hendaknya integratif antara
ritual dan pengalaman dalam
kehidupan sehari-hari.
4) Kebutuhan akan pengisian keimanan dengan selalu secara teratur mengadakan hubungan dengan Tuhan (vertikal). Hal ini dimaksudkan
agar kekuatan iman
dan takwa senantiasa
tidak melemah, ibarat aki (accu) yang senantiasa “change” agar tenaga listriknya tidak melemah.
5)
Kebutuhan akan bebas dari rasa bersalah dan berdosa. Rasa bersalah dan berdosa ini
merupakan beban mental bagi seseorang dan tidak
baik lagi kesehatan jiwa.
6)
Kebutuhan akan penerimaan diri dan
harga diri “selfacceptance” dan “self-estem”. Dua hal tersebut sangat penting bagi kesehatan jiwa seseorang (remaja). Setiap diri ingin diterima dan dihargai oleh lingkungan,
tidak ingin dilecehkan atau dipinggirkan.
7) Kebutuhan akan rasa aman, terjamin dan
keselamatan terhadap harapan masa depan.
8) Kebutuhan akan dipercayai derajat dan martabat
yang semakin tinggi sebagai pribadi yang utuh (“integreted
personality”). Bagi orang
yang beriman akan senantiasa mendekatkan diri kepada Tuhannya (Allah SWT) sehingga diharapkan derajat
dan martabatnya dimata sesama manusia akan lebih tinggi.
9) Kebutuhan akan terpeliharanya interaksi dengan
alam dan sesama manusia. Orang (remaja)
tidak dapat hidup seorang diri, melainkan saling ketergantungan dengan orang lain.
Orang (remaja) harus bersahabat dengan alam
dimana dia tinggal
dan hidup, jangan
kelestarian alam dirusak dengan berbagai pencemaran, yang pada gilirannya akan mengancam
kehidupan manusia itu sendiri.
10)
Kebutuhan akan kehidupan bersama bermasyarakat
yang
syarat dengan nilai-nilai relegiusitas. Komunitas keagamaan merupakan salah satu kebutuhan dasar bagi kehidupan seseorang (remaja).[12]
[1] Su’dan, Al-Qur’an: Dan
Panduan Kesehatan Masyarakat,
(Yogyakarta: Dana Bhakti Prima Yasa, 1997), hlm. 223.
[2] Moenawar
Khalil, Nilai Dan Hikmah Puasa,
(Jakarta: Bulan Bintang, t.t), hlm. 41.
[3] Ibid., hlm. 45
[4] Ibid., hlm. 15.
[5] Su’dan, loc.cit.,
hlm. 225.
[6] Siregar,et.al.,
Nasehat Para Ulama’Hikmah Puasa: Berpuasalah Agar Hidup Dii Bimbing Menuju-Nya,
(Jakarta: Raja Grafindo Jaya, 2001),
hlm. 175-176.
[7] Quraish shihab,
Membumikan Al-Qur’an (Bandung: Mizan, 2002), cet. XXII,, hlm. 307.
[8] Ibnu Burdah,
Menumbuhkan Sikap Sosial,
Moral Dan Spiritual
Anak Dalam Keluarga Muslim, Terj. Khatib Ahmad Santhut,
(Yogyakarta: Mitra Pustaka, 1998), cet.I., hlm. 99.
[9] Ibid., hlm. 99-100.
[10] Said Agil
Husain Al-Munawar, et.al.,Meramadhankan Semua
Bulan Puasa Sebagai Persoalan Ummmat Sebagai Tangga
Ruhani, (Jakarta: Iman Dan Hikmah, 2002), hlm. 67.
[11] Dadang Harawi,
Al-Qur’an Dan Ilmu
Kedokteran Jiwa Dan
Kesehatan Jiwa, (Yogyakarta: Dana
Bhakti Prima Yasa,1996), hlm. 493.
[12] Dadang Harawi,
Ibid., hlm. 498.
No comments:
Post a Comment