MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH (II)



Dalam membangun keluarga sakinah, seperti yang dikatakan pepatah “bagaikan menumpang kapal di laut yang luas”, yang mana di dalam laut tidak selamanya tenang tetapi juga ada ombak, badai dan bencana lain yang akan menenggelamkan kapal. Tentunya di dalam kapal diperlukan nahkoda yang baik untuk memelihara keberadaan kapal dan mewaspadai terhadap kemungkinan rusaknya kapal. Dengan begitu akan terjadi keharmonisan dalam komunitas kapal tersebut.

Pembentukan keluarga sakinah dalam Bimbingan Konseling dan Keluarga Islam yang dalam istilah Al-Qur’an disebut sebagai keluarga yang diliputi rasa cinta mencintai (mawaddah) dan kasih sayang (sakinah), maka keluarga harus dapat memenuhi lima pondasi yang harus dibina atau diciptakan dilingkungan keluarga, kelima pondasi itu adalah: Pertama, pembinaan penghayatan agama Islam. Kedua, pembinaan saling menghormati. Ketiga, pembinaan kemauan berusaha. Keempat, pembinaan sikap hidup efisien. Kelima, pembinaan sikap suka mawas diri (Musnamar, 1992: 63-68).

Hubungan dalam keluarga harmonis, serasi, merupakan unsur mutlak terciptanya kebahagiaan hidup. Hubungan harmonis akan tercapai manakala dalam keluarga dikembangkan, dibina, sikap saling menghormati, dalam arti satu sama lain memberikan penghargaan (respek) sesuai dengan status dan kedudukannya masing-masing (Musnamar, 1992: 62). 

Bila dilihat dari penjelasan tersebut mengenai hubungan keluarga yang harmonis menurut pandangan Bimbingan dan konseling Keluarga Islam, maka sesuai dengan konsep yang ditawarkan oleh Imam al-Nawawi yaitu adanya keseimbangan hak dan kewajiban suami isteri sesuai dengan kedudukan masing-masing dalam keluarga, serta sikap saling menyayangi dan hormat menghormati antar anggota keluarga. 

Meskipun Imam al-Nawawi dalam pemikirannya mengatakan bahwa suami berada satu tingkatan di atas isteri, bukan berarti suami berhak melakukan semena-mena terhadap isteri. Dalam penerapannya justru Imam al-Nawawi mewajibkan suami untuk bersikap adil dan lemah lembut terhadap isterinya. Suami harus bisa memenuhi hak-hak isteri dan isteri pun harus memenuhi hak-hak suami. Dari sini, sangat jelas bahwa diantara suami dan isteri mempunyai kedudukan yang seimbang untuk menjadi pemimpin dalam rumah tangga. Hanya mereka dibedakan pada status fungsional saja. Suami mencari nafkah dan memberi keperluan secara materiil sedangkan isteri menjadi pemimpin dalam kerangka psikis, kasih sayang dan emosionalitasnya dalam keluarga.

Apabila semua ini bisa kita terapkan dengan baik dalam kehidupan berumah tangga, maka kita akan memiliki keluarga yang  sakinah mawaddah wa rahmah, sehingga keluarga kita bisa mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat. Dan ini semua sesuai dengan tujuan Bimbingan dan Konseling Keluarga Islam yaitu “membantu individu mewujudkan dirinya sebagai manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan di akhirat”  (Faqih, 2001: 35).

Menurut hemat penulis, karena hubungan suami isteri dalam keluarga bukan penindas atau tertindas tetapi adalah relasi antara suami isteri, maka tidak ada salahnya jika suami dan isteri menyadari dan saling menutupi kekurangan masing-masing individu, saling menghormati dan berkomunikasi setiap ada permasalahan dalam keluarga sehingga akan tercipta keluarga yang harmonis dan bahagia, sakinah, mawaddah wa rahmah yang dicita-citakan oleh semua keluarga Islam.

Hubungan antara suami isteri tidak dapat digambarkan hanya sebatas hubungan hak dan kewajiban. Karena apabila demikian, maka tidak akan terjadi keharmonisan dalam rumah tangga, dan sangat mungkin sebuah rumah tangga tidak akan langgeng bila hanya didasari dengan ikatan hak dan kewajiban saja. Seorang suami tidak akan punya belas kasih terhadap isterinya saat sang isteri tidak dapat memenuhi kewajibannya terhadap suami, demikian pula sebaliknya, apabila pola hubungan hanya didasari hak dan kewajiban, keduanya akan selalu menuntut pihak yang lain, dan akan sulit tercipta hubungan harmonis, mawaddah wa rahmah dalam keluarga.

 Begitu pula, jika hubungan hanya berdasarkan emosi dan perasaan semata, tanpa adanya batasan tentang hak dan kewajiban. Pola hubungan seperti ini tidak dapat dijadikan pegangan, karena setiap pihak akan cenderung mengabaikan tugas-tugasnya dalam keluarga untuk menciptakan sebuah keluarga yang harmonis. Idealnya, pola hubungan antara suami isteri, selain didasari dengan ketentuan hak dan kewajiban juga harus didasari oleh rasa kasih sayang dan kerjasama antara keduanya. Sehingga dalam membina keluarga ada saat-saat dimana kerjasama harus lebih ditonjolkan dari pada hak dan kewajiban, dan ada saat-saat dimana pola hubungan hak dan kewajiban yang dikedepankan dari pada perasan dan emosi demi terwujudnya hubungan suami isteri yang sakinah, mawaddah wa rahmah.

Dalam keluarga, sebaiknya sebuah keputusan diambil setelah melakukan musyawarah. Forum musyawarah menjadi penting dalam keluarga, karena berbagai keputusan yang diambil melalui jalur musyawarah dapat dipertanggungjawabkan bersama. Selain itu, dengan bermusyawarah tidak terjadi sikap saling mengabaikan akan tetapi setiap orang dalam keluarga akan merasa dihargai, didengar dan dihormati dalam keluarga.

Dalam hal penolakan isteri terhadap ajakan suami untuk berhubungan, menurut Ibn Hajar seperti yang dikutip oleh Kodir (2005: 3), hanya penolakan yang mengakibatkan kemarahan suami yang dianggap berdosa, karena hubungan int1m adalah hak suami. Ketika suami merelakan dan memaafkan maka penolakan tersebut tidak berdosa. Penolakan yang berdosa, juga disyaratkan bahwa ia merupakan inisiatif penuh dari sang isteri, bukan sebagai akibat dari perlakuan suami yang zalim. Ibn Hajar mendasarkan pada riwayat lain hajiratan firasaha, yang berarti perempuan secara sadar dan sengaja meninggalkan ranjang perkawinan. Artinya, yang dilaknat adalah perempuan yang sengaja mengawali penolakan, bukan penolakan yang diawali dengan ulah suami yang zalim.

Di sini pentingnya komunikasi antara suami-isteri, salah satunya dalam urusan s3ks, karena kebutuhan akan s3ks termasuk hal yang penting, maka komunikasi antara suami-isteri akan hal itu jangan sampai dikesampingkan.

Suami mungkin bisa memahami akan penolakan isteri karena kelelahan mungkin, atau merasa jenuh dengan terhadap hubungan yang sudah dilakukan. Karena variasi dalam berhubungan juga memegang peranan penting, oleh karena itu isteri bukan objek, tetapi juga merupakan subjek, yang berhak mendapatkan kepuasan setara dengan suami.


Konsep mu’asyarh bil ma’ruf menuntut adanya kebersamaan menyangkut segala kebutuhan suami-isteri. Termasuk menyangkut hubungan s3ksual antara mereka berdua. Yang satu harus memperhatikan yang lain secara bersama. Adalah bukan suatu hal yang ‘mu’asyarah bil ma’ruf’ jika hubungan int1m hanya menyenangkan satu pihak, sementara tidak kepada pihak yang lain, apalagi sampai menyakitkan. 

Pola relasi antara suami dan isteri yang ditegaskan al-Qur’an adalah setara. Hunna libâsun lakum, wa antum libâsun lahunna (Perempuan adalah pakaian laki-laki, dan laki-laki adalah pakaian bagi perempuan). Kalau al-Qur’an demikian tegas menyuarakan kesetaraan, yang patut dipertanyakan kenapa subordinasi s3ksualitas perempuan harus ada, dan mengapa pandangan-pandangan fikih yang lahir dari subordinasi ini harus dilestarikan (Kodir, 2005: 5). 

No comments:

Post a Comment