Salah satu
pembahasan ilmu-ilmu hadis yang selalu menjadi perhatian para ahli ilmu hadis
adalah hadis ditinjau dari sudut kualitasnya. Persoalan yang muncul seputar
topik ini yaitu pembagian hadis ke dalam tiga klasifikasi, yaitu hadis shahih,
hadis hasan, dan hadis dha’if.
Pada awal munculnya ilmu-ilmu hadis,
kualifikasi hadis ditinjau dari sudut kualitasnya tidaklah seperti tersebut di atas,
namun hanya terbagi kepada dua tingkatan yaitu hadis shahih dan hadis dha’if.
akan tetapi dalam perkembangannya, pembagian ini mengalami perluasan dengan
munculnya istilah baru yaitu hadis hasan.
Para ulama hadis
sepakat bahwa orang yang pertama memperkenalkan istilah hadis hasan adalah
Imam Abi Isa al-Tirmidzi (w 279 H). Sementara Ibn Shalah memberi keterangan
bahwa hadis hasan sebelum Tirmidzi dikelompokkan ke dalam hadis shahih.
Sedangkan ulama yang lain seperti Ibn Taimiyah berpendapat bahwa ulama
terdahulu mengelompokkan hadis hasan ke dalam hadis dha’if.
Pada masa Ahmad Ibn
Hanbal, hadis dibagi menjadi dua yaitu hadis shahih dan hadis dha’if.
Istilah hasan muncul pada masa sesudahnya, yaitu pada masa imam al-Tirmidzi.
Al-Tirmidzi membawa istilah baru untuk hadis dha’if yang tidak terlalu
lemah, dinaikkan derajatnya menjadi hadis hasan dan dimasukkan ke jajaran
hadis yang maqbul.
Gambaran di atas
menunjukkan bahwa hadis telah mengalami perkembangan sejak masa Nabi Muhammad
hingga sekarang. Apabila dikaji dan dipelajari secara seksama keadaan yang
meliputi perkembangan hadis sejak pertumbuhannya. Sejarah perkembangan ilmu
pengetahuan seperti sekarang ini tidak langsung secara mendadak, melainkan
terjadi secara bertahap. Untuk memahami sejarah perkembangan ilmu mau tidak mau
harus melalui pembagian atau klasifikasi secara periodik, karena setiap periode
menampilkan ciri khas tertentu dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
Demikian juga
dengan ilmu hadis, pada masa Ahmad Ibn Hanbal hanya terbagi kepada dua bagian,
yaitu hadis shahih dan hadis dha’if, kemudian mengalami perkembangan
pada masa Imam Tirmidzi, pembagian hadis berdasarkan kualitasnya ada tiga,
yaitu hadis shahih, hadis hasan, dan hadis dha’if.
Hadis dikatakan shahih
apabila memenuhi kriteria: sanadnya bersambung, diriwayatkan oleh perawi yang ‘adil
dan dhabith dan tidak ditemukan kejanggalan dan tidak ber-illat. Sedangkan
hadis dikatakan hasan apabila diriwayatkan oleh perawi yang ‘adil
dan kurang sempurna daya ingatnya, tidak ada cacat dan kejanggalan pada
matannya. Sedangkan hadis dikatakan dha’if apabila di dalamnya tidak
ditemukan salah satu syarat-syarat yang wajib ada pada hadis shahih dan
hadis hasan.
Dalam pembahasan
ini hanya fokus pada kriteria hadis dha’if menurut Ahmad Ibn Hanbal.
Untuk mengetahui kriteria hadis dha’if menurut beliau, maka akan
dijelaskan dahulu definisi hadis dha’if. Menurut Ahmad Ibn Hanbal hadis dha’if
adalah hadis yang ada keterputusan sanad. Pengertian ini sama dengan definisi
hadis dha’if menurut ulama hadis yang lain.
Berhubung hadis dha’if
tidak memenuhi salah satu dari beberapa kriteria di atas, maka para ulama hadis
sepakat bahwa secara umum kriteria-kriteria hadis dha’if adalah sebagai
berikut:
1.
Sanadnya terputus.
Sanad suatu hadis
dianggap tidak bersambung apabila terputus salah seorang atau lebih dari
rangkaian para perawinya.
2.
Periwayatnya tidak ‘adil.
Ke-‘adil-an
rawi merupakan faktor penentu bagi diterimanya suatu riwayat, karena ke-‘adil-an
itu merupakan suatu sifat yang mendorong seseorang untuk bertakwa dan
mengekangnya dari berbuat maksiat, dusta, dan hal-hal lain yang merusak harga
diri (muru‘ah) seseorang. Jika seseorang tidak bisa menjaga ke-‘adil-annya
maka hadis yang diriwayatkan dinilai dha’if.
3.
Periwayatnya tidak dhabith.
Maksudnya adalah
seorang perawi hadis yang tidak memiliki ingatan yang baik dan hafalan yang
sempurna. Apabila seorang rawi hadis tidak dapat menguasai hadisnya dengan
baik, baik dengan hafalannya atau dengan kitabnya dan tidak mampu menyampaikan
riwayat yang telah dihafal dengan baik maka hadis tersebut dinilai dha’if.
4.
Mengandung syadz.
Maksudnya ialah
informasi yang terkandung di dalamnya bertentangan dengan informasi lain yang
dibawa oleh orang-orang yang lebih berkualitas atau bertentangan dengan dalil
lain yang lebih kuat.
5.
Mengandung ‘illat.
Maksudnya adalah
ada pengelabuhan dengan cara menyambung sanad hadis yang sebenarnya memang
tidak bersambung, atau mengatasnamakan dari Nabi padahal sebenarnya bukan dari
Nabi.
Kriteria hadis dha’if
yang boleh diamalkan menurut Ahmad Ibn Hanbal adalah sebagai berikut:
1.
Hadis dha’if bisa diamalkan, apabila
dalam bab itu tidak ada hadis lain yang menolaknya.
Ahmad Ibn Hanbal
berpendapat bahwa hadis dha’if boleh diamalkan secara mutlak, baik yang
berkaitan dengan fadhail al-a‘mal maupun yang berkaitan dengan masalah
hukum, dengan syarat tidak ada hadis lain yang menerangkannya. Ibn Qayyim
al-Jauziyah menyebutkan di dalam kitab I‘ilam al-Muwaqqi’in ‘An Rabb Al-Alamin
Juz 1 dalam bab Ushul Fatawi al-Imam Ahmad, bahwa hadis mursal dan hadis
dha’if bisa diambil, bila dalam bab itu tidak ada hadis lain yang
menolaknya. Inilah yang beliau tarjih-kan atas qiyas.
Ibn Qayyim
mengatakan bahwa hadis dha’if yang dimaksud Ahmad Ibn Hanbal disni
adalah hadis yang tidak bathil, juga bukan hadis yang munkar,
serta bukan riwayat yang mengandung perawi yang muttaham (tertuduh
dusta) sekiranya dilarang mengambil dan mengamalkannya, tetapi hadis dha’if
menurut beliau adalah lawan dari hadis shahih yang merupakan bagian dari
hadis hasan.
Secara umum terjadi
perbedaan pendapat dikalangan ulama tentang kehujjahan hadis mursal. Pertama,
secara mutlak boleh dijadikan hujjah, sebagaimana pandangan Abu Hanifah,
Imam Malik dan Imam Ahmad bin Hambal. Kedua, secara mutlak tidak boleh
dijadikan hujjah, sebagaimana pandangan imam Muslim. Ketiga,
boleh dijadikan hujjah dengan catatan memenuhi empat kreteria, yaitu:
diriwayatkan oleh Tabi’in besar, perawinya terpercaya, tidak ada kerancuan,
diriwayatkan oleh perawi lain pada jalur yang lain. Keempat, boleh
mempergunakan hadis mursal sebagai hujjah, dengan catatan jika
ditemukan adanya hadis mursal dari jalur lain.[1]
2.
Bukan hadis munkar.
Hadis munkar
adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang lemah yang bertentangan
dengan perawi hadis yang tsiqah (orang terpercaya). Atau hadis yang
dalam sanadnya terdapat periwayat yang mengalami kekeliruan yang parah, banyak
mengalami kesalahan dan pernah berbuat fasik. Dari definisi tersebut sudah
jelas bahwa di antara periwayat hadis munkar ada yang sangat lemah daya
ingatannya sehingga periwayatannya menyendiri, tidak sama dengan orang tsiqah.
Periwayatan munkar tidak sama dengan syadz, karena dalam munkar
periwayatnya bersifat dha’if yang menyalahi periwayatan tsiqah.
Sedangkan hadis syadz periwayatan orang tsiqah menyalahi orang yang
lebih tsiqah.
3.
Bukan hadis bathil.
Hadis bathil
adalah hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang dituduh atau disalahkan karena
pemalsuan hadis.
4.
Bukan hadis matruk.
Maksud dari hadis matruk
adalah hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang tertuduh kuat berlaku
dusta terhadap hadis yang diriwayatkannya atau nampak kefasikannya, baik pada
perbuatan maupun ucapan atau orang yang bayak lupanya atau banyak
keragu-raguannya.
Maksud dari
pengertian tersebut adalah hadis yang dalam matarantai sanadnya ditemukan
seorang perawi yang tertuduh kuat berlaku dosa dalam penyampaian hadisnya,
bahkan terkenal banyak melakukan kesalahan. Hal ini dapat dilihat dari faktor
penyebabnya, yaitu:[2]
1)
Hadisnya tidak diriwayatkan oleh siapa saja
kecuali dari jalurnya.
2)
Hadisnya menyalahi kaidah umum
3)
Kebohongan yang dilakukan sudah dikenal
publik, meskipun belum diketahui secara pasti dalam hal penyampaian hadis
nabawi.
Dari penjelasan di
atas bahwa hadis matruk adalah hadis yang terburuk setelah hadis maudhu’,
hadis ini tidak dapat diamalkan sama sekali karena cacat yang sangat fatal,
yaitu tertuduh dusta, posisinya dekat dengan hadis maudhu’. Oleh karena
itu, sesuai dengan namanya matruk artinya tidak diamalkan.
5.
Bukan riwayat yang mengandung perawi yang muttaham
(tertuduh dusta).
Maksud dari rawi
yang tertuduh dusta ialah seorang rawi yang terkenal dalam pembicaraan
sebagai pendusta, tetapi belum dapat dibuktikan, bahwa ia sudah pernah berdusta
dalam membuat hadis. Seorang rawi tertuduh dusta bila ia bertobat dengan
sungguh-sungguh, dapat diterima periwayatan hadisnya. Adapun orang yang yang
pernah berbuat dusta di luar hadis, tidak ditolak periwayatannya.
Sedangkan menurut sebagian
ahli hadis menolak periwayatannya, dikarenakan orang yang pernah berdusta di
luar periwayatan hadis, ada kemungkinan dia berbuat dusta di dalam periwayatan
hadis.[3] Ketika dalam suatu hadis ada riwayat yang
mengandung perawi yang tertuduh dusta maka hadis tersebut dinilai dha’if
atau disebut dengan hadis matruk.
6.
Tidak bertentangan dengan suatu atsar
(riwayat), pendapat sahabat dan ijma’ ulama.
Hadis dha’if
menurut Ahmad Ibn Hanbal memiliki beberapa tingkatan, dan bila dalam bab yang
bersangkutan tidak ada atsar (riwayat) yang menolaknya, atau pendapat
sahabat maupun ijma’ yang berbeda dengannya, maka mengamalkannya lebih utama
dari pada qiyas.
Berdasarkan penjelasan
di atas, meskipun Ahmad Ibn Hanbal menggunakan hadis dha’if namun tidak
semua hadis dha’if bisa diamalkan. Hadis dha’if tersebut harus
memenuhi kriteria tertentu yang telah ditetapkan oleh Ahmad Ibn Hanbal sehingga
tidak bertentangan dengan hadis shahih.
Casino de Calle-Lafayette - Mapyro
ReplyDeleteCasino de Calle-Lafayette 보령 출장샵 is 진주 출장샵 the only place in the world to experience all 광명 출장샵 that excitement and hospitality from your 구미 출장안마 favorite 안동 출장안마 table game