Al-Qur’an
dan Al-Hadist telah memberikan petunjuk dengan jelas mengenai perempuan hamil
yang boleh dinikahi dan yang tidak boleh dinikahi, baik larangan yang bersifat
sementara maupun larangan yang bersifat selama-lamanya. Dan perempuan yang
hamil itu secara umum termasuk yang diharamkan untuk dinikahi dalam waktu yang
sementara.
Jika
sebab yang menghalangi itu sudah tidak ada maka barulah boleh untuk menikah.
Akan tetapi perempuan hamil ini masih dapat diperinci lagi, sehingga ada juga
yang membolehkan untuk menikahinya di saat kehamilannya. Misalnya bagi perempuan
yang hamil akibat z1na, meskipun ini masih ikhtilaf.
Dalam
hal ini penulis sajikan tentang macam-macam perempuan hamil yaitu sebagai
berikut:
1. Perempuan hamil yang sedang
bersuami.
2. Perempuan hamil yang telah
diceraikan oleh suaminya.
3. Perempuan hamil yang ditinggal mati
suaminya.
4. Perempuan hamil yang diakibatkan
wati subhat.
5. Perempuan hamil akibat z1na.
Berikut
ini adalah keterangan mengenai perempuan-perempuan hamil tersebut.
a. Perempuan hamil yang sedang
bersuami
Perempuan
hamil ini tidak boleh menikah sama sekali karena dia mempunyai suami, dan agama
Islam melarang keras adanya poliandri, yaitu seorang istri bersuami lebih dari
satu. Sebagaimana dalam ayat :
و المحصنت من النساء
إلا ما ملكت أيمنكم كتب الله عليكم
Dan
diharamkan juga kamu mengawini) wanita yang bersuami kecuali budak-budak yang
kamu miliki (Allah telah menetapkan hukum itu) sebagaimana ketetapannya atas
kamu. (QS.
An-Nisa’: 24)[1]
Yang
dimaksud (المحصنات) di sini adalah perempuan yang mempunyai suami yang ada dalam
kalimat (الإحصان) dalam al-Qur’an, mempunyai beberapa makna yaitu perempuan yang
mempunyai suami, perempuan yang merdeka, perempuan yang menjaga kesucian
dirinya dan yang terakhir adalah perempuan muslim.[2] Dari tafsir tersebut dapat
dipahami bahwa perempuan yang bersuami tidak boleh dinikahi.
b. Perempuan hamil yang telah
diceraikan oleh suaminya
Perempuan
ini boleh dinikahi oleh laki-laki lain asal iddahnya sudah selesai, yaitu
sampai ia melahirkan anaknya, meskipun dalam beberapa hari saja. Sebagaimana
firman Allah SWT:
و أولت الأحمال أجلهن
أن يضعن حملهن
Dan
perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddahnya ialah sampai ia melahirkan
kandungannya. (QS. At-Talaq : 4)[3]
c. Perempuan hamil yang ditinggal mati
suaminya
Mazhab
empat berpendapat bahwa iddah bagi perempuan yang ditinggal mati suaminya
adalah sampai dia melahirkan bayinya. Sekalipun hanya beberapa saat dia
ditinggal mati oleh suaminya, dia sudah boleh menikah lagi sesudah lepas dari
kehamilannya.[4]
Namun Imamiyah berpendapat lain, menurutnya iddah perempuan hamil yang
ditinggal mati suaminya adalah iddah paling panjang diantara waktu melahirkan
dan 4 bulan 10 hari.[5]
d. Perempuan hamil yang diakibatkan
wati subhat
Menurut
Imam Malik, Hanafi dan Imamiyah berpendapat bahwa perempuan hamil yang
dicampuri secara subhat, maka iddahnya sampai ia melahirkan.[6]
e. Perempuan hamil akibat zina.
Hukum
menikahkan perempuan hamil ini masih khilafiyah, ada yang membolehkan dan ada
juga yang tidak membolehkan. Ulama yang membolehkan di antaranya adalah Imam
Syafi’i dan Imam Abu Hanifah. Beliau-beliau ini membolehkan akadnya akan tetapi
terjadi perbedaan dalam hal persetubuhan.
Menurut
Imam Syafi’i, boleh bersetubuh dengannya tanpa menunggu istibra’, sedangkan
Imam Abu Hanifah tidak boleh bersetubuh tanpa menunggu istibra’.[7] Adapun Imam Malik untuk menikahinya
beliau mensyaratkan istibra’. Dan Imam Ahmad berpendapat tidak boleh
menikahinya kecuali dengan dua syarat yaitu taubat dan istibra’.[8]
[1] Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Al_Qur’an, (TM. Hasbi Ash-Shiddieqy), op. cit., hlm. 120.
[2] Imam Muhammad Ibn Ali Ibn
Muhammad asy-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz I, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
19994, hlm. 565.
[3] Yayasan Penyelenggara
Penterjemah Al_Qur’an, (TM. Hasbi Ash-Shiddieqy), op. cit., hlm. 946.
[4] Muhammad Jawwad
al-Mugniyah, al-Ahwal asy-Syakhsiyah
‘ala al-Mazahibil al-Khamsah, Beirut: Dar al-Ilm al-Maliyin, 1964, hlm. 149.
[5] Ibid.
[6] Ibid., hlm. 152.
[7] Abd. Al-Wahab
asy-Sya’rani, Al-Mizan, Juz II, Mesir:
Mathba’ah at-Taqadim al-Ilmiyyah, hlm. 188.
[8] Abd. Al-Wahab asy-Sya’rani,
loc. cit.
No comments:
Post a Comment