As-sharf menurut bahasa
adalah penambahan, penukaran, penghindaran, atau transaksi jual beli mata uang
dengan mata uang lainnya. Transaksi jual beli atau pertukaran mata uang dapat
dilakukan baik dengan mata uang yang sejenis atau yang tidak sejenis.[1] Dalam fiqih
mu’amalah prinsip ini biasa disebut dengan bay’ as-sharf (jual beli matauang).
Dalam mekanisme yang diterapkan oleh perbankan syari’ah, sharf diartikan
sebagai jual beli suatu valuta dengan valuta yang lainnya.
Perbedaan as-sharf
dengan perdagangan pada umumnya, terletak pada hukum yang diterapkan oleh as-sharf
itu sendiri, walaupun as-sharf merupakan variasi dari jual beli, namun konsep
jual beli tidak dapat diterapkan di
dalam as-sharf.
Perbedaan dengan konsep
jual beli adalah jual beli boleh dicicil pembayarannya, boleh dalam bentuk terutang
dan boleh ditangguhkan dan terikat dengan khiyar syarat. Sedangkan dalam
variasi perdagangan valuta asing atau as-sharf yaitu dalam hal time
settlement-nya. Artinya, dalam aqad as-sharf ini harus dilakukan
secara tunai (tidak boleh ditangguhkan). Persamaan dan perbedaan kadar serta jenisnya
harus diperhatikan, serta menghindari adanya khiyar syarat.
Dalam praktik jual
beli bisa berupa ‘ain (barang) atau goods and service yaitu jasa,
dan dain sebagai alat tukar (uang). Objek jual beli yang berupa dain
dengan dain adalah tidak sah hukumnya, karena hal tersebut telah
menjadikan dain menjadi ‘ain, namun apabila yang menjadi komoditas
adalah mata uang dengan mata uang maka dalam hukum Islam adalah as-sharf
yang hukumnya diperbolehkan.
As-sharf diperbolehkan
tentunya dengan syarat kedua mata uang tersebut harus diserahkan secara langsung
(tunai) sebelum kedua belah pihak berpisah, hal ini yang menjadikan ciri khas
yang membedakan dari akad jual beli lainnya, sekaligus sebagai pengecualian
terhadap akad yang objeknya berupa dain. Tujuan dari keharusan tunai dalam
aqad as-sharf ini adalah untuk menghindari adanya gharar dan
spekulasi. Gharar dalam aqad as-sharf ini akan lenyap karena time
of settlement-nya dilaksanakan secara tunai. Sedangkan dalam aqad yang
obyeknya berupa barang, maka selain masa penyerahannya yang harus tunai, juga
harus sama dalam hal kualitas dan kuantitasnya.
Dalam as-sharf
ada ketentuan lain seperti yang telah disebutkan di paragraf sebelumnya yakni harus
sama dalam hal kualitas dan kuantitasnya, hal ini menghindari terjadinya riba fadli,
yakni riba yang berada pada perdagangan dua komoditas yang sejenis. Dalam
ketentuan sama dalam kuantitas dan kualitas, hanya berlaku dalam dua objek yang
sejenis, akan tetapi jika objeknya berbeda, maka perbedaan dalam kualitas dan
kuantitas diperbolehkan karena salah satu menjadi pembanding dari salah satu
diantarannya.
Sebagai salah satu variasi
jual beli, as-sharf juga tentu saja harus memenuhi persyaratan sebagaimana
halnya variasi jual beli yang lain seperti bai’ mutlak dan muqayyadah.
Karena agar jual beli itu terbentuk dan sah diperlukan sejumlah syarat, yaitu
syarat adanya aqad jual beli dan syarat sahnya jual beli. Sehingga aqad jual
beli itu tidak saja ada dan terbentuk, akan tetapi juga sah secara hukum.
Dengan demikian, hukum tentang as-sharf yang biasa diartikan dengan jual
beli valuta asing tidak diragukan lagi kebolehannya dari sudut fiqh Islam. Dari
pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam hukum Islam, hukum sharf
diperbolehkan karena termasuk bentuk jual beli.
Rasulullah shallallahu
alaihi wa sallam bersabda, “Juallah emas semau kalian dengan kontan.”
Penukaran emas dengan emas dan perak dengan perak diperbolehkan jika kadarnya
sama. Perbedaan harga atau berat dalam jual beli sesuatu yang jenisnya berbeda
diperbolehkan. Misalnya, emas dengan perak asal dilakukan di dalam majelis.
Rasulullah saw bersabda, “Jika jenis-jenis tidak sama, juallah semau kalian
asal tangan dengan tangan (kontan).”
Selain itu, dalam
Fatwa Dewan Syari’ah pun memperkuat kebolehan dalam melakukan as-sharf
atau penukaran valuta asing dengan ketentuan sebagai berikut:
1.
Tidak untuk spekulasi (untung-untungan).
2.
Ada kebutuhan transaksi atau untuk
berjaga-jaga (simpanan).
3.
Apabila transaksi dilakukan terhadap mata uang
sejenis maka nilainya harus sama dan secara tunai (at-taqabudh).
4.
Apabila berlainan jenis maka harus
dilakukan dengan nilai tukar (kurs) yang berlaku pada saat transaksi dilakukan
dan secara tunai.
Kegiatan tukar-menukar
valuta asing atau dalam Islam disebut dengan as-sharf diperbolehkan secara
Islam, tentunya harus dengan memperhatikan beberapa aspek yang sudah dijabarkan
di atas. Begitu juga dengan praktik penukaran valuta asing yang terjadi di sebagian
toko emas. Apabila ada penukar yang hendak menukarkan valuta asing pada toko
emas bisa dengan datang langsung ke toko emas. Kemudian melakukan penukaran dengan
cara yang umum dilakukan, yakni menentukan dan menyepakati nominal yang ditukarkan
antara penukar dan toko emas, tentu saja berdasarkan kurs mata uang yang
berlaku pada saat itu. Kemudian setelah tercapai kesepakatan dalam nominal
tukar tadi, serah terima dilakukan.
Namun dalam praktiknya,
sebagian toko emas menerapkan sistem batas maksimal nominal tunai. Yakni
apabila menukarkan dalam jumlah yang banyak maka dilakukan penundaan penyerahan
secara langsung. Dengan demikian transaksi yang digunakan oleh sebagian toko
emas sesuai dengan sharf, baik dilihat dari barang yang ditukarkan, rukun
serta syaratnya sudah terpenuhi, yaitu ada penukar, orang yang menerima
penukaran serta barang yang ditukar, juga menggunakan ijab qabul yaitu dengan
adanya perkataan dan jawaban dari kedua pihak, serta adanya alat bukti kuitansi.
Namun ada kecacatan syarat terhadap sistem batas maksimal yang dilakukan oleh
pihak toko emas.
Secara normatif
hukum Islam juga menjelaskan, bahwa jual beli valuta asing atau penukaran mata
uang asing yang dilakukan di sebagian toko emas tidaklah merubah fungsi uang
dalam Islam. Karena as-sharf yang dijadikan sebagai salah satu layanan
jasa penukaran mata uang asing tidaklah sama dengan praktik perdagangan valuta
asing yang banyak mengandung unsur yang merugikan masyarakat.
Di sebagian toko emas
dalam pengambilan kesepatan dalam harga tukar berdasarkan kurs yang berlaku
pada saat itu, namun kurs yang berlaku hanya digunakan sebagai gambaran harga
jual, tentunya dalam setiap layanan jual beli barang atau jasa keuntungan yang
diambil oleh toko emas berdasarkan kebijakan toko sendiri. Hal ini diperbolehkan
dalam Islam dikeranakan as-sharf adalah variasi dalam transaksi jual
beli pada umumnya yang mana pengambilan keuntungan adalah diperbolehkan.
Dalam kajian fiqh
mu’amalah praktik penukaran valuta asing yang terjadi pada sebagian toko emas ada
kecacatan syarat dalam sistem batas maksimal nominal tunai yang menerapkan
tangguhan di dalamnya, hal ini tidak diperbolehkan dalam sharf, karena
syarat tunainya terhapuskan oleh sistem tersebut.
[1] Sri Nurhayati dan Wasilah, Akuntansi Syari’ah di Indonesia, edisi
2 revisi (Jakarta: Salemba Empat, 2011), hal 2442.
No comments:
Post a Comment