KESEIMBANGAN SUAMI ISTERI DALAM KELUARGA MENURUT IMAM NAWAWI


Keseimbangan suami isteri dalam konteks rumah tangga mempunyai pandangan bahwa suami merupakan pemimpin bagi rumah tangga. Sedangkan isteri diposisikan secara subordinatif di bawah suami. Hal ini, disebabkan karena pemahaman ayat secara normative, dan kurang melalui verifikasi ayat-ayat secara jeli dan rinci.

Sementara itu kitab ‘Uqûd al-Lujjayn, juga merupakan produk yang dijiwai oleh zaman yang boleh dikatakan konservatif-normatif tersebut, dan tidak dipungkiri juga bahwa isteri tidak diberi tempat dalam hal kepemimpinan dalam rumah tangga. Namun demikian, ternyata secara eksplisit Imam al-Nawawi juga memberikan penekanan terhadap perlunya keseimbangan walaupun tidak dijelaskan secara rinci bentuk perimbangan itu sendiri (Nawawi, 1993: 2).

Imam al-Nawawi cenderung memberikan indikasi dan perlunya pemahaman lebih lanjut dalam mencari titik temu adanya keseimbangan antara suami dan isteri. Selain itu, adanya beberapa hadits yang dipakai oleh Imam al-Nawawi dalam kitab ‘Uqûd al-Lujjayn banyak yang secara kualitatif mempunyai kelemahan tersendiri, baik perawi maupun kesahihannya. Hadits tersebut sekiranya mampu dipakai sebagai legitimasi kepemimpinan suami atas isteri pada konteks saat ini kurang mampu mengakomodasi seluruh kepentingan pengembangan potensi keluarga.

Di sisi lain Imam al-Nawawi juga memberikan keterangan dan indikasi untuk mengakui perlu adanya keseimbangan, yaitu dalam mengutip surat an-Nisa’ ayat: 19 yang berbunyi:

“…..Dan bergaullah dengan mereka secara patut…” (an-Nisa’:19). 

Tolok ukur keseimbangan antara suami isteri, apabila pasangan suami isteri tergolong baik dalam pandangan masyarakat, serta baik dalam pandangan syara’. Yakni antara suami isteri membina pergaulan dengan baik dan tidak saling merugikan (Nawawi, 1993:13). 

Keseimbangan menurut Imam al-Nawawi adalah hak dan kewajiban suami istri dalam rumah tangga, tidak harus sama persis. Melainkan yang dimaksud dengan keseimbangan di sini bukanlah kesamaan wujud sesuatu dan karakternya, tetapi yang dimaksud adalah bahwa hak-hak antara mereka itu saling mengganti dan melengkapi.

Sesuai dengan kedudukan masing-masing sebagai anggota keluarga, maka tidak ada suatu pekerjaan yang dilakukan oleh isteri untuk suaminya melainkan si suami juga harus melakukan sesuatu perbuatan yang seimbang untuk istrinya (Nawawi, 1993: 13-14).

Sedangkan menurut Mas’udi (2000: 51) bahwa keseimbangan suami isteri di hadapan Allah adalah ajaran yang bersifat qath’i (fundamental). Yakni bahwa derajat laki-laki dan perempuan tidak ditentukan secara apriori oleh jenis kelam1nnya melainkan ditentukan oleh amal atau ketakwaannya pada Allah SWT. Sementara itu ajaran-ajaran lain seperti soal waris, kesaksian, hak menikahi/menjatuhkan talak, semuanya itu ajaran-ajaran yang bersifat kontekstual, terkait dengan dimensi ruang dan waktu. Ajaran-ajaran itu besifat  zhanni, tidak mutlak, bisa terjadi modifikasi atau tetap dipertahankan sebagaimana bunyi harfiyahnya.

Memang yang dimaksud dengan kesetaraan di sini bukanlah menyamakan secara fisik antara laki-laki dan perempuan. Dan ini juga dibantah keras oleh kalangan feminis. Persamaan atau kesetaraan di sini adalah menyamakan hak dan kewajiban antara laki-laki dan perempuan di depan Allah SWT. Sebab ketidak-setaraan laki-laki dan perempuan dalam agama banyak diciptakan oleh konstruksi sosial kultural, bukan oleh ajaran agama itu sendiri. Allah SWT, sendiri menyatakan bahwa semua hamba Allah adalah setara dihadapan-Nya. Yang membedakan adalah ketakwaannya. Ketakwaan bukanlah istilah yang bias gender sebab semua orang diberi hak untuk mencapainya (Hasyim, 2001: 263).

Megawangi (1997: 46) berpendapat bahwa kesetaraan gender tidak bisa dilakukan sama rata 50/50, karena kenyataan membuktikan bahwa banyak perempuan yang tidak rela diperlakukan sama dengan laki-laki. Untuk itu lebih tepat kalau penerapan kesetaraan gender itu di-konteks-kan dengan masyarakat setempat. Kesetaraan kontekstual ini menurut Megawangi dapat mencapai keadilan gender. Hal ini disebutkan karena dalam memberikan sebuah keadilan tidak harus memberikan sama rata, karena masing-masing individu mempunyai spesifikasi masing-masing.

Megawangi sangat menghargai adanya perbedaan, di mana laki-laki dan perempuan mempunyai potensi kodrat yang berbeda dan menurutnya dari perbedaan itu dapat dibentuk jalinan relasi yang harmonis. Untuk itu Megawangi setuju adanya pembagian tugas, ini sebenarnya sudah dijelaskan dalam al-Qur’an surat an-Nisa ayat 34, dimana laki-laki adalah pemimpin karena mereka punya kelebihan di situ dan diwajibkan untuknya memberi nafkah keluarga.

Perempuan dalam pandangan Islam adalah manusia utuh dengan martabat yang sama mulianya dengan laki-laki, atau bahkan mungkin perempuan lebih mulia ketimbang laki-laki. Seperti contoh hadits tentang surga di bawah telapak kaki ibu (Mas’udi, 2000: 47).

Hal ini dibuktikan oleh sebuah ayat al-Qur’an yang mendeskripsikan asal diciptakannya manusia yaitu:

Wahai manusia bertaqwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakanmu dari nafs yang satu, juga yang darinya diciptakan pasangannya, lalu dari keduanya menyebar manusia laki-laki maupun perempuan yang sangat banyak.” (QS. Al-Nisa: 1)

Sekilas ayat ini mengisyaratkan bahwa manusia berasal dari seorang individu (Adam). Sebagaimana pendapat umum ahli tafsir, seperti al-Suyuthi, al-Baidhawi, Ibn Katsir dan al-Qurthubi mengartikan nafs dengan Adam. Bahkan seorang mufassir dari kalangan syi’ah mengklaim pendapat itu sebagai ijma’ seluruh ulama.

Dengan demikian, menjadi kukuh lah pandangan yang meng-sub-ordinasikan perempuan di bawah laki-laki. Akan tetapi, ulama mutakhir seperti Muhammad Abduh dan juga al-Qasimi berpendapat lain, bahwa yang dimaksud dengan nafs dalam konteks ayat tersebut bukan Adam, melainkan berarti jenis. Implikasinya, karena manusia laki-laki dan perempuan diciptakan dari jenis (bahan baku) yang sama, maka kedudukan mereka pun setara, tidak ada keunggulan apriori yang satu atas yang lainnya (Mas’udi, 2000: 48-49).

Intinya bahwa ukuran jenis, manusia setara sebagai mahluk Tuhan. Dengan demikian, salah kaprah ketika terjadi eksploitasi terhadap jenis manusia tertentu atas manusia yang lain. Bukankah Allah SWT. hanya memandang dan menghargai kemuliaan seseorang bukan berdasarkan ukuran fisik, akan tetapi atas ketakwaan dan pengabdiannya terhadap apa yang telah diperintahkan.

Para perempuan di zaman Nabi saw. menyadari benar kewajiban akan belajar, sehingga mereka memohon kepada Nabi agar beliau bersedia  menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka agar dapat menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu saja dikabulkan oleh Nabi Muhammad saw., Rasulullah saw. tidak  membatasi  kewajiban  belajar hanya kepada perempuan-perempuan merdeka (yang memiliki  status sosial  tinggi),  tetapi  juga  para budak dan mereka yang berstatus sosial rendah.  Karena itu sejarah  mencatat sekian banyak perempuan yang tadinya budak kemudian mencapai tingkat pendidikan yang sangat tinggi (Shihab, 2006: 1-2). Dengan demikian perempuan memiliki akses yang sama dengan laki-laki, salah satunya dalam bidang pendidikan.

Begitu pula dalam akses harta dan ekonomi, perempuan bebas mengakses keduanya berdasarkan kekuatan yang ia miliki. al-Qur’an memandang laki-laki memiliki kelebihan di bandingkan perempuan dalam hal karena mereka mampu mencari nafkah. Al-Qur’an memandang setting sosial saat itu, ketika kaum laki-laki sangat dominan dalam berbagai bidang kehidupan sosial, sehingga hal ini tidak sah untuk dilegitimasi sebagai payung hukum penguasaan laki-laki atas perempuan. 

Dengan demikian sangat tidak tepat jika kesimpulan tersebut masih dipakai dalam konteks kekinian. Karena perempuan saat ini setara dengan laki-laki, bahkan mampu bersaing dalam berbagai bidang.

Mernissi (1997:XII), dalam bukunya Beyond The Veil, menyatakan bahwa pada tingkatan spiritual dan intelektual, perempuan adalah sama dengan laki-laki. Perbedaan satu-satunya adalah perbedaan biologis. Benar bahwa al-Qur’an menyatakan adanya “kelebihan” laki-laki atas perempuan, tetapi kelebihan di sini terkait secara jelas (‘illat shorih) dengan nafkah sehingga bersifat “ekonomi”, dan tidak terkait sama sekali dengan martabat atau dimensi spiritual dan intelektual.

Menurut Megawangi (1997: 47), untuk mencapai keseimbangan hak dan kewajiban dalam keluarga perlu pembagian fungsional secara fitrah masing-masing. Secara adat, keluarga merupakan suatu kesatuan yang tercermin dalam fungsi sosial suami sebagai kepala keluarga, memberikan status sosial pada keluarga, memberikan nafkah dan memberikan identitas pada diri isteri dan anak-anaknya. Sedangkan isteri adalah kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga.

Dalam membentuk keluarga yang harmonis keseimbangan dalam keluarga harus diperlukan agar tidak ada pihak yang dirugikan, baik suami maupun isteri, karena dalam keluarga dibutuhkan saling hormat menghormati, saling sayang menyayangi dan saling pengertian antara suami dan isteri, sehingga suami maupun isteri bisa menjaga keharmonisan dalam keluarga. Ini sesuai dengan pandangan Freud (1997:14) bahwa manusia mempunyai kecenderungan untuk selalu menginginkan kesenangan dan mencari kenikmatan dan sebaliknya manusia menolak hal-hal yang tidak menyenangkan dan menyakitkan.


Secara psikologis perempuan (isteri) adalah mahluk yang lemah, sering kali isteri mengalami perasaan sedih dengan kecenderungan mudah “mengalirnya” air mata. Orang lain mungkin tidak mengerti mengapa sikap keramahan dan kesabaran tiba-tiba diselingi dengan ledakan emosional yakni, kemarahan atau tangisan yang tidak terduga sebelumnya, seolah-olah tanpa sebab dari lingkungan. 

Memang dalam hal ini sebabnya terletak dalam tubuh isteri itu sendiri, oleh karena itu keseimbangan dalam keluarga sangat perlu agar suami-isteri saling hormat menghormati dan saling sayang menyayangi. Dengan adanya keseimbangan dalam keluarga isteri tidak selalu dirugikan atau sebaliknya suami juga tidak dirugikan semua berjalan seimbang sesuai dengan kebutuhan masing-masing (Gunarso, 1999:85).

No comments:

Post a Comment