Perkataan
Nikah merupakan perkataan umum bagi masyarakat di Indonesia. Nikah adalah
perjodohan laki-laki dan perempuan untuk menjadi suami istri.[1] Sedangkan kata paksa dapat
diartikan sebagai perbuatan (seperti tekanan, desakan dan sebaginya) yang
mengharuskan (mau tidak mau atau dapat tidak dapat harus...). misalnya
sesungguhnya bukan karena cinta melainkan karena menjalankan, melakukan tekanan
(desakan) keras.
Setelah
diuraikan secara umum tentang pengertian nikah (pernikahan) dan pengertian
paksa, maka penulis dapat menarik kesimpulan dari dua arti tersebut untuk
menjadi sebuah pengertian yaitu bahwa nikah paksa ialah perjanjian (ikatan)
antara dua pihak calon mempelai suami dan istri karena ada faktor yang
mendesak, menuntut, dan mengharuskan adanya perbuatan (dalam melaksanakan
pernikahan) tersebut serta tidak ada kemauan murni dari kedua calon mempelai
itu di mana tidak ada kekuatan untuk menolaknya.
1. Dasar Hukum Larangan Nikah Paksa
Sebelum
menuju pada dasar hukum nikah paksa, maka terlebih dahulu akan menguraikan
dasar hukum dari beberapa ketentuan hukum pernikahan tersebut di atas :
a. Hukum asal pernikahan adalah mubah,
berdasarkan firman Allah :
و
انكحوا الأيمى منكم و الصلحين من عبادكم و إمائكم ان يكونوا فقراء يغنهم الله من
فضله و الله واسع عليم
Dan
nikahlah olehmu orang-orang yang tidak mempunyai jodoh di antara kamu, begitu
pula budak-budak laki-laki yang saleh dan budak-budak perempuan yang saleh.
Jika kamu fakir niscaya Allah akan mencukupkanmu dengan sebagian karunia-Nya,
dan Allah maha luas lagi maha mengetahui. (QS. An-Nur : 32).[2]
b. Dasar hukum wajib, seperti pada
hadits Nabi Saw. :
عن
عبد الله بن مسعود رضي الله عنه قال قال لنا رسول الله صلى الله عليه و سلم يا
معشر الشباب من استطاع منكم الياءة فليتزوج فإنه أغض للبصر و أحصن للفرج و من لم
يستطع فعليه بالصوم فإنه له وجاء (رواه البخاري و مسلم)
“Dari Abdullah
bin mas’ud ia berkata kepada kami bahwa Rasulullah saw bersabda : Hai sekalian
pemuda. Barang siapa di antara kamu yang sanggup kawin. Maka ia hendaklah
kawin. Karena kawin itu menghalangi pandangan (terhadap yang dilarang agama)
dan memelihara faraj. Dan barang siapa yang tidak sanggup maka hendaknya ia
berpuasa. Karena puasa itu perisai baginya.” (HR. Bukhori dan Muslim).[3]
c. Dasar hukum sunat. Hadits yang
diriwayatkan oleh Bukhori dan Ibnu Hibban.
و
عن أنس بن مالك رضي الله عنه قال كان رسول الله صلى الله عليه و سلم ينهى عن
التبتل نهيا شديدا (رواه ابن ماجه)
“bahwasanya
Rasulullah saw. melarang dengan sangat hidup sendirian tanpa kawin”. (HR.
Ibn Majah).[4]
d. Dasar hukum makruh, firman Allah
swt. Dalam QS. An Nur : 33
و
ليستعفف الذين لا يجدون نكاحا حتى يغنيهم الله من فضله و الذين يبتغون الكتب مما
ملكت أيمنكم فكاتبوهم ان علمتم فيهم خيرا و ءاتوهم من مال الله الذي ءاتكم و لا
تكرهوا فتيتكم على البغاء إن أردن تحصنا لتبتغوا عرض الحيوة الدنيا و من يكرههن
فإن الله من بعد إكراههن غفور رحيم
“Dan
orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya,
sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki
yang menginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka,
jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian
dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa
budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri
mengingini kesucian, Karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan barang
siapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi
Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.”(An-nur : 33)[5]
Setelah
menguraikan beberapa ketentuan hukum dan dasar hukum pernikahan, maka jika
dikaitkan dengan hukum nikah paksa jelas dapat disimpulkan bahwa hal ini sangat
dilarang oleh agama, karena setiap gadis maupun janda punya hak atas dirinya,
oleh karena itu mereka berhak dimintai persetujuannya. Ini sesuai dengan hadits
Rasulullah SAW.:
عن
ابن عباس ان رسول الله صلى الله عليه و سلم قال الأيم أحق بنفسها من وليها و البكر
تستأمر بنفسها و إذنها صماتها (رواه البخار و مسلم)
“Dari
Ibnu Abbas r.a. bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda : “janda lebih berhak atas
dirinya dari pada walinya, dan kepada gadis (perawan dimintai persetujuannya,
dan persetujuannya adalah diam”.[6]
Dasar
hukum yang lain untuk nikah paksa adalah hadits Nabi Muhammad SAW. yang
diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah.
عن
ابن عباس رضي الله عنه ان جارية بكرا اتت رسول الله صلى الله عليه و سلم فذكرت له
أن أباها زوجها و هي كارهة فخيرها رسول الله صلى الله عليه و سلم (رواه أحمد و أبو
داود و ابن ماجه)
“Dari Ibnu Abbas ra. Bahwa jariyah,
seorang gadis telah menghadap Rasulullah saw. ia mengatakan bahwa ayahnya telah
mengawinkannya, sedang ia tidak menyukainya. Maka Rasulullah menyuruhnya
memilih.” (HR. Ahmad, Abu Daud, Ibnu Majah).[7]
Dari
keterangan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa suatu pernikahan yang terjadi
tanpa adanya kesanggupan maupun persetujuan dari pihak-pihak yang
berkepentingan, maka pernikahannya tidak sah.[8]
2. Faktor-faktor yang menyebabkan
nikah paksa
Sistem
nikah paksa memang masih sangat tersohor dalam kamus perkawinan di masyarakat
Islam Indonesia. Ada beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya nikah paksa di
antaranya :
a. Pilihan yang dicarikan atau diberikan orang tua, kerabat,
pemilihan jodah macam kedua ini sudah termasuk semi nikah paksa.
b. Pilihan nikah paksa karena
kecelakaan (insiden) artinya mereka
yang terpaksa nikah karena terlanjur melakukan hubungan intim lebih dulu
yang akhirnya berbuntut kehamilan diluar nikah.
c. Nikah paksa murni atas kehendak
orang tua tanpa melibatkan persetujuan anak terlebih dahulu dalam hal ini anak
tidak bisa ikut andil memilih dan menentukan dengan siapa seorang anak akan menikah.
Dan
masih banyak lagi faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya nikah paksa, dalam
hal ini hanya sebatas sepengetahuan penulis.
3. Konsep Wali mujbir kaitannya dengan nikah
paksa.
Sistem
nikah paksa yang masih berlaku di sebagian dunia Islam membawa dampak yang
cukup jelas dengan konsep wali mujbir yang berkembang dalam wacana hukum Islam,
praktek ini sepintas mendapatkan pembenaran dan legitimasi agama.
Wali
mujbir adalah wali seorang anak yang mempunyai keturunan kenasaban dari garis
ayah keatas dan wali mujbir tersebut
yang punya kuasa / otoritas menikahkan anak gadisnya meskipun anak gadisnya menolak.
Meskipun demikian, wali mujbir ini dibatasi dengan beberapa syarat:
a. Mempelai laki-laki itu harus sekufu
(setingkat) dengan mempelai perempuan.
b. Mempelai laki-laki harus membayar
maskawin dengan tunai
c. Tidak ada permusuhan antara
mempelai laki-laki dan perempuan
d. Tidak ada permusuhan yang nyata
antara perempuan yang dinikahkan dengan wali yang menikahkan.[9]
4. Persetujuan tanpa paksaan kedua
belah pihak
Memberikan
persetujuan sebagai syarat adanya kesepakatan pernikahan di dalam islam hanya
akan dilaksanakan berdasarkan persetujuan secara suka rela tanpa adanya paksaan
dari salah satu pihak. Rasulullah SAW berasabda :
عن
ابن عباس ان رسول الله صلى الله عليه و سلم قال الثيب أحق لنفسها من وليها و البكر
تستأمر و إذنها سكوتها (رواه مسلم)
Janda
lebih berhak atas dirinya dari pada walinya dan kepada gadis perawan dimintai
persetujuannya dan tanda persetujuannya adalah diam. (HR. Muslim)[10]
Seorang
gadis mendatangi Nabi SAW dan memberitahukan bahwa ayahnya telah menikahkannya
dengan anak pamannya, padahal ia tidak menyukainya, karena itu nabi saw
menyarankan masalah ini kepadanaya, ia pun bersabda : “Sebenarnya saya
mengajarkan kepada kaum perempuan bahwa seorang ayah tidak boleh memaksakan
kehendaknya dalam hal ini.”[11]
Asas
persetujuan dalam pernikahan yang diungkapkan oleh hukum islam di Indonesia
didasarkan pada hukum islam yang menyatakan bahwa dalam suatu pernikahan
terdapat pihak-pihak yang berkepentingan, yaitu pihak-pihak yang berhak akan
perkawinan tersebut. Dalam asas persetujuan pernikahan Islam terdapat hak
beberapa pihak yaitu :
a. Hak-hak Allah
b. Hak-hak orang yang akan menikah
c. Hak wali.
Yang
dimaksud Hak Allah ialah dalam melaksanakan pernikahan itu harus diindahkan
ketentuan Allah, seperti adanya kesanggupan dari orang-orang yang akan nikah dengan seseorang yang dilarang nikah dengannya
dan sebagainya. Apabila hak Allah ini tidak diindahkan maka pernikahan menjadi
batal.
Di
samping itu ada hak-hak orang yang akan nikah dan hak wali. Mengenai hak-hak
orang yang akan nikah dan hak wali ini tersebut dalam hadist :
عن
ابن عباس ان رسول الله صلى الله عليه و سلم قال الأيم أحق بنفسها من وليها و البكر
تستأمر بنفسها و إذنها صماتها (رواه البخار و مسلم)
“Dari
Ibnu Abbas r.a. bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda : “janda lebih berhak atas
dirinya dari pada walinya, dan kepada gadis (perawan dimintai persetujuannya,
dan persetujuannya adalah diam”. (HR. Bukhari dan Muslim)[12]
Hadits
di atas menerangkan bahwa orang-orang yang akan nikah baik laki-laki ataupun
perempuan mempunyai hak atas pernikahannya, begitu pula walinya. Akan tetapi
orang yang akan nikah lebih besar haknya dibanding dengan hak walinya dalam
pernikahannya itu. Wali tidak boleh menikahkan anak perempuannya dengan
laki-laki yang tidak disukai. Wali berkewajiban meminta pendapat anak
perempuannya mengenai laki-laki yang akan dijodohkan, apakah ia mau menerima
laki-laki itu atau menolaknya.[13]
Seseorang
tidak dapat dipaksa untuk melaksanakan haknya atau tidak melaksanakan haknya
selama tindakannya itu tidak bertentangan dengan ketentuan-ketentuan yang
berhubungan dengan haknya. Hak ijbar (memaksa) dalam Islam dimiliki oleh wali
mujbir, namun bukan berarti wali mujbir berhak menjodohkan anaknya tanpa memberikan
persetujuan kepada anaknya.
Di
dalam Islam, hak ijbar dimaknai sebagai bimbingan atau arahan seorang wali
kepada putrinya untuk menikah dengan pasangan yang sesuai. Adanya keihlasan,
kerelaan dan izin dari seorang anak gadis adalah hal yang tidak bisa diabaikan,
sebab seorang anaklah yang akan menjalani kehidupan rumah tangga dan waktunya
rentang lama (permanent/muabbad) dan bukan untuk waktu yang
sementara (muaqqat).
[1] Poerwodarminta, kamus umum
bahasa Indonesia, Jakarta: balai pustaka, Cet. Ke-8, 1985, hlm. 453.
[2] Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Al_Qur’an, (TM. Hasbi Ash-Shiddieqy), op. cit,
hlm. 549.
[3] Imam Muslim, Shohih Muslim Juz
II, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1992, hlm. 1018-1019.
[4] Abi Abdillah Muhammad bin
Yazid (Ibn Majah), Sunan Ibn Majah, Jilid I, Beirut: Dar Al-Fikr, t.t., hlm.
592.
[5] Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Al_Qur’an, (TM. Hasbi Ash-Shiddieqy), loc. cit.
[6] Muhammad Ibn Ismail
As-sanani, Subul al-Salam, juz III,
kairo: Dar al Turas al arobi, 1980), hlm.231.
[7] Ahmad Ibn Ali Ibn Hajar
al-Asqalani, Bulugh al-Maraam, Surabaya: Dar al-Ulum, tt., hlm. 205-206.
[9] Sahal Mahfudz, Dialog Dengan
Kiai sahal Mahfud Solusi Problematika Umat, Surabaya: Ampel suci, 2003, hlm.10
atau lihat H.S. A. Alhamdani, Risalah Nikah Hukum Perkawinan Islam, Jakarta:
Pustaka Amani, Cet. Ke-3, 1989, hlm.86
[10] Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid,edisi terj., juz 2, Jakarta:
Pustaka Amani, 2007, hlm. 403.
[11] Yusuf Qordhowi, Halal Haram dalam Islam, Singapura: Himpunan
Belia Islam, 1980, hlm.241.
[12] Muhammad Ibn Ismail As-sanani,
Subul al-Salam, juz III, kairo: Dar al Turas al arobi, 1980), hlm.119.
[13] Ghazali Mukri, terj. Panduan
Fikih Perempuan, karya Yusuf Al Qardhawi, Yogyakarta: Salma Pustaka, 2004, hlm.
126.
nice share om, bagus infonya, kerennnn
ReplyDeleteSouvenir Wedding Kediri