MEMBANGUN KELUARGA SAKINAH (III)



Laki-laki dan perempuan merupakan mahluk yang sama-sama memiliki rasa, ingin mendapatkan kasih sayang dan kepuasan batin. Maka komunikasi antara suami-isteri dalam hal berhubungan merupakan upaya yang harus ditempuh dalam mengharmonisasi relasi keduanya dalam keluarga, yang pada gilirannya akan berimplikasi pada terwujudnya keluarga yang sakinah.

Nusyuz yang dikaitkan dengan pihak isteri, hal ini berdasarkan Q.S An-Nisaa ayat 34. Dalam ayat ini, Allah telah menjelaskan keadaan kaum perempuan adakalanya mereka taat dan adakalanya membangkang (nusyuz).

Termasuk nusyuz adalah mereka yang menyombongkan diri dan tidak melakukan ketaatan kepada suami, maka ketika tanda-tanda  nusyuz tampak, suami wajib melakukan beberapa langkah dalam upaya meyadarkan dan mengembalikan keadaan isteri ke jalan yang benar. Dimulai dengan menasihati, kemudian memisahkan diri dan berpaling dari isteri dan langkah ketiga memberikan pukulan yang tidak menyakitkan dan tidak membekas, dengan tujuan kebaikan. 

Ibn Abbas memperjelasnya sebagaimana dikutip at-Thahirah (2006: 7), bahwa dilakukan dengan pukulan yang tidak menyakitkan, tidak mematahkan tulang dan tidak menimbulkan luka. Jika Isteri mentaati perintah suami, maka suami dilarang untuk mencari-cari kesalahan isteri dan menzaliminya.

Dengan demikian perlakuan kasih sayang harus tetap diutamakan oleh suami walaupun dalam menghadapi isteri yang melakukan  nusyuz, karena pada dasarnya tindakan suami tersebut adalah upaya dalam rangka mendidik isteri kembali ke jalan kebaikan.

Rasulullah adalah teladan kepala rumah tangga dengan para ummahatul mukminin sebagai contoh figur isteri, ibu dan pengatur rumah tangga yang baik. Rasulullah hidup di tengah keluarga yang mayoritasnya adalah perempuan. Rasulullah tidak pernah melakukan tindak kekerasan terhadap isterinya. 

Dalam suatu riwayat beliau mengatakan: "Sebaik-baik kamu sekalian adalah sebaik-baik perlakuan kamu terhadap isteri-isterimu dan saya adalah orang yang terbaik di antara kamu terhadap isteri-isteriku". Hal ini diungkapkan oleh Rasulullah dalam posisi Rasulullah sebagai uswatun hasanah bagi umatnya bukan karena menyombongkan diri. (at-Thahirah, 2006: 8).

Salah satu masalah keluarga yang sedang up to date  saat ini adalah poligami yang merupakan permasalahan yang sangat ditakuti oleh kaum isteri, karena poligami banyak memberikan dampak negatif terhadap isteri, diantaranya: 

(a) Timbul perasaan inferior, menyalahkan diri sendiri, isteri merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya. 

(b) Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap isteri-isterinya, tetapi seringkali pula dalam prakteknya, suami lebih mementingkan isteri muda dan menelantarkan isteri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya isteri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari. 

(c) Hal lain yang terjadi akibat adanya poligami adalah sering terjadinya kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, s3ksual maupun  psikologis. 

(d) Selain itu, dengan adanya poligami, dalam masyarakat sering terjadi nikah di bawah tangan, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan pada kantor pencatatan nikah (Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama). Perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Bila ini terjadi, maka yang dirugikan adalah pihak perempuannya karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah terjadi oleh negara. Ini berarti bahwa segala konsekuensinya juga dianggap tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya. 

(e) Yang paling mengerikan, kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami/isteri menjadi rentan terhadap penyakit menular s3ksual (PMS) dan bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS (Apik, 2006: 1).

Perlu adanya penemuan masalah yang dihadapi oleh keluarga, sehingga suami melakukan praktek poligami. Oleh karena itu, kembali asas musyawarah memegang peranan penting dalam kelangsungan kehidupan keluarga. Mungkin tidak adanya keseimbangan hak dan kewajiban suami isteri, kehidupan yang kurang harmonis, atau pun masalah lain seputar keluarga. Dengan adanya musyawarah diharapkan suami-isteri mampu mengoreksi kesalahannya masing-masing dan menemukan jalan keluar, sehingga poligami dapat dihindari.

Dalam teori konseling keluarga, tujuan pembentukan sebuah keluarga melalui ikatan perkawinan ada dua, yaitu; membentuk keluarga bahagia dan  kekal. Persoalan yang dihadapi setiap keluarga umumnya adalah perbedaan sifat masing-masing individu. sebagaimana diketahui bahwa keluarga terdiri dari individu-individu yang seringkali mempunyai perspektif berbeda dalam memandang satu persoalan. Suami dan isteri terkadang memiliki tujuan dan orientasi yang berbeda, maka hal tersebut perlu mendapatkan perhatian yang besar. Sebab tujuan yang tidak sama antara suami dan isteri akan merupakan sumber permasalahan dalam keluarga. (Walgito, 2000: 13).

Dalam teori konseling keluarga, perkawinan juga dimaksudkan untuk selamanya, bukan hubungan sementara. Ini berarti perlu diinsafi bahwa perkawinan itu untuk seterusnya, berlangsung seumur hidup, dan untuk selama-lamanya. Karena itu diharapkan agar pemutusan hubungan suami-isteri tidak terjadi kecuali karena kematian; sedangkan pemutusan lain diberi kemungkinan yang sangat ketat. Pemutusan ikatan antara suami isteri dalam bentuk perceraian hanyalah merupakan jalan yang terakhir, bila usaha-usaha lain memang benar-benar telah tidak dapat memberikan pemecahan. (Walgito, 200: 14)

Dari sini dapat diketahui, pada dasarnya teori konseling lebih menekankan tercapainya tujuan perkawinan, dengan “sedikit mengabaikan” uraian tentang hak dan kewajiban masing-masing pihak. Dengan kata lain, yang terpenting dalam bimbingan konseling keluarga adalah bagaimana menjaga ikatan perkawinan itu tetap utuh selamanya. Pemetaan hak dan kewajiban antara suami dan isteri hanyalah salah satu cara untuk mencapai tujuan perkawinan, yakni perkawinan yang bahagia dan kekal selamanya.

Kenyataan ini secara sekilas nampak berbeda dengan pandangan al-Nawawi. Dalam membangun ikatan perkawinan, al-Nawawi menguraikan banyak sekali keterangan yang terkait dengan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Namun, apabila dicermati, maka dapatlah kita ketahui bahwa al-Nawawi ternyata lebih menekankan pola hubungan yang serasi. Ia menekankan bahwa suami, meskipun punya hak ditaati, tetapi ia wajib berlaku adil dan lemah lembut kepada isteri. Demikian pula, meskipun isteri memiliki hak mendapatkan kecukupan nafkah dan lahir, al-Nawawi mencela isteri yang tidak mau memahami kondisi suaminya.

Dalam konsep konseling keluarga Islam, kehidupan berkeluarga juga ditujukan untuk maksud tercapainya keluarga yang  sakinah,  mawaddah wa rahmah. Sakinah memiliki maksud tenang dan ketenteraman, yang berarti kehidupan rumah tangga yang kekal, tidak goyah. Sedangkan mawaddah wa rahmah merupakan cerminan rumah tangga yang harmonis, penuh kasih sayang. Islam lebih menekankan aspek musyawarah dalam menentukan kebijakan rumah tangga, meskipun Islam sendiri menetapkan kepemimpinan dan “jabatan fungsional” tertentu bagi setiap individu dalam keluarga.

Ketentuan Islam ini dimaksudkan agar setiap elemen dalam rumah tangga mempunyai tanggung jawab yang jelas, karena pola hubungan dalam rumah tangga memang memerlukan adanya “tanggung jawab” setiap individu di dalamnya (Faqih, 2001: 83).

Nampaknya ada dua pendekatan berbeda antara yang dilakukan al-Nawawi dalam Uqud al-Lujjayn dengan konsep Bimbingan dan Konseling Keluarga Islam. Al-Nawawi lebih banyak menguraikan pola hubungan hak dan kewajiban, setelah itu baru bagaimana bersikap yang terbaik dalam rumah tangga, yakni setiap individu harus berlaku baik dan menyayangi kepada yang lain. Sedangkan Bimbingan dan Konseling Keluarga Islam mengambil pendekatan sebaliknya, suami dan isteri harus terus diingatkan akan tujuan pernikahan, yakni membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah.

Salah satu tujuan orang berumah tangga adalah untuk mendapatkan sakinah atau ketenangan dan ketentraman tersebut. Dalam Alquran Allah berfirman, Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang.


Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (QS. Ar-Rum [30]: 21). 

No comments:

Post a Comment