Setiap
pasangan suami isteri pasti sangat mendambakan memiliki keluarga yang sakinah
(tenteram), mawaddah (penuh cinta) dan rahmah (kasih sayang). Menurut
Quraish Shihab, kata sakinah diambil dari akar kata sakanah, yang
berarti diam atau tenangnya sesuatu setelah bergejolak, itulah sebabnya,
mengapa pisau dinamai sikkin, karena ia adalah alat yang menjadikan
binatang yang disembelih menjadi tenang, tidak bergerak, setelah sebelumnya
meronta-ronta. Namun, sakinah dalam konteks pernikahan adalah untuk
menciptakan ketenangan yang dinamis dan aktif, tidak seperti kematian binatang.[1]
Mawaddah
menurut Quraish Shihab, adalah kelapangan dada dan kekosongan jiwa dari
kehendak buruk. Dia adalah cinta plus. Bukankah yang mencintai sesekali hatinya
kesal sehingga cintanya pudar bahkan putus. Tetapi yang bersemi dalam mawaddah
tidak lagi akan memutuskan hubungan seperti yang bisa terjadi pada orang yang
bercinta. Ini disebabkan karena hatinya begitu lapang dan kosong dari keburukan
sehingga pintu-pintunya pun telah tertutup untuk dihinggapi keburukan lahir dan
batin (yang mungkin datang dari pasanganya).
Sedangkan
rahmah adalah kondisi psikologis yang muncul di dalam hati akibat
menyaksikan ketidak-berdayaan sehingga mendorong yang bersangkutan untuk
memberdayakanya. Karena itu, dalam kehidupan keluarga masing-masing suami dan
isteri akan bersungguh-sungguh dan bersusah-payah mewujudkan kebaikan bagi
pasangannya. Keduanya, menolak segala bentuk intervensi dari pihak lain yang
bisa mengganggu dan mengeruhkan suasana kehidupan rumah tangganya.[2]
Keluarga
yang mampu membuat rasa letih kita berkurang bahkan mungkin hilang saat kita
berkumpul dengan mereka, keluarga yang menyegarkan kepenatan dan kejenuhan,
keluarga yang menjadi sumber kebahagiaan, dan menjadi keindahan yang paling
indah dalam hidup ini.
Berbicara
masalah keluarga sakinah, bukanlah hal yang mudah untuk menciptakannya,
melainkan suatu usaha yang perlu mendapatkan perhatian secara khusus. Tujuan
pernikahan yang disyari’atkan oleh Allah Swt, adalah terwujudnya kebahagiaan,
ketenteraman, dan penuh kasih sayang diantara suami isteri yang selanjutnya
mewujudkan keluarga sakinah yang diridhai-Nya.
Pencapaian
suatu usaha dalam mewujudkan keluarga sakinah, tidak lepas dari adanya
faktor-faktor yang menunjang dan faktor-faktor yang menghambat. Adapun
faktor-faktor yang turut menunjang tercapainya keluarga sakinah adalah
sebagai berikut:
1.
Niat
yang Benar
Manusia
memiliki hati dan fikiran, akal budi dan perasaan, itulah hal yang membedakan
antara manusia dengan mahluk lain. Selain dari itu, Allah sangat menghargai
niat kita sebagai manusia, sebab Allah tetap memberi pahala, bagi setiap niat
baik yang kita lakukan meskipun belum sempat kita laksanakan. Bahkan apapun
yang kita laksanakan, hasilnya dan diterima atau tidaknya oleh Allah Swt adalah
sangat tergantung dari niat kita dibalik itu.[3] Karena itu kebahagiaan
suami-isteri juga sangat tergantung dari niat mereka dalam membina keluarga,
hingga niat yang benar adalah syarat mutlak bagi kebahagiaan mutlak.
2.
Kedewasaan
Suami-Isteri
Kehidupan
keluarga tak akan selalu semanis madu, suatu saat entah kapanpun, akan datang
masa-masa sulit bahkan mungkin masa-masa kritis yang akan menguji keutuhan
keluarga, mereka problem keluarga akan datang mulai dari hal-hal yang
sebenarnya sepele tapi kemudian menjadi besar dan semakin besar, atau hal yang
memang sebenarnya besar dan serius tapi di abaikan, hingga bisa meledak kapan
saja, maupun masalah perekonomian keluarga, masalah emosi dan sebagainya.
Setiap
permasalahan memerlukan penanganan yang berbeda. Satu hal mungkin akan dapat
diatasi dengan materi, hal yang lain dengan perhatian dan kasih sayang,
permasalahan yang satu cukup diatasi dengan kata maaf, masalah yang lainnya
dengan ketegasan dan lain sebagainya. Akan tetapi pada akhirnya kedewasaan
pasangan suami isteri itulah yang akan menentukan harmonisasi rumah tangga
mereka, karena dari kedewasaanlah akan lahir keluasan hati dalam memandang persoalan,
ketepatan dalam mengambil sikap dan kerjasama. Kedewasaan yang dimaksud adalah
sebagai berikut:
a.
Dewasa dalam
berfikir
Ialah
kemampuan mengolah rasio (akal) untuk berfikir fokus pada yang benar dan baik,
tidak hanya bagi diri sendiri maupun juga bagi orang lain. Kedewasaan dalam
berfikir ini akan melahirkan husnu zhann (baik sangka/positif
thinking), selanjutnya dari huznu zhann akan lahir sikap optimis
terhadap segala sesuatu yang mungkin mampu kita lakukan rasa optimis itulah
yang merupakan langkah awal yang baik dari setiap tindakan kita.
b.
Dewasa dalam
mengolah hati dan perasaan
Ialah
konsen, teguh dan kukuh dalam mengolah serta menggunakan hati dan perasaan
(emosi) pada prinsip kebenaran. Kedewasaan dalam mengolah hati dan perasaan ini
akan melahirkan ketenangan, tidak emosial, keteguhan hati dan sikap tak mudah
putus asa.
c.
Dewasa dalam
berbuat
Ialah
melakukan perbuatan sesuai dengan yang memang seharusnya dilakukan dengan
mempertimbangkan baik buruknya tidak hanya bagi diri sendiri tapi juga bagi
orang lain serta bertanggung jawab akan akibatnya dunia dan akhirat.[4]
d.
Dewasa dalam
beragama
Ialah
dengan bertaqwa kepada Allah yaitu melaksanakan perintah-perintah-Nya dan
menjauhi larangan-larangan-Nya dengan penuh kesadaran, keikhlasan dan pengakuan
bahwa kita adalah makhluk-Nya yang kelak di hari kiamat akan mempertanggung
jawabkan segala perbuatan kita selama di dunia fana ini. Bila kita berbuat baik
maka pahala, keridhaan Allah Swt dari surga yang Dia sediakan bagi kita,
sebaliknya bila kita berbuat jahat maka dosa dan neraka yang Allah persiapkan
untuk kita. Dewasa dalam beragama berati juga melaksanakan ketaqwaan setidaknya
dengan meningkatkan kualitas iman, ibadah, ilmu dan amal shalih dan ketakwaan
akan jauh lebih baik lagi bila juga disertai dengan meningkatkan kwalitas
hal-hal tersebut.
Kedewasaan
dalam keempat aspek itu akan menentukan jiwa yang matang, bertaqwa dan ma’rifat
yang pada akhirnya akan sangat menunjang kebahagiaan keluarga. Akan tetapi,
semua upaya untuk meraih kedewasaan itu sangat bergantung pada banyak faktor
seperti pendidikan, lingkungan dan yang paling penting adalah faktor kesadaran,
keterbukaan diri dari kemauan belajar untuk menjadi lebih baik.
Keluarga
yang dewasa akan mensikapi masa lalu dengan memaafkan dan menganggapnya sebagai
proses pembelajarannya berharga, menatap masa depan dengan harapan, menghadapai
persoalan mereka dengan kebijaksanaan dari memiliki hubungan yang sangat baik
dengan sesama manusia terlebih lagi kepada Allah Swt, Tuhan yang menciptakan
dan mencintai mereka.[5]
3.
Melaksanakan
Hak dan Kewajiban
Agama
Islam telah menetapkan keseimbangan yang timbal balik antara hak dan kewajiban dalam
segala hal karena Islam merupakan agama yang syamil (menyeluruh) dan kamil
(sempurna). Hal ini juga berlaku dalam aturan berkeluarga, Islam mengatur hukum
yang berkenaan dengan hubungan timbal balik suami-isteri secara adil dan
proposional.
Adanya
keseimbangan ini, akan mewujudkan keserasian dan keharmonisan dalam rumah
tangga, kebahagiaan akan semakin terasa dan kasih sayang akan terjalin dengan
baik. Suami mengahargai isteri dan isteri menghormati suami dan anak-anaknya
menghormati dan menyayangi orang tua mereka.
4.
Suami
Isteri yang Shalih dan Shalihah
Maksud
dari laki-laki yang shalih dan atau wanita yang shalihah adalah
yang melaksanakan ibadah seperti shalat, puasa, zakat, haji, dzikir, shadaqah,
membaca al-Qur’an, bekerja, belajar, bertoleransi dan sebagainya.[6]
Sifat
wanita yang shalihah itu adalah sebagian berkaitan dengan aspek fisik
dan kecantikan, dan sebagian berkaitan dengan kemuliaan, kesucian jiwa dan
kematangan budi pekerti. Berikut adalah karakter-karakter isteri shalihah
sebagaimana diungkapkan oleh Muhammad ash-Shayyim dalam bukunya Rumah Penuh Cahaya
diantaranya:
a.
Shalihah, dengan
mengerjakan kebaikan dan berbuat baik kepada suami.
b.
Taat kepada
suaminya dalam hal-hal yang tidak menyebabkan kemurkaan Allah Swt.
c.
Memelihara diri
ketika ditinggal pergi suaminya.
d.
Menjaga harta
yang ditinggalkan suami dirumah.
e.
Selalu
memperlihatkan kepada suami wajah ceria, pemandangan yang indah, penampilan
yang bagus, dan menjadi penghibur lara suami.”[7]
Adapun
karakter suami yang shalih adalah:
a.
Taat beragama
dan berakhlak mulia
b.
Dapat
melaksanakan kewajiban dan hak dengan baik
c.
Menggauli isteri
dengan sepatutnya
d.
Mengarahkan dan
membimbing isteri dan anaknya kejalan yang diridhai Allah.
Rasulullah
menganjurkan kita untuk memilih isteri/suami yang shalihah/shalih,
karena suami/isteri yang seperti itulah yang akan mampu membina keluarga yang sakinah,
membentuk anak-anak shalih/shalihah, membawa keberuntungan,
memiliki kepribadian mulia dan mampu memberi kebahagiaan.[8]
5.
Saling
setia, pengertian, menghormati, menyayangi, mempercayai dan sama-sama mematuhi
perintah Allah Swt
Ketenteraman
itu tentu saja tidak dapat dicapai secara otomatis, tetapi harus ada tatanan
yang harus dipatuhi oleh kedua belah pihak dan tatanan itupun agar dapat
dilakukan dengan serasi manakala antara masing-masing anggota keluarga
mempunyai saling setia, pengertian, menghormati, menyayangi, mempercayai dan
sama- sama mematuhi perintah Allah Swt. Kesetiaan suami isteri adalah syarat
mutlak bagi terciptanya kebahagiaan rumah tangga. Dari kesetiaan lah akan lahir
rasa saling percaya, rasa tenang dan kebahagiaan.[9]
Saling
pengertian didalam suatu bangunan keluarga merupakan tiang utama keluarga
mempunyai makna pengabdian masing-masing warga terhadap yang lain atau
pengabdian semua warga tanpa terkecuali kepada kepentingan dan tujuan bersama
keluarga itu. Pengabdian ini akan langgeng dan stabil apabila dilandasi oleh kesadaran,
keikhlasan, dan saling pengertian yang dilaksanakan penuh rasa cinta (mawaddah),
kasih sayang (rahmah) dan tanggung jawab yang kemudian akan menimbulkan,
ketenangan dan ketenteraman hati (sakinah). Allah memberikan gambaran dalam hal
ini sesuai dengan apa yang telah disebutkan dalam Surat Ar-Rum ayat 21.
Saling
pengertian berarti bahwa masing-masing pihak; ayah, ibu, anak-anak dan anggota
lain yang punya keterikatan dengan itu harus mengerti secara konsekwen hak dan
kewajibannya dan memberikan kepada yang lain hak-haknya, secara jujur.[10]
6.
Menjaga
Kebersihan Lahir dan Batin
Kebersihan
yang diwajibkan oleh Islam bukan hanya sebatas kebersihan lahiriah tapi juga
kebersihan batiniah. Kebersihan lahiriah misalnya bersuci dari hadas besar
dengan mandi wajib, dari hadats kecil dengan berwudhu, membersihkan badan,
pakaian, dan tempat kiata dari najis dan istinja. Sedangkan kebersihan
batiniah misalnya membersihkan diri dari dosa, dengan shalat, puasa, istighfar,
dzikir dan do’a, membersihkan harta kita dengan zakat, infaq dan shadaqah. Bahkan
segala ibadah yang lainnyapun berfungsi sebagai pelebur dosa dan penyubur
berkah serta pahala.[11]
Salah
satu cara yang ampuh, untuk membersihkan batin kita adalah dengan berdzikir
kepada Allah Swt baik tanpa suara, dengan bersuara, dengan hati, lisan maupun dengan
perbuatan. Dzikir kepada Allah memiliki makna yang sangat mendasar yang
dirindukan oleh setiap manusia, karena orang yang berdzikir (ingat kepada
Allah), ber-i’tiraf (mengakui dosa), ber-istighfar (mohon ampun),
dan berdo’a dengan benar akan memeperoleh ketenteraman hati.[12]
Orang
yang memiliki ketenteraman hati, nur cahaya Ilahi akan bersemayam di
dalam hatinya dan akan memberikan pengaruh yang sangat positif pada pola pikir,
pola kata dan perbuatannya hingga dia akan menjadi manusia yang tidak hanya
berguna tapi juga lebih mampu memberikan ketenteraman dan kebahagiaan bagi
dirinya, keluarga bahkan mungkin juga bagi lingkungannya, tidak hanya didunia
ini bahkan juga sampai kealam abadi selamanya.[13]
Suami
isteri yang selalu berdzikir kepada Allah, rumah tangganya akan tenteram, tidak
akan terdapat didalamnya pertengkaran dan perselisihan. Jika suami isteri telah
menikmati ketenteraman hidup, rumah tangganya seakan-akan mahligai kesenangan
dan kebahagiaan apalagi di surga nantinya. Dia akan sama-sama menjadi suami isteri
yang akan berada di atas mahligai yang tinggi.[14]
7.
Terpenuhinya
Kebutuhan Ekonomi
Hidup
di dunia ini, manusia harus memenuhi sekurang-kurangnya tiga kebutuhan yakni
tempat tinggal, makanan dan pakaian. Dalam kehidupan berkeluarga tidak akan lepas
dari kebutuhan ekonomi, sehingga bila kebutuhan ini termampukan, sehingga ketenangan
dan kebahagiaan dalam keluarga akan terwujud. Oleh karena itu keluarga sakinah
adalah keluarga yang mampu mencari sumber-sumber ekonomi di jalan ridha Allah,
serta mengelola dengan sebaik-baiknya, sehingga dapat mencukupi kehidupan
keluarga.
Pemenuhan
kebutuhan ekonomi keluarga boleh dikatakan relatif sebab masing-masing keluarga
dalam pemenuhan kebutuhan tentunya lain antara yang satu dengan yang lain.
Diantara kebutuhan itu meliputi kebutuhan jasmani yang berupa kebutuhan
makanan, pakaian, perumahan dan kesehatan. Kebutuhan rohani yaitu dengan meyakini
adanya Tuhan Yang Maha Esa, menjalankan ibadah dengan kata lain mereka harus
beragama.[15]
[1] Mantep Minarso, Pendidikan
Keluarga Qur’ani, Safira Insania Press, Yogyakarta, 2004, hlm. 48.
[2] Hisbi Indra, Iskandar Ahza,
Husnani, Potret Wanita Shalekhah, Penamadani, Jakarta, 2004, hlm. 83-84.
[3] Umay M. Ja’far Shiddiq, Indahnya
Keluarga Sakinah, Zakia Press, Jakarta, 2004, hlm. 43-44.
[4] Ibid., hlm. 45-51.
[5] Ibid., hlm. 52-54.
[6] Ibid., hlm. 66.
[7] Muhammad ash-Shayyim, Rumah
Penuh Cahaya, Izzam Pustaka, Yogyakarta, 2002, hlm. 92.
[8] Umay M. Ja’far Shiddieq, Op.Cit,
hlm. 67.
[9] Ibid., hlm. 69.
[10] Sumarsono, Skm. dkk
(penyunting), Nasehat Perkawinan, Biro Penerangan dan Motivasi Badan
Koordinasi Keluarga Berencana Nasional, Jakarta, 2000, hlm. 42.
[11] Umay M. Ja’far Shiddiq, Op.Cit.,
hlm. 70-71.
[12] Ibid., hlm. 73.
[13] Ibid., hlm.74.
[14] Hadiyah Salim, Rumah
Mahligaiku, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1988, hlm. 97.
[15] H.R Agustono, Citra Keluarga
Sejahtera Menurut Ilmu Kedokteran, Seminar Sehari dalam Rangka Pembukaan
Pelayanana Keluarga Sejahtera, UNISSULA, Semarang, 1994, hlm. 5.
No comments:
Post a Comment