Dalam
kitab ‘Uqûd al-Lujjayn, kewajiban suami terhadap isteri mencakup perlakuan
baik, memberikan nafkah, maskawin dan pemberian lainnya, serta pengajaran
keagamaan seperti ibadah, haid, taat kepada suami, dan tidak melakukan hal-hal yang
maksiat. Semua harus dipenuhi oleh laki-laki, apabila tidak dipenuhi
kewajibannya sampai meninggal, maka ia akan menghadap Allah dalam keadaan
menanggung perz1nahan (Nawawi, 1993: 14).
Suami
berkewajiban untuk mempergauli isteri dengan ma’ruf, yang dimaksud dengan
ma’ruf adalah kebalikan dari munkar, yakni perbuatan yang baik menurut
pandangan akal atau dalam bahasa Imam al-Nawawi baik menurut syara’, yaitu
perbuatan sikap dan tutur kata. Suami diperintahkan Nabi untuk berhati lembut
dan menunjukan perilaku yang baik terhadap isterinya, tidak mudah marah bila
disakiti hatinya, menyenangkan hati isteri dengan menuruti kehendaknya dalam
hal kebaikan (Nawawi, 1993: 14-15).
Sedangkan
mengenai hak suami dalam hal biologis yang menyatakan, isteri jangan menolak
permintaan suami untuk melakukan hubungan b1ologis, sekalipun di atas punggung
unta. Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa permintaan tersebut wajib dilakukan isteri bila isteri dalam
keadaan sehat, baik jasmani maupun rohani serta tidak dalam masa haid atau
nifas, dan tidak melanggar syara’. Namun bila isteri dalam keadaan sakit, dalam
keadaan terlarang, karena isteri sedang haid atau nifas, maka isteri tidak
wajib melayani suami (Nawawi, 1993: 13-14).
Di
samping berkewajiban memp3rgauli isteri dengan baik, suami mempunyai kewajiban
memberikan nafkah kepada isterinya. Nafkah mencakup pangan, sandang dan papan.
Hak seorang isteri untuk mendapatkan nafkah dari suaminya dapat dimengerti,
betapa besar tuntutan dan masalah yang harus dipikul oleh isteri ketika
mengandung dan melahirkan. Dalam situasi demikian isteri dituntut untuk
mengurus kekuatan fisik, stamina, kecerdasan, dan komitmen diri. Suami dibebani
tanggung jawab memberi nafkah dalam rangka menciptakan keseimbangan, keadilan
dan menghindari penindasan (Nawawi, 1993: 15).
Kewajiban
suami yang lain menurut Imam al-Nawawi adalah memberikan pengajaran kepada
isteri dalam hal keagamaan, diantaranya hukum-hukum bersuci, ibadah wajib dan
sunnah dan budi pekerti yang baik. Pengajaran keagamaan ini merupakan
pengetahuan dasar dan pengetahuan minimal yang harus diketahui oleh suami
maupun isteri.
Namun
yang menjadi permasalahan jika suami benar-benar mempunyai kekurangan
pengetahuan mengenai hal keagamaan dibanding isteri, maka fungsi laki-laki
sebagai pemimpin wajib mengajarkan hal keagamaan terhadap isteri tidaklah
tepat. Jadi, yang ditekankan di sini adalah fungsionalisasi antara pemimpin dan
yang dipimpin mempunyai fleksibilitas yang terikat dengan kondisi kemampuan
keagamaan suami isteri, sehingga tidak terjebak pada adanya larangan bagi
isteri untuk keluar rumah dalam rangka belajar (Nawawi, 1993: 27).
Sebagai
manusia pada dasarnya bobot hak mereka tentunya sama, dengan demikian bobot
kewajibannya pun sama dan sebagai suami-isteri pun tidak ada pihak yang secara
apriori bisa di bilang lebih berat kewajiban atau haknya dari yang lain.
Anggapan bahwa beban suami (beban produksi atau mencari nafkah) lebih berat
dari beban isteri (beban reproduksi: mengandung, melahirkan dan menyusui) tidak
serta merata bisa kita terima. Anggapan seperti itu sama saja dengan mengatakan
‘uang’ lebih berharga ketimbang ‘anak/manusia’ (Mas’udi, 2000: 197).
Tidak
bisa dipungkiri bahwa keluarga merupakan wahana pendidikan dan pembentukan
moral anak-anak. Tanggung jawab ini dibebankan pada isteri, tentunya karena
potensi yang melekat pada diri sang isteri. Isteri yang sepenuhnya sebagai ibu
rumah tangga adalah pewaris nilai-nilai moral yang dimilikinya kepada
anak-anaknya. Selain sebagai ibu pendidik bagi anaknya, isteri juga menjadi
isteri yang dapat membantu suaminya ketika dalam kesulitan. Adapun pekerjaan
rumah tangga juga merupakan kelebihan yang luar biasa, di samping dapat memenaj
uang atau harta yang dimiliki suami, isteri juga dapat menjaga hubungan atau
pergaulan sosial dan mengembangkan hubungan silaturrahmi antar keluarga dan
sanak famili (Basri, 1997: 122-127).
Dalam
kehidupan berkeluarga, porsi tugas dan tanggung jawab masing-masing suami
isteri hendaknya dibagi secara adil, yang dimaksudkan dengan adil di sini
tidaklah mesti berarti tugas dan tanggung jawab keduanya sama persis, melainkan
dibagi secara proporsional, tergantung dari kesepakatan bersama. Pembagian
kerja, baik di dalam maupun di luar rumah tangga, hendaknya memperhatikan
keselamatan isteri. Tugas dan tanggung jawab itu hendaknya dipikul berdua
secara adil sesuai dengan kesepakatan bersama (Mulia, 2005: 229).
Menurut
Ibn Hazm yang dikutip oleh Quraisy Shihab, menyatakan bahwa perempuan pada
dasarnya tidak berkewajiban melayani suami dalam hal menyediakan makanan,
menjahit, dan sebagainya. Justru sang suamilah yang berkewajiban menyediakan
pakaian jadi, dan makanan yang siap dimakan untuk isteri dan anak-anaknya
(Shihab, 2006: 3).
Walaupun
diakui dalam kenyataan terdapat isteri-isteri yang memiliki kemampuan berpikir
dan materi yang melebihi kemampuan suami, akan tetapi semua itu merupakan kasus
yang tidak dapat dijadikan dasar untuk menetapkan suatu kaidah yang bersifat
umum. Sekali lagi pembagian kerja atau tugas ini tidak membebankan
masing-masing pasangan, paling tidak dari segi kewajiban moral untuk membantu pasangannya
dalam hal yang berkaitan dengan kewajiban masing-masing.
Dalam
hal ini Abu Tsaur, seorang pakar hukum Islam, sebagaimana dikutip oleh Quraisy
Shihab, menjelaskan bahwa seorang isteri hendaknya membantu suaminya dalam
segala hal. Salah satu alasan yang dikemukakannya adalah Asma, puteri Khalifah
Abu Bakar, menjelaskan bahwasanya ia dibantu oleh suaminya dalam mengurus rumah
tangga, seperti dalam memelihara kuda suaminya, menyabit rumput, menanam benih
di kebun, dan sebagainya (Shihab, 2006: 4).
Lebih
jelasnya, bahwa Rasulullah saw. menegaskan bahwa seorang isteri memimpin rumah
tangga dan bertanggung jawab atas keuangan suaminya. Pertanggung-jawaban
tersebut terlihat dalam tugas-tugas yang harus dipenuhi, serta peran yang
diemban saat memelihara rumah tangga, baik dari segi kebersihan, keserasian
tata ruang, pengaturan menu makanan, maupun pada keseimbangan anggaran. Bahkan
isteri ikut bertanggung jawab bersama suami untuk menciptakan ketenangan bagi seluruh
anggota keluarga. Misalnya, untuk tidak menerima tamu laki-laki atau perempuan
yang tidak disenangi oleh suami. Pada tugas-tugas rumah tangga inilah
Rasulullah saw. membenarkan seorang isteri melayani bersama suaminya tamu pria
yang mengunjunginya (Shihab, 2006: 4).
Hak
dan kewajiban suami isteri yang berupa tugas-tugas dan hal-hal yang harus
keduanya terima merupakan bentuk keseimbangan berdasarkan fungsional dalam
keluarga. Suami-isteri berperan sesuai dengan proporsinya masing-masing yang
telah digariskan, disepakati dan sesuai dengan tuntutan keadaan keluarga.
Adakalanya isteri yang sangat berperan dalam menafkahi keluarga dibandingkan
dengan suami. Hal ini mungkin karena isteri lebih berpendidikan dan memiliki
kelebihan dalam ekonomi. Dengan demikian dimensi peran suami-isteri berkembang,
tidak mesti dengan tuntunan atau norma yang ada dan diakui dalam lingkungan masyarakat.
Pembagian
peran ini tidak menjadikan kedudukan suami-isteri secara struktural terjadi
seperti anak tangga, ada yang tinggi dan rendah. Akan tetapi justru dengan
peran masing-masing tersebut menjadikan keluarga seimbang. Jika suami-isteri
memiliki tugas yang sama, tentu saja ini akan mengalami tumpang tindih peran
dan over acting. Sehingga dinamika
keluarga tersendat, tidak berjalan sesuai dengan tujuan pernikahan itu sendiri.
Terlebih lagi, bahwa ketika laki-laki dan perempuan melakukan akan nikah,
berarti mereka telah mengetahui hak dan kewajibannya masing-masing.
Menurut
Mazhahiri (2001: 58), ketika ia menginterpretasikan ayat “Sesungguhnya Allah
memerintahkan (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan” (QS. al-Nahl: 90),
menurutnya diperlukan persahabatan atau masing-masing berperan layaknya seperti
teman yang baik dan penuh kasih sayang bagi satu sama lainnya.
Secara umum,
jika yang berlaku di setiap tempat, terutama di lingkungan rumah tangga,
hanyalah hukum secara mutlak, maka tidak akan memberikan hasil sesuai dengan
yang diinginkan. Sebagaimana juga emosi dan perasaan semata tidak boleh dijadikan
pegangan. Oleh karena itu faktor kerjasama antara suami-isteri dalam membina
rumah tangga amat diperlukan. Mereka berdua bukan hanya memikirkan dan
melaksanakan perannya masing-masing, akan tetapi juga ikut membantu dan
menolong pasangannya masing-masing.
Dalam
kehidupan berkeluarga harus ada hak dan kewajiban, sebab pola hubungan yang
dibangun atas dasar pernikahan menimbulkan adanya tanggung jawab. Seorang
laki-laki ketika menikahi isterinya berarti bersedia bertanggung jawab atas
berbagai kebutuhannya, sebagaimana kebutuhan tersebut telah dipenuhi kedua
orang tuanya sebelum ia dinikahi.
Tanggung
jawab ini lah yang kemudian menjadi kewajiban seorang laki-laki (suami) dalam
keluarga, karena setelah ia menikahi perempuan yang dipilihnya, maka peran ayah
untuk memberikan nafkah, mendidik dan memperlakukan dengan baik beralih menjadi
tanggung jawabnya. Inilah konsepsi Islam yang dimaksudkan Imam al-Nawawi. Oleh
sebab itu, menurut Imam al-Nawawi, seorang istri wajib mentaati suami, karena suami
memberikan nafkah kepadanya, sebagaimana ia mentaati kedua orang tuanya
sebelumnya.
Menurut
Maslow, yang dikutip Corey (1997: 53), kebutuhan-kebutuhan dalam manusia itu
bertahap, yang berarti suatu kebutuhan tertentu akan dirasakan bila kebutuhan
sebelumnya telah terpenuhi. Dalam berumah tangga Suami isteri harus sesuai
dalam melaksanakan hak dan kewajibannya. Jangan sampai hak dan kewajiban
masing-masing tidak terpenuhi. Sebagai suami harus menyadari hak-hak isteri
begitu pula isteri harus menyadari hak-hak suami.
Dalam
pandangan psikologi manusia mempunyai beberapa kebutuhan dasar yang harus
dipenuhi demi kelangsungan hidupnya. Di samping kebutuhan dasar terdapat
kebutuhan psikis yang perlu dipuaskan atau dipenuhi supaya kehidupannya
berlangsung dengan tenang dan tentram. Kebutuhan psikis meliputi kebutuhan akan
perasaan aman dan tertampung, kebutuhan akan perilaku emosionil dan afeksionil
dan kebutuhan-kebutuhan lain yang bisa memberikan kepuasan secara psikis.
Dengan
demikian dalam keluarga dibutuhkan hak dan kewajiban agar suami-isteri saling
mengerti, memahami dan memenuhi kebutuhan masing-masing, sehingga keluarga bisa
berjalan harmonis tanpa ada masalah (Gunarso, 1999: 20-21).
No comments:
Post a Comment