SYARAT-SYARAT SAKSI PERNIKAHAN


Syarat menurut terminologi para fuqoha seperti diformulasikan Muhammad al-Khudari Bek, ialah sesuatu yang ketidak-adaannya mengharuskan tidak adanya hukum itu sendiri. Menurutnya hikmah dari ketiadaan syarat itu berakibat pula memindahkan hikmah hukum atau sebab hukum.

Kedudukan syarat sangat penting adanya saksi dalam pernikahan, namun syarat tentunya berbeda dengan rukun. Kalau syarat berada di luarnya sedangkan rukun berada di dalam suatu akad.

Masing-masing ulama fiqih menetapkan syarat-syarat menjadi saksi pernikahan amat beragam. Imam Taqiyyudin menetapkan syarat saksi ada enam syarat,

1. Islam.

2. Baligh.

3. Sehat akalnya.

4. Merdeka.

5. Laki-laki.

6. Adil.[1]

Dalam Risalatul Nikah, Al Hamdani menyebutkan syarat saksi,

1. Laki-laki.

2. Baligh.

3. Waras akalnya.

4. Adil

5. Dapat mendengar dan melihat.

6. Bebas, tidak dipaksa.

7. Tidak sedang mengerjakan ihram hajji.

8. Memahami bahasa yang digunakan untuk ijab dan qabul.[2]

Imam al-Jaziri dalam kitabnya, Fiqih Madzahib al-Arba’ah menyebutkan lima syarat untuk menjadi saksi,

1. Berakal, orang gila tidak boleh jadi saksi.

2. Baligh, anak kecil tidak boleh jadi saksi.

3. Merdeka, hamba sahaya tidak boleh jadi saksi.

4. Islam.

5. Saksi mendengar ucapan dua orang yang berakad secara bersamaan, maka tidak sah kesaksian orang tidur yang tidak mendengar ucapan ijab qabul dua orang yang berakad.[3]

Imam Hanafi mengemukakan bahwa syarat-syarat yang harus ada pada pada seseorang yang menjadi saksi ialah:

a. Berakal, orang gila tidak sah menjadi saksi.

b. Baligh, tidak sah saksi anak-anak.

c. Merdeka, bukan hamba sahaya.

d. Islam.

e. Keduanya mendengar ucapan ijab dan kabul dari kedua belah pihak.

Imam Hambali mengatakan syarat-syarat saksi adalah:

a. Dua orang aki-laki yang baligh.

b. Keduanya beragama Islam, dapat berbicara dan mendengar.

c. Keduanya tidak berasal dari satu keturunan kedua mempelai.

Imam Syafi’i mengemukakan bahwa syarat-syarat saksi adalah:

a. Dua orang saksi.

b. Berakal.

c. Baligh.

d. Islam.

e. Mendengar.

f. Adil.[4]

Orang yang menjadi saksi dalam pernikahan harus memenuhi persyaratan. Beberapa syarat yang harus ada pada seseorang yang menjadi saksi adalah: berakal sehat, dewasa, mendengarkan ucapan kedua belah pihak yang berakad dan memahami bahwa ucapan-ucapannya itu maksudnya maksudnya adalah ijab kabul pernikahan. Bila para saksi itu buta maka hendaknya mereka bisa mendengarkan suaranya dan mengenal betul bahwa suara tersebut adalah suara tersebut adalah suaranya kedua orang yang berakad. 

Orang gila tidak dapat dijadikan saksi, karena kehadiran saksi itu di samping menyaksikan akad nikah, juga menyaksikan pemberitahuan bahwa akad nikah  itu telah berlangsung. Bila suatu saat salah seorang suami istri inkar maka saksi itu yang akan memberi kesaksian di pengadilan. Hal seperti ini hanya dapat dilakukan oleh orang yang waras atau sehat akalnya.[5]

Berikut ini penjelasnnya.

a. Baligh

Anak-anak tidak dapat menjadi saksi, walaupun sudah mumayyiz (menjelang baligh), karena kesaksiannya menerima pemberitahuan dan menghormati acara pernikahan itu belum pantas. Berbeda dengan orang yang sudah dewasa, dia dapat dan harus bertanggung jawab atas kesaksiannya itu. Kedua syarat tersebut di atas disepakati oleh fuqoha dan kedua syarat itu dapat dijadikan satu, yaitu kedua saksi telah mukallaf.[6]

b. Mendengar dan memahami ucapan ijab dan qabul

Saksi harus mendengar dan memahami ucapan ijab dan qabul antara wali dan calon pengantin laki-laki. Bagaimana mungkin orang dijadikan saksi padahal dia tidak mengerti apa yang disaksikannya. Persyaratan ini di kemukakan oleh sebagian besar fukaha.[7]

c. Laki-laki

Laki-laki merupakan persyaratan saksi dalam akad nikah. Demikian pendapat jumhur ulama selain Hanafiyyah. Dua orang saksi harus laki-laki dan tidak sah akad nikah bila yang menjadi saksi wanita semua, atau seorang laki-laki dan dua orang wanita.Golongan Syafi’i dan Hambali mensyaratkan saksi harus laki-laki. Akad nikah dengan saksi seorang laki-laki dan dua perempuan tidak sah, sebagaimana riwayat Abu Ubaid dari Zuhri, katanya:

“Telah berlaku contoh dari Rasulullah SAW bahwa tidak boleh perempuan menjadi saksi dalam urusan pidana, nikah dan talak. Akad nikah bukanlah satu perjanjian kebendaan, bukan pula dimaksudkan untuk kebendaan dan biasanya yang menghadiri adalah laki-laki. Karena itu tidak sah akad nikah dengan saksi dua orang perempuan, seperti halnya dalam urusan pidana tidak dapat diterima kesaksiannya dua orang perempuan. Tetapi golongan Hanafi tidak mengharuskan syarat ini.”

 Mereka berpendapat bahwa kesaksian dua orang laki-laki atau seorang laki-laki dan dua perempuan sudah sah.[8] Sebagaimana allah berfirman,

"Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). jika tak ada dua orang lelaki, Maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai.” (Al-Baqarah:282)[9] 

Akad nikah sama dengan jual beli, yaitu karena merupakan perjanjian timbal balik ini dianggap sah dengan saksi dua orang perempuan disamping seorang laki-laki.[10]

d. Jumlah saksi

Saksi sekurang-kurangnya dua orang sebagaimana telah disebutkan pada hadist yang diriwayatkan oleh Dara al-Quthny dan Ibnu Hibban.

Hanafiyyah membenarkan dalam kasus seperti: seseorang menyuruh orang lain untuk menikahkan anaknya yang masih kecil (belum dewasa). Pada saat itu ada seorang laki-laki yang hadir bersama bapak anak wanita itu sebagai saksi. Pernikahan seperti ini dipandang sah , karena bapaknya ikut serta menyaksikan akad nikah itu. Berbeda sekiranya bapaknya tidak ikut menyaksikan, seperti tidak ada di tempat, nikah iu tidak sah karena saksi hanya seorang saja.[11]

e. Adil

Saksi harus orang yang adil walaupun kita hanya dapat melihat lahiriahnya saja. Demikian pendapat jumhur ulama. Syafi’iyyah, mereka menegaskan bahwa pernikahan dianggap tidak sah bila saksinya fasiq.

Berbeda dengan Hanafiyyah, adil tidak menjadi persyaratan yang mutlak dan orang fasiq pun dapat menjadi saksi karena tujuan saksi itu hadir untuk mengetahui bahwa pernikahan itu telah berlangsung. Menurutnya saksi itu cukup orang yang telah baligh, berakal, mendengar ucapan ijab dan qabul, merdeka, dan Islam.[12]

f. Islam

Para ahli fiqih berbeda pendapat tentang syarat-syarat menjadi saksi dalam perkawinan bila mana pasangan terdiri dari laki-laki muslim dan perempuan muslim, apakah saksinya harus beragama islam? juga mereka berpendapat jika yang laki-lakinya beragama islam apakah yang menjadi saksi boleh orang yang bukan islam?

Menurut Ahmad, Syafi’i dan Muhammad bin al-Hasan perkawinannya tidak sah, jika saksi-saksinya bukan orang islam karena yang kawin adalah orang islam sedang kesaksian bukan orang Islam terhadap orang islam tidak dapat ditertima. Tetapi Abu Hanifah dan Abi Yusuf berpendapat bila perkawinan itu antara laki-laki muslim dan perempuan Ahli al-Kitab maka kesaksian dua orang Ahli al-Kitab boleh diterima.dan pendapat ini diikuti oleh Undang-Undang Mesir.[13]

g. Melihat dan mendengar

Saksi harus orang yang melihat dan tidak bisa diterima orang yang buta. Demikian pendapat yang kuat menurut Syafi’iyyah. Sedangkan jumhur ulama dapat menerima kesaksian orang yang buta asalkan ia dapat mendengar dengan baik ijab dan qabul itu dan dapat membedakan suara wali dengan calon pengantin laki-laki itu. 

Saksi harus mendengar ucapan dua orang yang berakad semuanya, sehingga apabila yang mendengar salah satunya saja yang lain tidak, ataupun mendengar ucapan dengan kedua orang yang berakad dan ucapannya lain maka tidak sah nikah, karena saksi yang dikehendaki adalah hadirnya saksi yang manjadi rukun akad nikah dan rukun akad yaitu ijab qabul maka apabila saksi tidak bisa mendengar ucapan ijab dan qabul maka tidak jelas saksi menjadi rukun, maka tidak ditemukan sarat rukun.[14]

Akad nikah tidak sah kecuali dengan hadirnya dua orang saksi yang muslim keduanya, mukallaf, merdeka, laki-laki dan adil dan juga disyaratkan lagi saksi harus dapat diterima kesaksiannya untuk setiap orang untuk kedua mempelai. Dan kedua saksi harus dapat mendengar dan melihat serta mengetahui ucapan ijab kabul kedua orang yang berakad.[15]




[1] M.Rifa’I dkk, Terjemah Khulashah Kifayatul Akhyar, Semarang: Toha Putra,t.t.,hlm.279.
[2] Alhamdani,Risalatun Nikah,Pekalongan:Raja murah,1980,hlm.23.
[3] Abdur Rahman, al Jaziri, Kitab fiqih Ala’ Madzahib al Arba’ah, Juz 4, Darul fikr, t.t., hlm. 17-18.
[4] Slamet Abidin, Aminudin, Fiqih Munakahat,Bandung: Pustaka Setia, 1999, hlm.101.
[5] M. Ali Hasan, Perbandingan Madzhab Fiqh, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2000, hlm.149-150.
[6] Ibid
[7] Ibid
[8] Sayyid Sabiq,fiqih Sunnah Terjemah ,Bandung: al-ma’arif, Jilid 6,1 980, hlm. 91.
[9] Depag RI,Al-Qu’ran Dan Terjemahannya,hlm.70.
[10] Ibid
[11] Ali Hasan, Perbandingan Madzhab Fiqh, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2000, hlm.151.
[12] Ensiklopedi Islam, Jakarta: PT. Ikrar  Mandiri  Abadi, 2002, hlm. 35.
[13] Sayyid Sabiq, Op.Cit. hlm. 92.
[14] Al Kasani, Badaa’iu al-Shanai,juz III,Beirut: Darul Kutub al Ilmiah,t.t, hlm.401.
[15] Imam Taqiyyudin, Kifayatul Akhyar, Semarang: Toha Putra,t.t.,hlm.51.

No comments:

Post a Comment