AKIBAT HUKUM MENYUSUI ORANG DEWASA


1. Pendapat Ibnu Hazm Tentang Akibat Hukum Menyusui Orang Dewasa

Untuk mengemukakan pendapat Ibnu Hazm tentang batas umur anak dalam  radla’ah yang mengakibatkan hukum mahram penulis akan menukilkan dari kitabnya “al-Muhalla” yang pada prinsipnya  beliau berpendapat tidak ada batasan umur dalam susuan yang  mengakibatkan hukum mahram. Dalam arti bahwa setiap susuan yang terjadi dalam usia anak-anak, dewasa bahkan usia lanjut sekalipun semua tetap mengakibatkan hukum mahram sebagaimana yang beliau kemukakan:

Susuan orang dewasa mengakibatkan mahram walaupun sudah dalam usia lanjut tetap mengakibatkan hukum haram sebagaimana akibat haramnya susuan anak kecil.”[1]

Diantara dasar-dasar yang dijadikan sebagai pendukung pendapatnya adalah sebuah riwayat dari Abd al-Razaq telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij telah memberikan berita kepadaku bahwa Salim Ibn al-Ja’ad bekas budak al-Asja’i telah  memberikan kabar kepadanya bahwa ayahnya telah memberinya kabar bahwa dia bertanya kepada Ali bin Abi Thalib, maka dia berkata:

Sesungguhnya saya hendak mengawini seorang wanita dan dia pernah memberi  minum  padaku dari air susunya, sedangkan  saya telah dewasa ?, maka Ali ra. menjawab; janganlah engkau mengawininya dan ali melarangnya dari wanita tersebut.”[2]

Dan riwayat dari Malik dari Ibnu Sihab bahwasanya dia pernah ditanya  tentang  susuan orang dewasa, maka  dia  menjawab telah memberi kabar padaku Urwah bin Zubair dengan sebuah haditsnya sebagai berikut:

Rasulullah SAW. bersabda: menyuruh Sahlah  binti  Suhail  agar menyusui Salim maula Abu Hudzaifah sebanyak lima kali susuan sedangkan dia orang dewasa, maka ia pun mengerjakannya dan terjadilah dia melihatnya sebagai anak laki-lakinya.”[3]

‘Aisyah juga mengambil dan berpegang dengan hadits tersebut yang berkenaan dengan seorang wanita yang senang memasukkan laki-laki kepadanya. ‘Aisyah pernah menyuruh saudara  perempuannya Ummi Kulsum dan anak saudara laki-lakinya agar menyusui kepada orang yang senang masuk kepadanya dari para laki-laki. Berdasarkan hal tersebut ia mengatakan:

Adapun pendapat Malik, Zufar dan Abu Hanifah tidak diragukan kesalahannya.”[4]

Ibnu Hazm juga menolak pendapat yang membatasi usia susuan yang mengakibatkan mahram dengan “al-Fitham” (sejak disapih) berdasarkan firman Allah SWT.:

Apabila keduanya ingin mengambil sebelum dua tahun dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya.”

Menanggapi pendapat  tersebut  Ibnu Hazm mengatakan bahwa ayat tersebut bukan merupakan hujjah bagi mereka mengenai batas umur susuan yang mengakibatkan mahram. Akan tetapi pengertian yang terkandung dalam ayat tersebut  adalah putusnya nafkah wajib atas ayah dalam radla’ah, bukan mengenai berhentinya kebutuhan anak kecil terhadap susuan yang memutuskan haram karena susuannya.

Ibnu Hazm juga menolak terhadap kelompok ulama yang membatasi usia  radla’ah yang  mengakibatkan mahram sampai usia dua  tahun penuh berdasarkan firman Allah SWT.:

Para ibu hendaklah menyusukan anaknya selama dua tahun penuh yaitu bagi yang ingin menyempurnakan susuannya.”

Dan firman Allah SWT.:

Ibunya telah mengandung dalam keadaan payah dan menyapihnya dalam dua tahun.”

Menurut mereka yang berpegang dengan ayat tersebut mengambil suatu pengertian bahwa Allah telah memutuskan pisahnya menyusu dalam usia dua tahun penuh bagi yang ingin menyempurnakan penyusuannya. Dan mereka mengatakan bahwa sedikitpun tidak dikatakan susuan setelah usia dua tahun. Karena  usia  dua  tahun  itu susuan  telah  sempurna,  dan apabila sudah berhenti menyusu maka terputus pula hukumnya yang mengakibatkan haram.

2. Kritik Pendapat Ibnu Hazm

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa Ibnu Hazm tidak memberikan batas umur dalam radla’ah yang mengakibatkan hukum mahram, baik itu susuan yang terjadi dalam usia dewasa  bahkan  dalam  usia lanjut sekalipun  tetap  mengakibatkan hukum  mahram  sebagaimana susuan yang terjadi pada susuan anak-anak. Jadi setiap susuan dalam usia berapapun tetap mengakibatkan  hukum  mahram.
Ibnu Hazm menolak berbagai kelompok ulama yang mengatakan bahwa  susuan yang mengakibatkan hukum mahram itu terbatas  oleh usia dan menolak  pula dasar-dasar yang dijadikan pegangan itu lemah sebagaimana penulis kemukakan di atas.

Menurut  analisa penulis  yang menjadikan Ibnu Hazm dengan pendapatnya bahwa setiap susuan yang terjadi dalam usia  berapapun tetap mengakibatkan hukum  mahram  adalah  karena keterikatannya terhadap hadits Sahlah binti Suhail yang datang kepada Nabi mengadukannya tentang Salim yang sudah dianggap sebagai anaknya dan sudah biasa tidur bersama dan berkumpul dalam satu rumah, kemudian Nabi SAW. menyuruhnya:

Susuilah dia, lalu Sahlah berkata: bagaimana saya  menyusuinya sedangkan dia laki-laki dewasa, maka tersenyumlah  Rasulullah SAW. seraya berkata: saya tahu bahwa Salim laki-laki dewasa.”[5]

Dan Hadits yang senada dengan Hadits di atas:

Bahwa  Salim  telah  dewasa  sebagaimana  dewasanya  laki-laki, telah berakal sebagaimana mereka yang telah berakal dan ia masuk kepadaku, maka Nabi SAW. bersabda: susuilah dia, maka engkau menjadi mahramnya.”[6]

Menurut Ibnu Hazm bahwa hadits tersebut merupakan bukti  yang nyata dan kuat bahwa susuan terjadi dalam usia dewasa adalah  tetap mengakibatkan hukum mahram. Dan hadits tersebut tidak hanya berlaku khusus pada Salim ataupun hanya rukhsah untuk Salim saja dan juga bukan merupakan penghapusan  praktek  tabani. Ibnu Hazm menyanggah dari kelompok ulama yang berpendapat bahwa:

Perkataan Sahlah kepada Rasulullah SAW. bagaimana saya menyusuinya sedang ia laki-laki dewasa adalah bukti nyata. Karena peristiwa itu setelah turun ayat-ayat yang telah diturunkan dan dengan yakin kami bahwa itu khusus untuk Salim atau mengenai tabani yang telah dinaskh tentu Nabi akan menerangkannya.”[7]

Menggaris  bawahi  dari  perkataan Ibnu Hazm  tersebut,  maka  dapat diambil suatu kesimpulan bahwa yang menjadikannya  berpendapat bahwa susuan orang dewasa tetap mengakibatkan  haram adalah  karena Ibnu Hazm memahami  Hadits  tersebut secara tekstual tanpa mempertimbangkan keterangan-keterangan maupun riwayat-riwayat hadits yang lain.

Misalnya, dia memperkuat pendapatnya dengan mengemukakan hadits riwayat imam Muslim secara tekstual, sedangkan dia mengatakan tidak melihat bahwa hadits tersebut adalah rukhsah untuk Salim, padahal imam Muslimpun meriwayatkan bahwa  Ummu  Salmah  isteri  nabi  SAW  berkata kepada Aisyah:

Demi Allah kami tidak melihat susuan ini kecuali rukhsah  atau dispensasi yang diberikan  oleh  Rasulullah  SAW. kepada Salim secara khusus.”[8]

Hadits  tersebut pula yang dijadikan oleh imam-imam lain seperti imam Syafi’i sebagai dasar bahwa susuan orang dewasa yang mengakibatkan hukum mahram adalah khusus berlaku pada Salim.

Kalau dilihat berlakunya hadits tentang Salim itu memang turun setelah turunnya ayat yang  menerangkan tentang penghapusan praktek tabani dan Nabi pun tidak menerangkan tanpa sesuatu  tentang hal itu, akan tetapi kalau ditinjau dari segi historisnya  adalah  karena justru Sahlah yang sudah terlanjur mencintai Salim dan menganggap sebagai anaknya, mendengar adanya ayat yang menghapus tabani kemudian datanglah ia kepada Rasul SAW, beliau menyuruhnya:

Susuilah dia sehingga menjadi mahram kepadanya”.[9]

Jadi kalau dilihat dari latar belakangnya, Rasulullah SAW.  hanyalah memberi rukhsah kepada Salim, sedangkan untuk yang lain tidak berlaku. Itulah yang penulis maksud, bahwa dalam mempertahankan pendapatnya tersebut, Ibnu Hazm melihat teks  hadits  tentang  Salim  tanpa melihat dari sisi lain. Dan ini memang merupakan ciri khas kelompok Zahiri, termasuk dia sebagai pendukungnya dalam  memahami  dalil nash, hanya menitik beratkan dari segi dzahir nashnya saja.

Menurut hemat penulis, pendapat Ibnu Hazm tentang tidak  adanya batasan usia dalam radla’ah yang mengakibatkan hukum  mahram  itu sekalipun didasarkan pada suatu  istidlal yang benar,  akan tetapi kalau dikaitkan dengan relevansi pada situasi dan kondisi  masyarakat, pendapat tersebut kurang proposional.

Kalau cara semacam itu boleh dipraktekkan masa sekarang ini, tentunya  akan lebih membawa  dampak  yang  negatif karena susuan yang dilakukan oleh orang dewasa dan dilakukan kepada kaum wanita, biasanya akan membawa suatu rangsangan yang amat menegangkan dan akhirnya dikhawatirkan terjerumus ke dalam hal yang dilarang  oleh agama.

Lagi pula susuan yang terjadi dalam usia  dewasa,  bahkan  dalam usia lanjut sama  sekali tidak mempunyai pengaruh biologis, yakni  tidak dapat menumbuhkan daging dan menguatkan tulang. Dengan demikian dia tidak dapat dikatakan sebagai bagian dari yang menyusuinya.

Berdasarkan alasan itulah penulis cenderung mengatakan bahwa bagaimanapun  juga  pendapat Ibnu Hazm adalah dlaif atau lemah.



[1] Ibnu Hazm, al-Muhalla, Op. Cit., hlm. 17
[2] Ibid, hlm. 19
[3] ibid
[4] Ibid, hlm. 20
[5] Imam Muslim, Sahih, Muslim, Beirut: Dar al-Fikr, jilid. I, hlm. 118
[6] Ibid., hlm. 617
[7] Ibnu Hazm, al-Muhalla, juz.XI, Maktabah Jumhuriyah al-arabiyah, mesir, 1970, hlm. 206
[8] Imam Muslim, op.cit., hlm. 618
[9] Ibid., hlm. 617

No comments:

Post a Comment