Hal
paling penting yang harus digarisbawahi dalam membentuk keluarga sakinah, dan
ini menjadi pembuka dalam kitab ‘Uqûd al-Lujjayn al-Nawawi adalah bahwa suami
harus berlaku baik kepada isteri. Seorang isteri mempunyai hak, yaitu harus
diperlakukan baik seimbang dengan besarnya kewajiban yang dipikulnya (Forum
Kajian Kitab Kuning, 2001, 11).
Sedangkan
keluarga sakinah dalam bimbingan dan konseling keluarga Islam yang dalam
istilah Al-Qur’an disebut sebagai keluarga yang diliputi rasa cinta mencintai (mawaddah)
dan kasih sayang (sakinah), maka keluarga harus dapat memenuhi lima pondasi
yang harus dibina atau diciptakan dilingkungan keluarga, kelima pondasi itu
adalah:
Pertama, pembinaan penghayatan agama Islam. Kedua,
pembinaan saling menghormati. Ketiga, pembinaan kemauan berusaha. Keempat,
pembinaan sikap hidup efisien. Kelima, pembinaan sikap suka mawas diri
(Musnamar, 1992: 63-68).
Hubungan
dalam keluarga harmonis, serasi, merupakan unsur mutlak terciptanya kebahagiaan
hidup. Hubungan harmonis akan tercapai manakala dalam keluarga dikembangkan,
dibina, sikap saling menghormati, dalam arti satu sama lain memberikan
penghargaan (respek) sesuai dengan status dan kedudukannya masing-masing
(Musnamar, 1992: 62).
Al-Nawawi
mengistilahkan perlakuan baik itu dengan “al-Ma’ruf”, menyunting kata-kata yang
dipakai dalam Surat al-Nisa: 19 dan
Surat al-Baqarah: 228. Al-Nawawi lebih
lanjut menjelaskan, maksud al-Ma’ruf adalah berlaku adil, mengatur waktu (jika
dalam masalah poligami), memberi nafkah dan berkata lemah lembut kepada isteri.
Sehingga dalam hal ini dapat dilihat bahwa al-Nawawi lebih menekankan perlakuan
baik terhadap isteri sebagai kunci awal membentuk rumah tangga yang sakinah mawaddah wa rahmah (Forum Kajian
Kitab Kuning, 2001, 11).
Selanjutnya Imam al-Nawawi menekankan
berjalannya konsepsi hak dan kewajiban yang dimiliki setiap unsur dalam
keluarga dalam rangka membentuk keluarga sakinah, karena menurutnya bila
masing-masing individu dalam keluarga melaksanakan hak dan kewajibannya sesuai
dengan posisinya, yaitu suami sebagai pemimpin keluarga, isteri sebagai
pemimpin di rumah suami, maka akan tercipta keluarga sakinah. Bagi Nawawi,
kewajiban suami adalah hak isteri, sebaliknya kewajiban isteri merupakan hak
suami (Nawawi, 1993:29).
Kewajiban
suami yang dijelaskan al-Nawawi meliputi kewajiban untuk memimpin keluarga,
isteri dan anak-anaknya. Lebih detailnya, seorang suami berkewajiban memberikan
nafkah, pakaian, perumahan, memelihara, mengasuh, mendidik, serta berbuat baik
terhadap anggota keluarga. Namun, al-Nawawi juga menambahkan, meskipun suami
merupakan pemimpin keluarga, ia dilarang bersikap kasar dan menyakiti isteri
dan anak-anaknya. Apabila suami memenuhi kewajibannya tersebut, maka salah satu
unsur terwujudnya keluarga sakinah telah terwujud, namun bila suami tidak memenuhi
kewajiban yang menjadi hak keluarganya itu, berarti suami telah berbuat zalim
kepada anggota keluarga (Nawawi, 1993: 29).
Isteri,
di sisi lain, merupakan pemimpin di rumah suami. Artinya isteri harus mampu
mengatur kehidupan rumah tangga dengan baik, harus bersikap baik terhadap
suami, mentaati suami dalam hal kebaikan, harus dapat menarik simpati dan
kepercayaan suami, menjaga harta suami dan memelihara anak-anaknya (Nawawi,
1993:29). Jika isteri telah memenuhi kewajibannya, yang merupakan hak suami dan
keluarganya, maka pra syarat kedua untuk mewujudkan keluarga sakinah juga telah
terpenuhi.
Menurut
konsepsi al-Nawawi, apabila dalam sebuah keluarga setiap individu memenuhi hak
dan kewajiban masing-masing, maka akan tercipta keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Apabila salah satu pihak mengabaikan
kewajibannya, dalam konteks hubungan suami isteri, maka keharmonisan keluarga
tentu akan terganggu.
Banyaknya
kasus-kasus kekerasan, perceraian dan konflik rumah tangga yang terjadi di
zaman sekarang umumnya disebabkan salah satu atau pun kedua individu dalam
sebuah keluarga mengabaikan hak dan kewajibannya. Misalnya, suami yang tidak
mau memberikan nafkah keluarganya, padahal itu telah menjadi kewajibannya, atau
isteri yang mengabaikan suami dan keluarganya dan mementingkan dirinya sendiri,
padahal suami maupun keluarganya mempunyai hak atasnya.
Al-Nawawi
tidak mencatumkan suatu ketentuan bahwa isteri harus berada di rumah dan tidak
boleh berperan dalam politik, ekonomi dan bidang-bidang lainnya di luar rumah.
Artinya, al-Nawawi hanya memfokuskan diri dalam pembahasan pola hubungan suami
isteri dalam rumah tangga. Dari sisi ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa
seorang isteri dapat saja berperan di bidang-bidang tertentu di luar rumah
suaminya asalkan tidak mengabaikan kewajibannya terhadap suami dan keluarganya
serta dengan ijin dari suaminya, karena kewajibannya untuk selalu mentaati
perintahnya.
Imam
al-Nawawi melarang seorang perempuan keluar rumah dan menganjurkan untuk shalat
di rumah. Hal ini diterjemahkannya dalam dua hal.
Pertama,
keluar rumah dilarang jika dengan bersolek, berhias diri, dan membuka aurat,
yang dapat menimbulkan kejahatan terhadapnya. Tentu saja hal ini dilakukan
al-Nawawi sebagai langkah preventif
untuk melindungi perempuan dari kejahatan. Al-Nawawi tidak melarang seorang
perempuan keluar rumah, jika ia memang memiliki tujuan tertentu dan berupaya
untuk melindungi dirinya, yakni dengan menutup aurat dan tidak berhias
berlebihan.
Kedua,
anjuran untuk shalat di rumah tidak dimaknai secara eksplisit. Makna anjuran
tersebut ialah anjuran untuk shalat di tempat yang lebih tertutup dan membatasinya
dari pandangan laki-laki, sebab hal itu akan menjauhkan timbulnya fitnah
terhadap dirinya.
Kekerasan
dalam rumah tangga dalam bentuk apa pun tidak bisa dibiarkan, karena itu perlu
pemahaman semua pihak, bahwa laki maupun perempuan punya hak dan tanggung jawab
bersama mengatur rumah tangga dan membangun peradaban manusia. Karenanya,
membebani isteri dengan tugas-tugas yang bisa dilakukan bersama (suami) adalah
kurang bijaksana, perwujudan marjinalisasi perempuan, dan potensial
meningkatkan kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Apabila
setiap anggota keluarga menerapkan keseimbangan hak dan kewajiban suami isteri seperti yang dikemukakan oleh
Imam al-Nawawi maka kejadian-kejadian yang terjadi dalam rumah tangga tidak bakal
terjadi dalam keluarga. Karena dalam pemikiran Imam al-Nawawi suami harus bisa berbuat
baik terhadap isteri, tidak boleh menyakiti isteri, apalagi sampai mengakibatkan
isteri terluka. Bila dalam keluarga isteri tidak mentaati suami atau melakukan
pembangkangan (nusyuz) suami diwajibkan menasehati isteri, yakni dengan
mengingatkan serta menakut-nakuti kepada isteri, bahwa siksaan Allah akan
ditimpakan atas dirinya, lantaran kufur kepada suami. Nasehat itu jangan
disertai dengan mendiamkan serta memukulnya, apabila isteri mengemukakan
alasannya, atau bertaubat (Nawawi, 1993:35).
Apabila
dengan nasehat isteri masih tetap melakukan
nusyuz, maka menurut Imam
al-Nawawi suami diperintahkan untuk meninggalkan isteri dari tempat tidur.
Karena dengan memisahkan diri dari tempat tidur akan memberikan dampak yang
jelas dalam mendidik para isteri. Bila masih melakukan nusyuz, langkah terakhir adalah dengan memukul,
diperbolehkan memukul isteri bila memberikan dampak manfaat bagi isteri dan
untuk kelangsungan dalam rumah tangga. Yang dimaksud memukul di sini bukan asal
pukul namun ada aturan-aturannya, yakni pada anggota tubuh selain muka. Dengan
catatan pukulan tersebut tidak menyebabkan cidera atau kerusakan pada anggota
tubuh dan tidak boleh menggunakan alat yang keras. Namun, alangkah lebih baik
memberikan maaf kepada isteri (Nawawi, 1993: 36-37).
Menurut
Imam al-Nawawi jika isteri mentaati suami, maka jangan kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Dikhawatirkan isteri akan melakukan pembangkanngan
terhadap suami (nusyuz). Untuk menyelesaikan masalah dalam rumah tangga
terutama isteri yang melakukan nusyuz, harus dimulai dengan memberikan nasehat.
Bila nasehat tidak bermanfaat, barulah dipisah dari tempat tidur. Bila masih
juga membangkang, maka barulah dengan pukulan yang tidak meninggalkan bekas dan
tidak mengakibatkan cidera atau kerusakan pada anggota tubuh. Bila cara yang
pertama telah bermanfaat, janganlah melakukan cara yang kedua, apalagi cara
yang ketiga.
Jadi,
kalau isteri telah kembali taat pada suami dan telah sesuai dengan ajaran agama
Islam, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk memukulnya (Nawawi, 1993:
37).
No comments:
Post a Comment