Imam
al-Nawawi dalam pemikirannya secara terperinci menguraikan berbagai alasan
dan sekaligus memberikan argumentasi terhadap
kepemimpinan suami dalam rumah tangga. Bahkan secara jelas Imam al-Nawawi
memberikan penjelasan kata pemimpin dengan kata,
“Harus dapat menguasai
dan mengurus keperluan isteri termasuk mendidik budi pekerti mereka”.
Alasan
yang dikemukakan dalam kitab ‘Uqûd al-Lujjayn bahwa suami memberikan
harta kepada isteri dalam pernikahan termasuk mahar dan nafkah. Disamping itu
dijelaskan kelebihan laki-laki atas perempuan dari segi hakiki dan segi syar’i
(Nawawi, 1993: 6).
Dalam
hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, Rasulullah Saw telah bersabda
:
“Setiap kamu adalah
pemimpin yang akan dimintai pertanggung-jawaban atas kepemimpinannya. Seorang
imam (penguasa) adalah pemimpin yang akan dimintai pertanggungjawaban atas
kepemimpinannya. Seorang suami menjadi pemimpin bagi keluarga, dan akan
dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang isteri menjadi pemimpin
di rumah suami, dan akan dimintai pertanggung-jawaban atas kepemimpinannya.
Seorang pelayan adalah pemimpin harta tuannya, dan akan dimintai
pertanggungjawaban atas kepemimpinannya. Seorang anak menjadi pemimpin atas
harta orang tuanya, dan akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.
Maka masing-masing kamu adalah pemimpin, yang akan dimintai pertanggungjawaban
atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Turmudzi).
Dari
hadits tersebut sangat jelas bahwa di antara suami isteri mempunyai kedudukan
yang sama untuk menjadi pemimpin. Hanya mereka dibedakan pada status fungsional
saja. Suami mencari nafkah dan memberikan keperluan secara materiil sedangkan
isteri menjadi pemimpin dalam psikis, kasih sayang dan emosionalitasnya dalam
rumah tangga.
Meskipun
demikian Imam al-Nawawi mengakui bahwa suami memiliki satu tingkatan kelebihan
daripada istri dalam keluarga. Kelebihan di sini bukan berarti suami berhak
melakukan sesuatu apapun kepada istri. Melainkan suami wajib memperlakukan
istri dengan baik dan tidak boleh menyakitinya dan harus memberinya nafkah
sesuai dengan kemampuannya. Karena dalam keluarga harus dibutuhkan seorang pemimpin
yang bisa mengatur dan menjaga keluarganya agar terhindar dari masalah-masalah
yang justru menimbulkan konflik dalam keluarga.
Imam
al-Nawawi di sisi lain juga memberikan keterangan dan indikasi untuk mengakui perlu
adanya keseimbangan antara suami istri. Bila dilihat dari sisi ini sangatlah
jelas bahwa diantara suami istri mempunyai kedudukan yang seimbang untuk
menjadi pemimpin. Hanya mereka dibedakan pada status fungsional saja (Nawawi,
1993: 28-29).
Menurut
Muhammad Ali al-Shabuni dan Thaba’thaba’i, bahwa kepemimpinan suami isteri
dalam rumah tangga karena kelebihan intelektual dan kemampuan mengelola rumah
tangga, yang mengakibatkan suami lebih tahan dan tabah menghadapi tantangan dan
kesusahan. Sementara kehidupan isteri adalah kehidupan emosional yang dibangun
di atas sifat kelembutan dan kehalusan (Ilyas, 1999: 123).
Berbeda
dengan pendapat para mufassir, Ali (1994: 62) dalam memahami surat al-Nisa : 34 dengan mengaitkan dengan konteks sosial pada waktu ayat tersebut
diturunkan. Pandangan yang semata-mata teologis tidak bisa dipakai sebagai
sandaran, tetapi juga harus menggunakan pandangan sosio-teologis.
Menurut Ali,
keunggulan suami adalah keunggulan fungsional, bukan keunggulan jenis kelamin.
Di mana pada waktu itu, suami bertugas mencari nafkah dan isteri menjalankan tugas
domestiknya dalam rumah tangga, dan fungsi sosial antara suami dan isteri
adalah seimbang.
Menurut
Shihab (2006: 3), bahwa kepemimpinan untuk setiap unit merupakan hal yang
mutlak, lebih-lebih bagi setiap keluarga, karena mereka selalu bersama, serta
merasa memiliki pasangan dan keluarga. Persoalan yang dihadapi suami-isteri,
muncul dari sikap jiwa manusia yang tercermin dari keceriaan atau cemberutnya
wajah. Sehingga persesuaian dan perselisihan dapat muncul seketika, tetapi
boleh juga sirna seketika dan di mana pun. Kondisi seperti ini membutuhkan
adanya seorang pemimpin.
Hak
kepemimpinan menurut al-Qur’an dibebankan kepada suami. Pembebanan ini
disebabkan oleh dua hal, yaitu:
a.
Adanya sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih menunjang suksesnya
kepemimpinan rumah tangga jika dibandingkan dengan isteri.
b.
Adanya kewajiban memberi nafkah kepada isteri dan anggota keluarganya.
Dengan
demikian kepemimpinan suami bersifat fungsional, bukan struktural, atau bahkan
jika dalam keluarga isteri memiliki kelebihan dari pada suami, bisa menjadi
pemimpin dalam bidang-bidang tertentu di lingkungan keluarga. Implikasinya,
hakikat martabat suami-isteri tetap sejajar, akan tetapi di-pilah sesuai dengan
tugas dan perannya masing-masing. Begitu pula dalam shalat, yang paling berhak
menjadi imam adalah suami. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan isteri lebih
layak menjadi imam dalam shalat jika memang keilmuan dan daya baca isteri lebih
fasih dari pada suami.
Mungkin
dunia, terutama umat Islam masih kaget dan bertanya-tanya akan kasus seorang
perempuan di Amerika mengimami shalat berjamaah. Jika masih merujuk pada
penafsiran dan para ahli fiqh klasik, bahwa dalam mengimami shalat berjamaah
kaum perempuan tidak boleh mengimami laki-laki.
Kalau memang demikian, lalu
alasannya kenapa itu yang masih menjadi persoalan besar. Jika dikarenakan
laki-laki memiliki kelebihan sebagaimana yang telah diutarakan sebelumnya,
serta suara perempuan itu dapat menimbulkan fitnah, sehingga shalat berjamaah
yang didominasi oleh kaum laki-laki hilang kekhusyu’annya.
Jika hal itu yang menjadi
alasan mendasar, maka kurang bijak jika perempuan lebih unggul dan kaum
laki-laki sendiri tidak mampu memanaj fikiran dan hawa nafsu kotor terhadap
perempuan. Bukankah seimbang ketika kaum laki-laki menemukan cara yang bijak
dalam menghadapi perempuan, seperti ada penghalang antara imam dan makmum.
Seharusnya shalat untuk beribadah kepada Allah dengan penuh kekhusyu’an, bukan
tergoda bacaan imam.
Secara
umum hakikat kepemimpinan adalah sebagai berikut,
Pertama,
merupakan tanggung jawab, bukan keistimewaan. Kedua, pengorbanan, bukan
fasilitas. Ketiga, kerja keras, bukan santai. Keempat, melayani,
bukan sewenang-wenang. Kelima, keteladanan dan pelopor, bukan pengekor
(Suki, 2006: 1-2).
Pendapat
ini semakin menegaskan bagaimana peran sebagai seorang pemimpin, bukan menjadi
penguasa yang “membabi-buta” melakukan apa saja yang dikehendaki. Demikian juga
dalam keluarga, seorang suami “haram” bertindak superior terhadap isteri,
terlebih lagi mengeksploitasi isteri sesuai kehendak semena-mena suami.
Dalam
sebuah keluarga harus ada kepemimpinan, karena keluarga adalah cerminan negara
terkecil, sehingga keluarga membutuhkan pemimpin yang mengatur kehidupan
keluarga, bila dalam keluarga tidak ada yang menjadi pemimpin maka akan terjadi
kekacauan dalam keluarga, semua berjalan sendiri-sendiri.
Suami tidak mau
diatur dan tidak ada yang mengatur. Meskipun suami menjadi pemimpin tapi suami
tidak diperbolehkan semena-mena terhadap isteri dan bertindak kasar kepada anak-anaknya.
Justru sebagai seorang pemimpin suami harus bisa menjadi panutan yang baik bagi
keluarganya suami harus bisa memberikan rasa aman, rasa tentram dan sayang
terhadap isteri maupun anak-anaknya.
Pada
umumnya peranan suami-isteri sudah diatur sedemikian rupa, sehingga isteri
lebih banyak berhubungan dengan anak dan mempunyai kesibukan rumah tangga di
dalam rumah. sebaliknya suami lebih banyak melakukan kegiatan di luar rumah,
karena secara psikis isteri memiliki jiwa
yang sabar dan tenang dalam menghadapi anak-anaknya. Sedangkan suami memiliki
jiwa yang kuat sehingga tahan menghadapi persoalan-persoalan di luar rumah
(Gunarso, 1999: 19).
No comments:
Post a Comment