Dalam
kompilasi hukum Islam (KHI) ditentukan prinsip-prinsip dan asas pernikahan yang
meliputi segala sesuatu yang berhubungan dengan pernikahan yang antisipatif
terhadap perkembangan dan tuntutan zaman. Karena kompilasi dalam banyak hal merupakan
penjelasan undang-undang perkawinan, maka asas-asas dan prinsip-prinsipnya di
kemukakan dengan mengacu pada undang-undang tersebut.
Enam
prinsip asas dalam undang-undang perkawinan itu adalah:[1]
a. Asas perkawinan yaitu
membentuk keluarga yang bahagia dan
kekal, untuk itu suami istri perlu saling membantu dan melengkapi agar
masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan
spiritual dan material.
b. Asas legalitas, yaitu bahwa suatu
perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan dan di samping masing-masing perkawinan dicatat menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
c. Asas monogami yaitu perkawinan
antara seorang suami dengan seorang istri, hal ini bukan berarti bahwa
perkawinan seorang suami dengan lebih dari seorang istri ditutup sama sekali
kemungkinannya.
Perkawinan
seorang suami dengan istri lebih dari seorang masih dimungkinkan, apabila
dikehendaki yang bersangkutan yang mengizinkannya. Meskipun demikian perkawinan
seorang suami dengan lebih dari seorang istri dikehendaki oleh yang
bersangkutan hanya dapat dilakukan apabila dipenuhi berbagai persyaratan
tertentu dan diputuskan oleh pengadilan.
d. Prinsip selanjutnya adalah prinsip kedewasaan
ialah bahwa calon suami istri itu harus matang jiwa raganya untuk dapat
melangsungkan perkawinannya, agar supaya dapat melangsungkan dan mewujudkan tujuan
perkawinan secara baik tanpa berakhir dengan perceraian serta mendapatkan
keturunan yang baik dan sehat.
Untuk
itu harus dicegah adanya perkawinan antara calon suami istri yang masih di
bawah umur apabila diingat bahwa perkawinan mempunyai hubungan yang erat dengan
masalah kependudukan, yang merupakan
batas umur yang merupakan masalah nasional kita. Maka UU No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan
menentukan batas umur kawin untuk laki-laki dan perempuan, untuk laki-laki
batas umur untuk kawin 19 tahun dan untuk perempuan 16 tahun.
e. Asas mempersulit terjadinya
perceraian.
Telah
diterangkan bahwa tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga yang bahagia,
kekal, sejahtera, maka Undang-undang perkawinan No 1 tahun 1974 tentang
perkawinan menganut prinsip untuk mempersukar terjadinya perceraian. Perceraian
hanya terjadi apabila dipenuhinya alasan-alasan tertentu yang terdapat dalam
perundang-undangan serta dilakukan di depan pengadilan, sedangkan sidang
pengadilan sendiri memberikan nasihat
agar suatu perceraian dapat digagalkan sehingga dapat terlaksana tujuan
perkawinan yang bahagia, kekal, sejahtera, berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
f. Asas keseimbangan.
Maksudnya
adalah hak dan kedudukan istri seimbang dengan hak dan kedudukan suami baik
dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam pergaulan masyarakat, sehingga dengan
demikian maka segala sesuatunya dalam keluarga dapat dirundingkan.
Undang-undang
perkawinan nomor 1 tahun 1974 juga menentukan salah satu syarat perkawinan
adalah persetujuan kedua calon mempelai, pasal 6 ayat I UU. Perkawinan tahun
1974 berbunyi : "Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai”. Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa perkawinan mempunyai maksud
agar suami istri dapat membentuk keluarga yang kekal dan bahagia, maka
perkawinan harus disetujui oleh kedua mempelai yang telah melaksanakan
pernikahan tersebut tanpa adanya keterpaksaan dari pihak manapun.
Ketentuan
di atas sejalan dengan KHI yang berlaku di Indonesia yang mewajibkan
persetujuan calon mempelai, sebagai pengukuhan adanya persetujuan calon
mempelai, pegawai pencatat nikah (PPN) harus menanyakan kepada mereka
sebagaimana diatur dalam pasal 17 KHI :
1. Sebelum berlangsungnya pernikahan,
pegawai pencatat nikah harus menanyakan terlebih dahulu persetujuan mempelai di
hadapan dua saksi nikah.
2. Bila ternyata perkawinan tidak
disetujui oleh salah seorang calon mempelai maka perkawinan tidak dapat
dilangsungkan.
3. Bagi calon mempelai yang menderita
tuna wicara atau tuna rungu, persetujuan dapat dinyatakan dengan tulisan atau
isyarat yang dapat dimengerti.[2]
No comments:
Post a Comment