Dramaturgi
berusaha menjelaskan bagaimana orang melakukan sesuatu, bukan apa atau yang
ingin orang lakukan, dan bukan mengapa orang melakukannya. Bukan pada hasil
yang dilakukan, tapi pada proses. Maka dari itu, pengemis dilihat dari
interaksi saat ia mengemis, proses-proses pada saat ia meminta-minta, bagaimana
ia melakukan profesi mengemis.
Menurut
dramaturgi, kehidupan hanyalah panggung sandiwara, di atas panggung terdapat
banyak peran yang berbeda-beda tergantung pada posisi individu, setiap
masyarakat berusaha memainkan perannya sebaik mungkin di atas panggung. Layaknya panggung teater, kehidupan juga terdapat
panggung depan dan belakang panggung (baca: panggung belakang), atau dalam
istilah dramaturgi disebut front stage dan back stage.
Begitu
pula dengan kehidupan pengemis, terdapat panggung depan dan panggung belakang. Panggung
depan pengemis adalah ketika ia meminta-minta di hadapan para calon pemberi
sedekah. Sedangkan panggung belakang pengemis adalah tempat saat ia tidak mengemis,
ketika di rumah, di hadapan keluarga dan sosial masyarakat, atau saat ia
mempersiapkan peran sebagai pengemis.
Dalam panggung
depan terdapat front personal dan setting: front personal
adalah alat-alat yang harus ada sebagai perlengkapan dalam pengemis. Terdapat
beberapa perlengkapan yang dibawa oleh pengemis, diantaranya:
a.
Menggendong atau membawa anak kecil
untuk mengemis bersama;
b.
Memakai pakaian
tidak layak; seperti pakaian
kotor, sobek, lusuh dan terlihat compang-camping;
c.
Berkerudung dan membawa tas;
d.
Kantong plastik lusuh sebagai ganti
pengadah tangan.
Front
personal juga mencakup bahasa verbal dan bahasa tubuh pengemis. Pengemis menggunakan
bahasa yang sopan dan mengucapkan “terimakasih” tiap kali ada yang memberinya sedekah,
dan menggunakan bahasa tubuh seperti pura-pura
membungkuk, mimik wajah yang memelas, dengan menengadahkan tangan yang
menandakan ia adalah pengemis dan sedang meminta-minta.
Prilaku
berbeda diperankan oleh pengemis ketika ia berada di panggung belakang, di rumah
pengemis ini menjalankan kehidupan seperti orang pada umumnya. Pengemis berinteraksi
dengan keluarga dan masyarakat sekitar apa adanya, memakai baju yang pantas
(tidak sobek, kotor dan lusuh) dan jarang berkerudung, mimik wajah yang lebih
santai, kadang berbicara kasar, ada pula pengemis perempuan yang ditemui sedang
merokok. Tidak semuanya negatif, ada pengemis pada waktu siang masih bekerja ke
pasar, ada pula yang mencari rezeki tambahan dengan menjadi pemulung.
Hal-hal
tersebut adalah proses presentasi diri seorang pengemis sebagai upaya
pengelolaan kesan (impression managament), proses tersebut dilakukan
pengemis dengan menghadirkan dan memproyeksikan kepada pengunjung suatu image
bahwa ia (baca: pengemis) miskin, lapar, butuh uang, tidak punya pakaian, dan tidak
punya tempat tinggal, untuk mendapatkan imbalan berupa santunan uang.
No comments:
Post a Comment