Menurut
sebagian ahli tasawuf ‘jiwa’ adalah ‘ruh’ setelah bersatu dengan jasad,
penyatuan ruh dengan jasad melahirkan
pengaruh yang ditimbulkan oleh jasad terhadap
ruh. Sebab dari pengaruh-pengaruh ini muncullah kebutuhan-kebutuhan
jasad yang dibangun oleh ruh.[1]
Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa jiwa merupakan subjek dari kegiatan
“spiritual”. Penyatuan dari jiwa dan ruh itulah untuk mencapai kebutuhan akan
Tuhan. Dalam rangka untuk mencerminkan sifat-sifat Tuhan dibutuhkan
standarisasi pengosongan jiwa, sehingga eksistensi jiwa dapat memberikan
keseimbangan dalam menyatu dengan ruh.
Jiwa
sebagaimana yang telah digambarkan oleh seorang tokoh sufi adalah suatu alam
yang tak terukur besarnya, ia adalah keseluruhan alam semesta, karena ia adalah
salinan dari-Nya, segala hal yang ada di dalam alam semesta terjumpai di dalam
jiwa, hal yang sama segala apa yang terdapat di dalam jiwa ada di alam semesta,
oleh sebab inilah, maka ia yang telah menguasai alam semesta, sebagaimana juga ia yang telah diperintah oleh jiwanya
pasti diperintah oleh seluruh alam semesta.[2]
Ruh
merupakan jagat spiritualitas yang memiliki dimensi yang terkesan Maha Luas,
tak tersenuth (untouchable), jauh di luar sana (beyond).[3]
Disanalah ia menjadi wadah atau bungkus bagi sesuatu yang bersifat rahasia. Dalam
bahasa sufisme ia adalah sesuatu yang bersifat esoterisme (bathiniyah) atau
spiritual. Dalam esoterisme mengalir spiritualitas agama-agama. Dengan melihat
sisi esoterisme ajaran agama atau ajaran agama kerohanian, maka manusia akan
dibawa kepada apa yang merupakan hakikat dari panggilan manusia.
Dari
sanalah jalan hidup orang-orang beriman pada umumnya ditujukan untuk
mendapatkan kebahagiaan setelah kematian, suatu keadaan yang dapat dicapai
melalui cara tidak langsung dan keikutsertaan simbolis dalam kebenaran Tuhan,
dengan melaksanakan perbuatan-perbuatan yang telah ditentukan.
Dalam
dunia kesufian ‘jiwa’ atau ‘ruh’ atau ‘hati’ juga merupakan pusat vital
organisme kehidupan dan juga, dalam kenyataan yang lebih halus, merupakan
“tempat duduk” dari suatu hakikat yang mengatasi setiap bentuk pribadi.[4]
Para sufi mengekspresikan diri mereka
dalam suatu bahasa yang sangat dekat kepada apa yang ada dalam al-Qur'an dan
ekspresi ringkas terpadu mereka yang telah mencakup seluruh esensi ajaran.
Kebenaran-kebenaran
ajarannya mudah mengarah pada perkembangan tanpa batas dan karena peradaban
Islam telah menyerap warisan budaya pra-Islam tertentu, para guru sufi dapat
mengajarkan warisannya dalam bentuk lisan atau tulisan. Mereka menggunakan
gagasan-gagasan pinjaman yang telah ada dari warisan-warisan masa lalu cukup
memadai guna menyatakan kebenaran-kebenaran yang harus dapat diterima jangkauan
akal manusia waktu itu dan yang telah tersirat dalam simbolisme sufi yang ketat
dalam suatu bentuk praktek yang singkat.
Dari
warisan-warisan yang telah ada – yaitu
kebenaran-kebenaran hakiki – dari para kaum sufi, maka terciptalah
prilaku-prilaku yang memiliki tujuan objektif (Tuhan) tidak lain seperti halnya
esoterisme dalam agama-agama tertentu, langkah awal untuk menjadikan umatnya
mencari tujuan yang objektif, mereka memiliki metode-metode khusus untuk menggali
tingkat spiritualitasnya.
Sebagaimana
telah tampak bahwa kegersangan spiritual
semakin meluas hal itu terdapat pada masyarakat modern, maka pengalaman keagamaan
semakin didambakan orang untuk mendapatkan manisnya spiritualitas (the taste
of spirituality).[5]
The taste of spirituality, bukanlah diskursus pemikiran, melainkan ia
merupakan diskursus rasa dan pengalaman yang erat kaitannya dengan makna hidup.[6]
Dalam
khazanah Islam, pengalaman keagamaan tertinggi yang pernah berhasil dicapai
oleh manusia adalah peristiwa “mi’raj” Nabi Muhammad Saw, sehingga peristiwa
ini menjadi inspirasi yang selalu dirindukan hampir semua orang, bahkan apapun
agamanya. Di sinilah muncul salah satu
alasan bahwa pengalaman spiritualitas sangat didambakan oleh manusia dengan
berbagai macam dan bentuknya. Dan untuk menggapai pengalaman-pengalaman
spiritualits itu, maka diperlukan upacara-upacara khusus guna mencapainya.
Sebab dari pengalaman keagamaan itu, umumnya muncul hati yang mencintai yang
ditandai dengan kelembutan dan kepekaan.[7]
Sehingga sifat cinta itu akan melahirkan “kasih” kepada sesama makhluk tanpa
membedakan ras serta keberagamaan yang berbeda.
Secara
substansi (esoterisme) agama-agama pada hakekatnya sama dan satu. Perbendaannya
terletak pada aplikasi dari esoterisme yang kemudian memunculkan “eksoterisme”
agama. Pada aspek eksoterik inilah
muncul pluralitas agama. Di mana setiap
agama memiliki tujuan yang sama dan objektif yaitu untuk mencapai kepada
Tuhan Yang Maha Esa.
Antropologi
spiritual Islam memperhitungkan empat aspek dalam diri manusia, yaitu meliputi
;
1.
Upaya dan
perjuangan “psiko-spiritual” demi pengenalan diri dan disiplin.
2.
Kebutuhan universal
manusia akan bimbingan dalam berbagai bentuknya.
3.
Hubungan individu
dengan Tuhan, dan
4.
Dimensi sosial
individu manusia.
Jika
dalam agama Budha, hidup adalah untuk menderita, namun dalam pandangan Islam
hidup adalah sebagai perjuangan, bekerja keras untuk terlibat jihad setiap saat
dan dalam berbagai tingkat. Model
analisis klasik tentang jiwa manusia meletakkan ‘hati’ manusia sebagai pusat
perjuangan, yakni tarik menarik yang ketat antara “spirit” (kebaikan) dan “ego”
(kejahatan).[8] Kebutuhan
manusia akan Tuhan-nya merupakan fitrah yang tidak bisa dinisbatkan manusia.
Jika manusia menisbatkan fitrahnya itu berarti manusia tersebut telah
memarjinalkan potensi beragamanya atau spiritualnya.
Jiwa
atau ruh – dalam istilah kesufian –
“tidak diciptakan” dalam hakikat yang abadi, tapi ia diciptakan karena ia
adalah kesatuan alam pertama. Ruh dapat diibaratkan “pena agung” (al-qolam
al-a’la) yang dengannya, Tuhan menggoreskan nasib setiap makhluk-Nya di
atas “lembaran terpelihara” (al-lauh al-mahfudh). “Pena” itu sendiri
sesuai keadaannya dengan ruh universal (an-nafs al-ruhiyah).
Namun
ada yang mengistilahkan bahwa, jiwa atau
ruh merupakan hakikat pada diri manusia yang abadi, yang perenial, dan
tidak akan berubah sepanjang masa, yaitu fitrahnya, yang membuat selamanya
merindukan kebenaran, dengan puncaknya ialah kerinduan kepada Tuhan. Oleh
karena itu, pengalaman keagamaan, dalam arti merasakan kenikmatan religiusitas
sangat didambakan oleh setiap pemeluk agama. Ini terjadi karena pengalaman
keagamaan terkait erat dengan pemenuhan kebutuhan (puncak) kehidupan manusia.[9]
Kebutuhan tersebut adalah kebutuhan yang
bersifat universal, yaitu yang merupakan kebutuhan kodrati setelah
kebutuhan-kebutuhan fisik terpenuhi, yakni kebutuhan cinta dan mencintai Tuhan,
dan kemudian melahirkan kesediaan pengabdian kepada Tuhan. Hal ini yang
kemudian disinyalir sebagai jiwa keagamaan atau kejiwaan agama.
[1] Sa’id
Hawa, Jalan Ruhaniah, terj: Drs. Khairul Rafie’ M. dan Ibnu Tha Ali,
Mizan, Bandung, 1995, hlm. 63
[2] Seyyed
Hossein Nasr, Tasawuf Dulu dan Sekarang, terj : Abdul Hadi W.M.,
Mengutip dari Syaikh al-‘Arabi al-Darqawi, Letter of a Sufi, hlm. 4
[3] Seyyed
Hossein Nasr, Jembatan Filosofis dan
Religius Menuju Puncak Spiritual; Antara Tuhan, Manusia, dan Alam,
terj : Ali Noer Zaman, IRCISoD, Yogyakarta, hlm. 7
[5] Ahmad
Anas, Menguak Pengalaman Sufistik; Pengalaman Keagamaan Jama’ah Maulid
al-Diba’ Giri Kusuma, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Bekerja Sama dengan
Walisongo Press, Semarang, 2003, hlm. 17
No comments:
Post a Comment