Pada dasarnya tugas
pokok dan fungsi tiap Kantor Urusan Agama (KUA) kecamatan adalah sama, yakni
menyelenggarakan atau melaksanakan tugas Kantor kementrian Agama Kabupaten atau
Kodya di bidang urusan Agama Islam di wilayah kecamatan. Hal ini didasarkan
pada Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 18 tahun 1975 (yang
disempurnakan) Jo Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia No. 45 tahun 1981.
Mengenai pelaksanaan
penetapan biaya nikah sudah sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun
2014 yakni:
a) Gratis atau Rp. 0,00 (nol rupiah) jikah
proses akad nikah dilakukan pada jam kerja di Kantor Urusan Agama (KUA) dan
bagi masyarakat yang tidak mampu disertai dengan surat keterangan dari desa
yang diketahui oleh kecamatan.
b) Dikenakan biaya Rp. 600.000,00 (enam ratus
ribu rupiah) jika akad nikah dilakukan di luar kantor dan atau di luar hari
kerja.
Kesadaran masyarakat
tentang pencatatan pernikahan cukup tinggi, sesuai dengan Dalam penjelasan UU
Nomor 1 Tahun 1974 ditetapkan bahwa “Pernikahan adalah sah apabila dilakukan menurut
masing-masing agamanya dan kepercayaaannya; dan tiap-tiap perkawinan harus
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku."[1]
Sama halnya dalam
Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 ayat 1, menyatakan sudah agar terjamin ketertiban
pernikahan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan dicatat. Dan Pasal 6 ayat
(2) Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan bahwa perkawinan yang dilakukan di
luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.[2]
Namun dalam
kenyataannya masyarakat masih belum bisa mengartikan sepenuhnya Peraturan Pemerintah
Nomor 48 tahun 2014 ini. Karena dari Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2014
masyarakat bisa mendaftarkan perkawinannya di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat
tanpa adanya campur tangan jasa P3N
Pembantu Petugas pencatat Nikah/modin). Sehingga dari proses pelaksanaan biaya nikah
di sebagian wilayah masyarakatnya masih membayar lebih dari Peraturan
Pemerintah tersebut, yang mana dengan biaya lebih itu diberikan kepada jasa modin
melainkan bukan masuk pada KUA wilayah.
Menurut penulis
berpendapat sebaiknya P3N tetap diberlakukan dalam peraturan, karena modin
sangat berperan dalam membantu proses pencatatan nikah. Dan pemerintah
diharapkan memberikan anggaran untuk modin, sehingga modin tidak perlu menerima
dana kompensasi dari masyarakat. Dampak yang timbul dari penetapan biaya nikah
berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2014 antara lain:
Pertama, Semakin banyaknya
akad nikah yang dilaksanakan di Kantor Urusan Agama daripada di luar Kantor
Urusan Agama, karena masyarakat lebih memilih gratis daripada membayar.
Kedua, Sarana dan
prasana yang kurang memadai apabila melaksanakan akad nikah di Kantor Urusan
Agama. Karena biasanya Kantor Urusan Agama wilayah pedesaan kondisinya tidak
terlalu besar.
Ketiga, Waktu yang
terbatas apabila ada penumpukan calon pasanagan pengantin yang ingin
melaksanakan akad nikah di kantor Urusan Agama.
Keempat, Uang pencairan
biaya transportasi untuk penghulu yang menikahkan di luar harus menunggu waktu
yang cukup lama yakni 3 bulan sekali baru cair, sehingga banyak penghulu yang
pinjam untuk menalangi dana transportasi.
Kelima, Adanya perbedaan
dalam pelaksanaan biaya nikah peralihan dari Peraturan Pemerintah Nomor 47
tahun 2004 ke Peraturan Pemerintah Nomor
48 tahun 2014.
Keenam, Kepala KUA, Penghulu dan masyarakat merasa
lebih tenang dengan adanya Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2014 ini, karena
dengan adanya peraturan biaya nikah
tersebut Kepala KUA dan Penghulu merasa lebih tenang dalam bekerja karena sudah
ada payung hukumnya. Masyarakat pun merasa tidak terbebani lagi karena
peraturan ini sudah jelas tertera biaya nikah dan masyarakat tidak perlu
mengeluarkan biaya lagi untuk transportasi penghulu apabila akad nikah
dilaksanakan di luar Kantor Urusan Agama.
Ketujuh, Dihapuskannya P3N
(Pembantu Pegawai Pencatat Nikah), sehingga masyarakat dapat langsung
mendaftarkan perkawinannya sendiri tanpa adanya jasa modin(P3N).
Kedelapan, Semula calon
pasangan pengantin tidak membayar biaya nikah di bank, namun kini calon
pasangan pengantin harus membayarkan/menyetorkan biayanya ke bank langsung.
Kesembilan, Kurangnya
persiapan yang matang dalam melaksanakan peraturan ini, sehingga terjadi
perbedaan dalam kebijakan menentukan biaya nikah di awal peraturan yang dirasa
terlalu mendadak.
Tujuan
dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2014 adalah meringankan
beban masyarakat dalam mencatatkan pernikahannya dan memberikan ketenangan pada
kepala KUA maupun penghulu, karena dengan
adanya peraturan pemerintah ini kepala KUA dan penghulu merasa sudah ada payung
hukum yang jelas.
Dengan adanya
peningkatan jumlah calon pasangan pengantin yang ingin melaksanakan akad nikahnya
di Kantor Urusan Agama, penulis berharap adanya anggaran untuk merenovasi
Kantor Urusan Agama di wilayah pedesaan. Supaya sarana dan prasana di Kantor Urusan
Agama lebih mendukung jika terjadi penumpukan pasangan pengantin yang akan melaksanakan
akad nikah di Kantor Urusan Agama.
Berdasarkan hasil
temuan di lapangan terjadi perbedaan biaya pelaksanaan peralihan dari Peraturan
Pemerintah Nomor 47 tahun 2004 ke Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2014.
Sehingga penulis berpendapat dengan adanya perbedaan dalam pelaksaanan
peralihan biaya nikah dari Peraturan Pemerintah Nomor 47 tahun 20104 ke
Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2014 sebaiknya Kementrian Agama benar-benar
memberikan sosialisasi yang matang untuk kebijakan dalam pelaksanaan penetapan
biaya nikah berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2014 supaya
kebijakan disetiap Kantor Urusan Agama sama seperti yang diharapakan oleh
pemerintah dan memberikan sanksi pabila masih adanya penyelewengan atau tidak
diterapkannya sesuai harapan dari pemerintah.
[2] Intruksi Presiden RI No. 1 Tahun 1991.
Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta Departemen Agama RI, 1998), 15.
Ajukan pinjaman KTA Niaga yang butuh pinjaman buat nikah.
ReplyDeleteTerimakasih, dari kami penjual Tempat Tidur Pengantin
ReplyDelete