Dewasa ini pemahaman
masyarakat mengenai mahar masih dirasa kurang. Mereka beranggapan bahwa mahar
hanyalah sebagai syarat pelengkap dan bukan sesuatu yang urgen untuk
dibicarakan dalam melangsungkan pernikahan. Padahal mahar merupakan simbol
bahwa suami memang betul-betul menyayangi istrinya dan sudah siap untuk menikahinya.
Mereka beranggapan bahwa selama masih ada orang tua maka segala urusan yang
berkaitan dengan anaknya, khususnya mengenai pernikahan serta masalah penentuan
mahar anak perempuannya tersebut merupakan hak penuh orang tua untuk melaksanakannya.
Seorang anak
perempuan baru mempunyai hak untuk ikut serta menentukan maharnya sendiri, jika
kedua orang tua atau ayahnya telah meninggal. Padahal hukum Islam sudah
mengatur segala urusan manusia di muka Bumi ini, termasuk juga mengatur masalah
manusia dalam melaksanakan pernikahan. Islam tidak menetapkan besar kecilnya
nilai mahar yang harus diberikan kepada calon isteri. Hal ini disebabkan karena
adanya perbedaan antara sesama manusia. Yakni ada yang kaya, ada pula yang miskin,
ada yang lapang, ada pula yang disempitkan rezekinya. Disamping itu masyarakat
mempunyai adat dan tradisi yang berbeda.[1] Hal yang
terpenting adalah bahwa mahar tersebut haruslah sesuatu yang bisa diambil
manfaatnya, baik berupa uang atau sebentuk cincin yang sangat sederhana
sekalipun, atau bahkan pengajaran tentang al-Qur’an dan lainnya, sepanjang
telah disepakati bersama antara kedua belah pihak.[2]
Adapun tentang
penentuan mahar harus disepakati kedua belah pihak ini juga disebutkan dalam
KHI pasal 30, bahwa calon mempelai pria wajib membayar kepada calon mempelai
wanita yang jumlah dan bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak
dari mempelai laki-laki dan perempuan. Masalah penentuan mahar memang harus ada
kesepakatan dari kedua belah pihak dari suami dan istri. Dari pengertian
tersebut bisa diambil pemahaman bahwa yang mencakup atau yang berhak ikut serta
didalamnya adalah para keluarga dari pihak suami dan istri.
Orang tua memang
mempunyai peran didalamnya, namun jangan sampai mereka meniadakan hak anak
untuk menentukan maharnya sendiri, karena yang mempunyai otoritas penuh dalam
hal mahar yakni anak perempuanya (sebagai calon mempelai istri). Bahkan,
terdapat penjelasan yang berkaitan dengan hal ini dalam kitab Fiqh al-Sunnah, dijelaskan bahwa dari Golongan imam Syafi’i,
Daud, Ibn Hazm, dan dua teman dari Abu Hanifah berpendapat bahwa tidak
diperbolehkan bagi seorang ayah untuk menikahkan anak perempuan mereka yang
masih kecil, yaitu perempuan yang masih belum baligh kemudian menentukan jumlah
mahar mereka lebih sedikit dari pada jumlah mahar mitsl, dan tidak
diwajibkan bagi bapak tentang hal tersebut, karena sesungguhnya mahar itu merupakan
hak dari anak perempuannya.
Penjelasan di atas
jika dikaitkan dengan yang terjadi di masyarakat yang mayoritas perempuan yang
dinikah sudah mencapai umur baligh, yakni ada yang berumur 15-18-an, jika anak
yang akan dinikahkan dihilangkan haknya maka itu tidak dibenarkan dalam Islam,
apalagi jika seorang ayah menentukan mahar anak perempuannya lebih sedikit dari
mahar mitsl maka tidak diperbolehkan karena pada hakikatnya mahar
merupakan hak otoritas perempuan. Namun berbeda dengan pendapat di atas yaitu
menurut Abu Hanifah, seorang ayah boleh menikahkan anak perempuannya yang masih
kecil (belum baligh) dengan menentukan jumlah mahar yang lebih sedikit dari mahar
mitsl, namun tidak diperbolehkan mengeluarkan kebijakan seperti itu kecuali
yang mengeluarkan kebijakan tersebut adalah ayah atau kakek dari perempuan yang masih kecil tersebut.[3]
Dari penjelasan di atas
dapat diperoleh kesimpulan bahwa penentuan mahar harus berdasarkan kesepakatan
kedua belah pihak suami istri, namun tidak memalingkan peran keluarga
didalamnya, namun yang harus diperioritaskan di dalamnya yaitu hak suami dan
istri. Berdasarkan pendapat Abu Hanifah dan Imam Syafi’i bahwa seorang ayah
mempunyai peran untuk menentukan mahar anak perempuannya, yakni jika anak
perempuannya itu masih kecil. Namun yang juga harus diingat anak perempuan yang
akan menikah juga mempunyai peran untuk ikut serta menentukan maharnya sendiri,
hal ini seperti yang terdapat dalam
sebuah hadits sebagai berikut:
عَنْ عَامِر بْنِ رَبِيْعَة أَنَّ امْرَأَةً مِنْ بَنِي فَزَارَةٍ
تَزَوَّجَتْ عَلَى نَعْلَيْنِ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه و سلم
أَرَضِيْتِ عَلَى نَفْسِكِ وَ ماَ لَكِ بِنَعْلَيْنِ؟ فَقَالَتْ نَعَمْ
فَأَجَازَهُ (رواه أحمد و ابن ماجه و الترمذي)
Dari ‘Amir bin
Rabi’ah: “Sesungguhnya seorang perempuan dari bani Fazarah kawin dengan
sepasang sandal. Rasulullah Saw bertanya kepada perempuan tersebut: “Relakah
engkau dengan maskawin sepasang sandal?” Kemudian perempuan itu menjawab:
“Iya”, Rasulullah Saw meluruskannya.” (HR. Ahmad bin
Mazah dan dishahihkan oleh Turmudzi).[4]
Yang terpenting diketahui
bahwa mahar itu harus berdasarkan kerelaan dari suami dan istri, seperti yang
dijelaskan oleh Muhammad bin Habib al-Mawardiy, dalam kitabnya al-Hawi al-Kabir
Fil Fiqh al-Syafi’i, bahwa:
فَإِذَا ثُبِّتَ أَنَّ أَقَلَّ الْمَهْرِ وَ أَكْثَرُهُ غَيْرُ مُقَدَّرٍ
فَهُوَ مُعْتَبَرٌ بِماَ تَرَاضَى عَلَيْهِ الزَّوْجَانِ مِنْ قَلِيْلٍ وَ
كَثِيْرٍ وَ سَوَاءٌ كَانَ أَكْثَرُ مِنْ مَهْرِ الْمِثْلِ أَو أَقَلُّ إِذَا
كَانَتِ الزَّوْجَةُ جَائِزَةَ الأَمْرِ
“Apabila besar
kecilnya mahar tidak ditentukan, maka besar kecilnya mahar tersebut harus
sesuai dengan keridhoan antara suami dan istri tersebut. Bahkan apabila
ternyata mahar yang ditentukan tersebut lebih banyak atau lebih sedikit dari
pada mahar mitsl maka hal ini diperbolehkan, asalkan sang istri memperbolehkan
dengan adanya kebijakan atau kewenangan tersebut.”[5]
Pernyataan imam al-Mawardiy
di atas juga dikuatkan dengan penjelasan yang terdapat dalam kitab Iqna’,
yang ditulis oleh Syeikh al-Syarbini al-Khotib bahwa kadar mahar yang telah
ditentukan oleh calon suami disyaratkan harus melalui kerelaan dari calon istri
karena sejatinya mahar adalah hak istri yang harus ditunaikan calon suami. Jika
mahar yang telah ditentukan ternyata tidak disepakati calon istri, maka calon
suami belum dianggap menentukan maharnya.
Bahkan sesuai
dengan dewasa ini, dalam masalah genderpun mengutarakan, bahwa mahar itu hak eksklusif
perempuan. Perempuan berhak menentukan jumlahnya dan menjadikan mahar tersebut
harta pribadinya. Jadi, apabila penjelasan di atas dikaitkan dengan penentuan mahar
yang sepenuhnya dilakukan oleh orang tua yang terjadi di masyarakat, yakni bisa
dikatakan tidak dibenarkan, apabila mereka menentukan mahar tersebut dengan
meniadakan hak anak perempuannya untuk ikut serta menentukan maharnya sendiri
sebagai calon mempelai istri.
Karena sesuai dengan
penjelasan sebelumnya, bahwa mahar itu memang merupakan hak penuh perempuan
untuk menguasainya. Jadi, dia juga mempunyai hak untuk ikut serta dalamnya, dan
tidak bisa dibenarkan juga orang tua mengatakan bahwa orang tua mempunyai hak
penuh dalam mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan anak perempuannya
karena berdalihkan alasan “karena merekalah yang merawat anak mereka dari
kecil sampai dewasa”, karena menurut pemahaman penulis, yang namanya
mendidik serta merawat anak itu pada hakikatnya memang merupakan kewajiban
orang tua.
Dalam pasal 30 KHI
dijelaskan bahwa mahar memang harus berdasarkan dengan kesepakatan kedua belah
pihak suami dan istri, yang didalamnya mempunyai makna yakni kesepakatan dari
keluarga suami dan keluarga istri. Jadi orang tua berhak menentukan mahar anak
perempuan mereka namun tidak harus meniadakan hak anak perempuan mereka untuk ikut
serta menentukan maharnya sendiri, karena dalam penjelasan di atas ketentuan
mahar harus berdasarkan asas kerelaan istri.
Akan tetapi sebaliknya,
apabila mereka para orang tua melakukan hal tersebut (menentukan mahar anak
perempuannya) dengan alasan untuk kemaslahatan anaknya, dan dibalik kebijakan
tersebut anak perempuannya ridho atau rela terhadap apa yang sudah ditentukan
mahar baginya. Maka hal ini tidak bisa dipermasalahkan, karena jika mempelai
suami dan istri ridho terhadap mahar yang sudah ditentukan, maka kebijakan
tersebut diperbolehkan. Karena apabila terjadi peristiwa seperti ini yakni bisa
dikatakan sudah sesuai dengan apa yang disyari’atkan oleh Islam disebabkan
didalamnya sudah terdapat asas kerelaan dan kesepakatan antara pihak mempelai
laki-laki dan pihak mempelai perempuan dalam penentuan mahar.
[5] Abi Hasan ‘Ali Ibn Muhammad bin Habib al-Mawardi, al-Hawi al- Kabir
Fil Fiqh al-Syaf’i, Jilid 9, Bairut: Dar al-Kutub ‘Ilmiyah, 1994, 400.
Tulisannya sangat bermanfaat sekali. Terimakasih
ReplyDeleteTerimakasih, menjadi salah satu inspirasi dalam penulisan materi khutbah tentang birrul walidain. Semoga menjadi amal sholeh buat penulis dan semua yang membantu menyebarkan.
ReplyDelete