Zakat
fitrah adalah zakat yang diwajibkan oleh Allah karena adanya futur
(berbuka puasa) pada bulan Ramadhan, yang diberikan kepada orang khusus juga.
Jadi, bisa dibilang kewajiban ini tidak hanya dikeluarkan oleh orang yang
khusus dengan cara yang khusus, tetapi juga diberikan kepada orang yang khusus
pula. Orang khusus yang diberi zakat telah diterangkan dalam surat at-Taubah
ayat 60:
الصَّدَقَاتُ
لِلْفُقَرَاءِ وَ الْمَسَاكِيْنِ وَ الْعَامِلِيْنَ عَلَيْهاَ وَ الْمُؤَلَّفَةِ
قُلُوبُهُمْ وَ فِي الرِّقَابِ وَ الْغَارِمِيْنَ وَ فِي سَبِيْلِ اللهِ وَ ابْنِ
السَّبِيْلِ فَرِيْضَةً مِنَ اللهِ وَ اللهُ عَلِيْمٌ حَكِيْمٌ
“Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah
untuk orang-orang fakir miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan budak), orang yang berhutang, untuk jalan
Allah, dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan
yang diwajibkan Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (Qs.
at-Taubah: 60)
Dalam
mendistribusikan zakat kepada yang berhak menerimanya dengan cara apapun tidak
ada masalah asal tetap menjunjung hakikat kemanusiaan, dan tidak menimbulkan
kesan meremehkan, apabila menganggap mereka yang membutuhkan. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt surat
al-Baqarah ayat 195 yang berbunyi:
وَ أَنْفِقُوا فِي
سَبِيْلِ اللهِ وَ لاَ تُلْقُوا بِأَيْدِيْكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ وَ أَحْسِنُوا
إِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُحْسِنِيْنَ
“Dan belanjakanlah
(harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri
ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, Karena Sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berbuat baik.” (Qs. al-Baqarah:195)
Zakat
fitrah yang dilakukan sebagaian masyarakat dengan memberikannya kepada ulama
dan guru ngaji menurut pandangan hukum Islam adalah sah, karena salah satu dari
mustahiq zakat fitrah golongan “Sabilillah”. Dimana pada
hakikatnya kyai adalah orang yang memperjuangkan agama di jalan Allah. Begitu
pula dengan sabilillah. Sabil
adalah jalan, sabilillah ialah jalan yang baik berupa kepercayaan,
maupun berupa amal, yang menyampaikan kita kepada keridhaan Allah.[1]
Pengertian
sabilillah yang bermakna jihad membela agama Allah telah dijelaskan dalam
suatu hadits yang berbunyi:
حَدَّثَناَ
سُلَيْمَانُ بْنُ حَربٍ حَدَّثَناَ شُعْبَةُ عَنْ عَمْرٍو عَنْ أَبِيْ وَائِلٍ
عَنْ أَبِيْ مُوسَى رضي الله عنه قَالَ جَآءَ رَجُلٌ إِلَى النَّبِيِّ صلى الله
عليه و سلم فَقَالَ الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِلْمغْنَمِ وَ الرَّجُلُ يُقَاتِلُ
لِلذِّكْرِ وَ الرَّجُلُ يُقَاتِلُ لِيُرَى مَكَانُهُ فَمَنْ فِي سَبِيْلِ اللهِ؟
قَالَ رسول الله صلى الله عليه و سلم مَنْ قَاتَلَ لِتَكُونَ كَلِمَةُ اللهِ هِيَ
الْعُلْياَ فَهُوَ فِي سَبِيْلِ اللهِ
“Telah
bercerita kepada kita Sulaiman bin Harbin, telah bercerita kepada kita Syu’bah
dari Amr dan dari Abi Wail dari Abi Musa r.a berkata: telah datang seorang
laki-laki kepada Nabi Saw, lalu berkata: “ada orang yang berperang karena
hendak mendapat rampasan, ada yang berperang karena hendak disebut orang
(mencari nama), dan ada yang berperang karena hendak dilihat orang, maka
manakah yang berperang pada jalan (agama) Allah?” Rasulullah bersabda:
“Barangsiapa yang berperang untuk menjadikan kalimat Allah yang paling tinggi,
maka dialah yang berada di jalan Allah.”[2]
Dalam
memahami surat at-Taubah ayat 60, banyak di antara mufassir yang
menafsirkan sabilillah dengan al-ghazi fi sabilillah yang berarti
orang yang berperang dijalan Allah Swt. Menurut sebagian pendapat ulama, sabilillah
adalah sukarelawan dalam peperangan yang tidak
mendapatkan gaji. Menurut Ibnu Umar, “jalan Allah” itu adalah mereka yang pergi
mengerjakan haji dan umrah, hal ini berdasarkan pada perbuatan Nabi yang
meminjamkan unta zakat kepada seorang perempuan untuk mengerjakan haji.[3]
Disebutkan
didalam Fatwa Zhahiriyah dalam bukunya Hasbi ash-Shiddieqy, maksud fi
sabilillah menurut pendapat Qadhi ‘Iyadh mengatakan sabilillah
dikehendaki umumnya. Ada pula yang mengatakan jihad. Mengumumkan makna sabilillah
lebih shahih dari lainnya. Ini diakui oleh imam an-Nawawi adalah segala
pekerjaan yang mendekatkan diri kepada Allah.[4]
Menurut Rasyid Ridha Sabilillah pada zaman sekarang adalah mereka yang
berusaha mengembalikan hukum Islam. Berusaha mengembalikan hukum Islam lebih penting
dari pada jihad (perang) karena bertujuan menjaga hukum dari campur
tangan orang-orang kafir, menyebarkan dakwah Islam, dan membela Islam dengan
lisan atau tulisan (jika tidak memungkinkan melakukan pembelaan dengan pedang,
lembing dan semangat).[5]
Dalam
kitab fiqih “Ar-Raudhatun-Nadiyah” Sayid Hasan Shadiq Khan Bahadur dalam
Tafsir al-Azhar Juz X menyatakan pendapat bahwa, bagian sabilillah
juga dapat diberikan kepada ulama-ulama yang telah mengorbankan seluruh
waktunya untuk memperdalam pengetahuan dan menegakkan kemaslahatan yang
bersifat keagamaan. Mereka mempunyai bagian pada harta Allah, baik mereka kaya
apalagi kalau dia miskin.[6]
Meninggikan
kalimat Allah dan menyebarkan da’wah al-Islam termasuk Sabilillah. Secara umum, Sabilillah merupakan ungkapan
untuk menguatkan kebenaran, menggeser kejahatan dan kerusakan dengan kebaikan
dan kemaslahatan, serta menempatkan keadilan dan kasih sayang pada kedhaliman
dan kekerasan. Pada hakikatnya, jihad ini menentang pengaruh kemusyrikan
dan ketidak berimanan, meskipun orang yang dhalim dan suka mengadakan
kerusakan itu mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang yang beriman.[7]
Penjelasan
mustahiq fisabilillah menurut ulama salaf dari empat mazhab yang
dikutip oleh Hikmat Kurnia dan Ade Hidayat dalam bukunya Panduan Pintar
Zakat adalah:
1.
Mazhab Syafi’i
Fisabilillah adalah tentara
yang membantu dengan kehendaknya sendiri, sedang dia tidak dapat gaji dan tidak
pula mendapat kebahagiaan dari harta yang disediakan untuk keperluan peperangan
dalam barisan balatentara. Orang ini diberi zakat, meskipun dia kaya, sebanyak
keperluannya untuk masuk ke medan perang, seperti belanja membeli senjata, kuda
dan alat peperangan lainnya.
2.
Mazhab Hanafi
Fisabilillah adalah
balatentara untuk berperang pada jalan Allah.
3.
Mazhab Hanbali
Fisabilillah adalah
balatentara yang tidak mendapat gaji dari pimpinan (pemerintah).
4.
Mazhab Maliki
Fisabilillah adalah
balatentara dan mata-mata. Zakat yang diberikan harus digunakan untuk membeli
senjata atau kuda atau untuk keperluan peperangan lainnya pada jalan Allah.[8]
Sedangkan
penjelasan mustahiq fisabilillah menurut fiqih zakat kontemporer yang
dikutip oleh Hikmat Kurnia dan Ade Hidayat dalam bukunya Panduan Pintar
Zakat adalah:
1.
Orang yang berjuang dijalan Allah
dalam pengertian luas sesuai dengan yang ditetapkan oleh para ulama fiqih,
yaitu orang yang melindungi dan memelihara agama serta meninggikan kalimat
tauhid, seperti berperang, berdakwah, berusaha menerapkan hukum Islam, menolak
fitnah-fitnah yang ditimbulkan oleh musuh-musuh Islam. Dengan demikian,
pengertian jihad tidak terbatas pada aktivitas kemilliteran saja.
2.
Kuota zakat untuk golongan ini
disalurkan kepada para mujahidin, da’i sukarelawan, serta pihak-pihak
lain yang mengurusi aktivitas jihad dan dakwah, seperti berupa berbagai macam
peralatan perang dan perangkat dakwah berikut seluruh nafkah yang diperlukan
para mujahid dan da’i.[9]
Dengan
demikian pendistribusian zakat untuk golongan sabilillah pada zaman
sekarang tidak terbatas pada jihad yakni berperang dengan senjata dan
balatentara saja. Akan tetapi, yang termasuk jihad sabilillah
adalah segala macam kebaikan dan kemashlahatan umum yang menuju kepada
keridhaan Allah. Termasuk salah satunya adalah ulama atau kyai yang mengabdikan
dirinya kepada Allah. Mengingat kondisi zaman pada masa sekarang sudah tidak
ada peperangan sebagaimana yang terjadi pada zaman dahulu, dimana pada saat
agama Islam harus ditegakkan melalui cara berperang untuk membunuh
musuh-musuhnya dengan mengangkat senjata.
Berdasarkan
penafsiran ulama yang memberikan makna umum pada lafal fi sabilillah dalam surat
at-Taubah ayat 60, maka secara umum, penulis setuju dengan sebgian warga yang
memberikan zakat fitrah kepada ulama dan guru ngaji sebagai fi sabilillah yang berhak
menerima zakat, karena ulama dan guru ngaji termasuk orang yang memperjuangkan agama
Allah Swt. Dimana dalam keadaan masyarakat keberadaan kyai sangat dibutuhkan
dalam bermasyarakat. Mulai dari memimpin tahlilan, imam masjid atau mushola,
khotbah nikah dan lain sebagainya. Semuanya merupakan tugas yang dibebankan
oleh masyarakat setempat kepada sosok kyai.
Ada
tiga teori tentang pendistribusian zakat fitrah dalam bukunya Qardawi. Pertama,
menurut mazhab Syafi’i bahwa wajib menyerahkan zakat fitrah kepada delapan asnaf
secara merata. Kedua, menurut Ibnu Qoyyim bahwa pengkhususan zakat fitrah
hanya pada orang-orang miskin. Dan yang ketiga, menurut mazhab Maliki
mengatakan bahwa sesungguhnya zakat fitrah itu hanya diberikan kepada fakir dan
miskin. Jadi, dari tiga teori tersebut golongan sabilillah tidak masuk
dalam pendistribusian zakat fitrah tersebut.
Secara
metodologi ijtihad, dalam pendapat tersebut penulis juga menggunakan
qiyas, dengan menganalogikan kyai sebagai jihad atau perang pada zaman
dahulu. Menurut Wahbah az-Zuhaili sebagaimana
dikutip Satria Effendi, qiyas adalah menghubungkan (menyamakan hukum)
sesuatu yang tidak ada ketentuan hukumnya dengan sesuatu yang ada ketentuan
hukumnya karena ada persamaan illat antara keduanya.[10]
Maka apabila suatu nash telah menunjukkan hukum tentang suatu kasus dan illat
hukum, kemudian ada kasus lainnya yang sama dengan kasus yang ada nash-nya
itu dalam suatu illat yang illat hukum itu juga terdapat pada
kasus itu, maka hukumnya disamakan
dengan hukum kasus-kasus yang ada nash-nya, berdasarkan atas persamaan illat-nya,
karena sesungguhnya illat itu ada dimana illat hukum itu ada. Dengan
demikian, karena adanya kesamaan illat tersebut, maka kyai dapat
dijadikan mustahiq zakat dari kelompok fi sabilillah. Walaupun kyai
tersebut mampu.
Ulama
dan guru ngaji sebagai prioritas utama penerima zakat fitrah yang terjadi pada
sebagian warga juga menurut pandangan hukum Islam adalah ‘urf yakni
secara bahasa sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat.[11]
Sedangkan secara istilah ‘urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh
orang banyak dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan, atau
perbuatan, atau keadaan meninggalkan.[12]
Firman Allah dalam al-Qur’an surat al-A’raf: 199.
خُذِ العَفْوَ وَ
أْمُرْ بِالْعُرفِ وَ أَعْرِضْ عَنِ الْجَاهِلِيْنَ
“Jadilah
engkau pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah
dari pada orang-orang yang bodoh.” (Qs. al-A’raf:199)
Kata al-‘urfi
dalam ayat tersebut, adalah dimana umat manusia disuruh mengerjakannya karena
dipahami sebagai sesuatu yang baik dan telah menjadi kebiasaan masyarakat.
Berdasarkan itu, maka ayat tersebut dipahami sebagai perintah untuk mengerjakan
sesuatu yang telah dianggap baik sehingga telah menjadi tradisi dalam suatu
masyarakat.[13]
Para
ulama yang mengamalkan ‘urf itu dalam memahami dan mengistimbathkan
hukum, menetapkan beberapa persyaratan
untuk diterimanya ‘urf tersebut yaitu:
1.
‘Urf itu harus termasuk ‘urf
yang shahih dalam arti tidak bertentangan dengan ajaran al-Qur’an dan
sunnah Rasulullah.
2.
‘Urf itu berlaku umum dan
merata dikalangan orang-orang yang berada dalam lingkungan adat itu, atau
dikalangan sebagian besar warganya.
3.
‘Urf itu harus sudah ada
ketika terjadinya suatu peristiwa yang akan dilandaskan kepada urf itu.
4.
Tidak ada ketegasan dari
pihak-pihak terkait yang berlainan dengan kehendak ‘urf tersebut, sebab
jika kedua belah pihak yang berakad telah sepakat untuk tidak terikat dengan kebiasaan yang berlaku umum,
maka yang dipegang adalah ketegasan itu, bukan urf.[14]
Ulama
dan guru ngaji sebagai prioritas utama penerima zakat fitrah oleh sebagian
warga merupakan tradisi yang sesuai dengan syarat-syarat diterimanya ‘urf,
sehingga tradisi ini boleh dikerjakan oleh masyarakat. Dan tradisi ini menurut
Islam yaitu:
1.
‘Urf Shahih yaitu
kebiasaan yang berlaku ditengah-tengah masyarakat yang tidak bertentangan
dengan nash (ayat atau hadits), tidak menghilangkan kemaslahatan dan
tidak membawa kemudlaratan kepada mereka.[15]
Ulama
dan guru ngaji sebagai prioritas utama penerima zakat fitrah ini sudah dikenal
dan sebagian besar warga masyarakat melaksanakan tradisi ini, dan juga tradisi
ini tidak bertentangan dengan dalil-dalil syara’ ataupun tidak
menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang wajib.
Ulama
dan guru ngaji sebagai prioritas utama penerima zakat fitrah yang terjadi di
sebagian masyarakat ini merupakan tradisi yang berbentuk perbuatan yakni
pemberian zakat fitrah kepada mustahiq ulama dan guru ngaji.
3.
‘Urf Khash yaitu
kebiasan yang dilakukan sekelompok orang ditempat tertentu atau pada waktu
tertentu, tidak berlaku di semua tempat dan disembarang waktu.[17]
Ulama
dan guru ngaji sebagai prioritas utama penerima zakat fitrah yang yang terjadi
di sebagian masyarakat merupakan tradisi khusus karena model ulama dan guru
ngaji sebagai prioritas utama penerima zakat fitrah pada malam terakhir bulan
Ramadhan (dimulai setelah shalat maghrib sampai selesai) yang diberikan kepada
Kyai, selain beras 2,5 kg.
Menurut
pandangan hukum Islam ulama dan guru ngaji sebagai prioritas utama penerima
zakat fitrah yang terjadi di sebagian masyarakat juga termasuk dalam kaidah fiqhiyyah
yang berkenaan dengan adat kebiasaan, yaitu: al-‘adatu mukhakamah (adat
kebiasaan dapat ditetapkan sebagai hukum). Jadi pemberian zakat fitrah kepada
ulama dan guru ngaji dapat dijadikan hukum yang dahulunya hanya sebagai adat sebagian
masyarakat.[18]
Adat
perekonomian kyai zaman dahulu sangat berbeda dengan kondisi perekonomian kyai
sekarang, dimana bisyaroh kyai zaman dahulu tidak mencukupi
kebutuhannya. Mereka lebih suka hidup sederhana, tidak terlalu memikirkan harta
dunia atau bisa dikatakan miskin. Sedangkan kondisi kyai sekarang
perekonomiannya terjamin. Jadi, ‘urf yang terjadi pada zaman dahulu
adalah memberikan zakatnya kepada kyai sebagai balas jasa. Akan tetapi,
masyarakat mendapatkan kesulitan jika tidak berzakat kepada kyai pada masa
sekarang karena ini sudah menjadi tradisi dimasyarakat dan merasa tidak enak
dengan sesepuh (para kyai) yang masih hidup.
Maka penulis menyarankan sebaiknya kyai hanya sebagai agen perantara
saja. Tidak secara utuh menjadi mustahiq yang utama. Zakat fitrah yang
telah diberikan masyarakat kepada kyai, nantinya kyai akan mendistribusikannya
lagi kepada mustahiq yang lain. Supaya tujuan zakat dapat tercapai. Atau
masyarakat mendistribusikannya langsung kepada fakir miskin, karena tujuan
utama zakat adalah untuk menanggulangi kemiskinan. Atau diberikan kepada ‘amil,
karena dalam mengelola zakat, amil lebih mengerti kepada siapa saja zakat harus
disalurkan.
[1] Hasbi Ash-Shiddieqy, Pedoman Zakat,
Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009, hal.165.
[2] Imam Bukhari, Sohih Bukhari, Bairut: Dar
al-Kutub Ilmiyah, 1992.
[3] Abdul Halim Hasan, Tafsir al-Ahkam, Jakarta: Prenada Media Group,
cet ke-I, 2006, hal. 49.
[4] Hasbi Ash-Shiddieqy, Op.cit, hal. 166.
[5] Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, Juz 10,
Bairut: Darul Kutub Ilmiah, hal. 598.
[6] Hamka, Tafsir al-Azhar, Juz X, Jakarta: Pustaka
Panji Maz, 1985, hal. 256.
[7] Mahmud Syaltut, Tafsir al-Qur’anul Karim, diterjemahkan oleh
Herry Noer Ali, Tafsir al-Qur’anul Karim 4 (Pendekatan Syaltut dalam Menggali Esensi al-Qur’an), Bandung: Diponegoro, 1990, hal. 1138.
[8] Hikmat Kurnia dan Ade Hidayat, Panduan Pintar
Zakat, Tanggerang: Qultum Media, 2008, hal. 152-154.
[9] Ibid, hlm. 148-149.
[10] Satria Effendi, M. Zein, Ushul Fiqh,
Jakarta: Kencana, 2008, hal. hal. 130.
[11] Ibid, hlm. 153.
[12] Abdul
Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Penerjemah Faiz el-Muttaqin),
Jakarta: Pustaka Amani, 2003, hlm. 117.
[13] Satria Efendi, M. Zein, op.cit, hlm. 156.
[14] Ibid, hlm. 160-163.
[15] Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, Ciputat: PT
Logos Wacana Ilmu, Cet 2, 1997, hal. 141.
[16] Amir Syarifudin, Ushul Fiqh Jilid 2,
Jakarta: Kencana, 2008, hal. 391.
[17] Nasrun Haroen, Op.cit, hal. 140.
[18] Muchlis Usman, Kaidah-Kaidah Istinbath Hukum
Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999, hal. 140.
No comments:
Post a Comment