Laki-laki
dan perempuan merupakan mahluk yang sama-sama memiliki rasa, ingin mendapatkan
kasih sayang dan kepuasan batin. Maka komunikasi antara suami-isteri dalam hal
berhubungan merupakan upaya yang harus ditempuh dalam mengharmonisasi relasi
keduanya dalam keluarga, yang pada gilirannya akan berimplikasi pada
terwujudnya keluarga yang sakinah.
Nusyuz
yang dikaitkan dengan pihak isteri, hal ini berdasarkan Q.S An-Nisaa ayat 34.
Dalam ayat ini, Allah telah menjelaskan keadaan kaum perempuan adakalanya
mereka taat dan adakalanya membangkang (nusyuz).
Termasuk
nusyuz adalah mereka yang menyombongkan diri dan tidak melakukan ketaatan
kepada suami, maka ketika tanda-tanda
nusyuz tampak, suami wajib melakukan beberapa langkah dalam upaya
meyadarkan dan mengembalikan keadaan isteri ke jalan yang benar. Dimulai dengan menasihati, kemudian memisahkan diri
dan berpaling dari isteri dan langkah ketiga memberikan pukulan yang tidak
menyakitkan dan tidak membekas, dengan tujuan kebaikan.
Ibn Abbas
memperjelasnya sebagaimana dikutip at-Thahirah (2006: 7), bahwa dilakukan
dengan pukulan yang tidak menyakitkan, tidak mematahkan tulang dan tidak
menimbulkan luka. Jika Isteri mentaati perintah suami, maka suami dilarang
untuk mencari-cari kesalahan isteri dan menzaliminya.
Dengan
demikian perlakuan kasih sayang harus tetap diutamakan oleh suami walaupun
dalam menghadapi isteri yang melakukan
nusyuz, karena pada dasarnya tindakan suami tersebut adalah upaya dalam
rangka mendidik isteri kembali ke jalan kebaikan.
Rasulullah
adalah teladan kepala rumah tangga dengan para ummahatul mukminin sebagai
contoh figur isteri, ibu dan pengatur rumah tangga yang baik. Rasulullah hidup
di tengah keluarga yang mayoritasnya adalah perempuan. Rasulullah tidak pernah
melakukan tindak kekerasan terhadap isterinya.
Dalam suatu riwayat beliau
mengatakan: "Sebaik-baik kamu sekalian adalah sebaik-baik perlakuan kamu
terhadap isteri-isterimu dan saya adalah orang yang terbaik di antara kamu
terhadap isteri-isteriku". Hal ini diungkapkan oleh Rasulullah dalam
posisi Rasulullah sebagai uswatun hasanah
bagi umatnya bukan karena menyombongkan diri. (at-Thahirah, 2006: 8).
Salah
satu masalah keluarga yang sedang up to date saat ini adalah poligami yang merupakan
permasalahan yang sangat ditakuti oleh kaum isteri, karena poligami banyak
memberikan dampak negatif terhadap isteri, diantaranya:
(a) Timbul perasaan
inferior, menyalahkan diri sendiri, isteri merasa tindakan suaminya berpoligami
adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.
(b) Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Ada beberapa suami memang dapat
berlaku adil terhadap isteri-isterinya, tetapi seringkali pula dalam
prakteknya, suami lebih mementingkan isteri muda dan menelantarkan isteri dan
anak-anaknya terdahulu. Akibatnya isteri yang tidak memiliki pekerjaan akan
sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
(c) Hal lain yang terjadi
akibat adanya poligami adalah sering terjadinya kekerasan terhadap perempuan,
baik kekerasan fisik, ekonomi, s3ksual maupun
psikologis.
(d) Selain itu, dengan adanya poligami, dalam masyarakat
sering terjadi nikah di bawah tangan, yaitu perkawinan yang tidak dicatatkan
pada kantor pencatatan nikah (Kantor Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama).
Perkawinan yang tidak dicatatkan dianggap tidak sah oleh negara, walaupun
perkawinan tersebut sah menurut agama. Bila ini terjadi, maka yang dirugikan
adalah pihak perempuannya karena perkawinan tersebut dianggap tidak pernah
terjadi oleh negara. Ini berarti bahwa segala konsekuensinya juga dianggap
tidak ada, seperti hak waris dan sebagainya.
(e) Yang paling mengerikan,
kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami/isteri menjadi rentan
terhadap penyakit menular s3ksual (PMS) dan bahkan rentan terjangkit virus
HIV/AIDS (Apik, 2006: 1).
Perlu
adanya penemuan masalah yang dihadapi oleh keluarga, sehingga suami melakukan
praktek poligami. Oleh karena itu, kembali asas musyawarah memegang peranan
penting dalam kelangsungan kehidupan keluarga. Mungkin tidak adanya
keseimbangan hak dan kewajiban suami isteri, kehidupan yang kurang harmonis,
atau pun masalah lain seputar keluarga. Dengan adanya musyawarah diharapkan
suami-isteri mampu mengoreksi kesalahannya masing-masing dan menemukan jalan
keluar, sehingga poligami dapat dihindari.
Dalam
teori konseling keluarga, tujuan pembentukan sebuah keluarga melalui ikatan
perkawinan ada dua, yaitu; membentuk keluarga bahagia dan kekal. Persoalan yang dihadapi setiap
keluarga umumnya adalah perbedaan sifat masing-masing individu. sebagaimana
diketahui bahwa keluarga terdiri dari individu-individu yang seringkali
mempunyai perspektif berbeda dalam memandang satu persoalan. Suami dan isteri
terkadang memiliki tujuan dan orientasi yang berbeda, maka hal tersebut perlu
mendapatkan perhatian yang besar. Sebab tujuan yang tidak sama antara suami dan
isteri akan merupakan sumber permasalahan dalam keluarga. (Walgito, 2000: 13).
Dalam
teori konseling keluarga, perkawinan juga dimaksudkan untuk selamanya, bukan
hubungan sementara. Ini berarti perlu diinsafi bahwa perkawinan itu untuk
seterusnya, berlangsung seumur hidup, dan untuk selama-lamanya. Karena itu
diharapkan agar pemutusan hubungan suami-isteri tidak terjadi kecuali karena
kematian; sedangkan pemutusan lain diberi kemungkinan yang sangat ketat.
Pemutusan ikatan antara suami isteri dalam bentuk perceraian hanyalah merupakan
jalan yang terakhir, bila usaha-usaha lain memang benar-benar telah tidak dapat
memberikan pemecahan. (Walgito, 200: 14)
Dari
sini dapat diketahui, pada dasarnya teori konseling lebih menekankan
tercapainya tujuan perkawinan, dengan “sedikit mengabaikan” uraian tentang hak
dan kewajiban masing-masing pihak. Dengan kata lain, yang terpenting dalam
bimbingan konseling keluarga adalah bagaimana menjaga ikatan perkawinan itu
tetap utuh selamanya. Pemetaan hak dan kewajiban antara suami dan isteri
hanyalah salah satu cara untuk mencapai tujuan perkawinan, yakni perkawinan
yang bahagia dan kekal selamanya.
Kenyataan
ini secara sekilas nampak berbeda dengan pandangan al-Nawawi. Dalam membangun
ikatan perkawinan, al-Nawawi menguraikan banyak sekali keterangan yang terkait
dengan hak dan kewajiban masing-masing pihak. Namun, apabila dicermati, maka
dapatlah kita ketahui bahwa al-Nawawi ternyata lebih menekankan pola hubungan
yang serasi. Ia menekankan bahwa suami, meskipun punya hak ditaati, tetapi ia
wajib berlaku adil dan lemah lembut kepada isteri. Demikian pula, meskipun
isteri memiliki hak mendapatkan kecukupan nafkah dan lahir, al-Nawawi mencela
isteri yang tidak mau memahami kondisi suaminya.
Dalam
konsep konseling keluarga Islam, kehidupan berkeluarga juga ditujukan untuk
maksud tercapainya keluarga yang
sakinah, mawaddah wa rahmah. Sakinah
memiliki maksud tenang dan ketenteraman, yang berarti kehidupan rumah tangga
yang kekal, tidak goyah. Sedangkan mawaddah wa rahmah merupakan cerminan rumah
tangga yang harmonis, penuh kasih sayang. Islam lebih menekankan aspek
musyawarah dalam menentukan kebijakan rumah tangga, meskipun Islam sendiri
menetapkan kepemimpinan dan “jabatan fungsional” tertentu bagi setiap individu
dalam keluarga.
Ketentuan
Islam ini dimaksudkan agar setiap elemen dalam rumah tangga mempunyai tanggung
jawab yang jelas, karena pola hubungan dalam rumah tangga memang memerlukan
adanya “tanggung jawab” setiap individu di dalamnya (Faqih, 2001: 83).
Nampaknya
ada dua pendekatan berbeda antara yang dilakukan al-Nawawi dalam Uqud
al-Lujjayn dengan konsep Bimbingan dan Konseling Keluarga Islam. Al-Nawawi
lebih banyak menguraikan pola hubungan hak dan kewajiban, setelah itu baru
bagaimana bersikap yang terbaik dalam rumah tangga, yakni setiap individu harus
berlaku baik dan menyayangi kepada yang lain. Sedangkan Bimbingan dan Konseling
Keluarga Islam mengambil pendekatan sebaliknya, suami dan isteri harus terus
diingatkan akan tujuan pernikahan, yakni membentuk keluarga yang sakinah,
mawaddah wa rahmah.
Salah
satu tujuan orang berumah tangga adalah untuk mendapatkan sakinah atau
ketenangan dan ketentraman tersebut. Dalam Alquran Allah berfirman, Dan di
antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan
dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih sayang.
Sesungguhnya
pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir
(QS. Ar-Rum [30]: 21).
No comments:
Post a Comment