Dalam al-Quran, Allah swt.. telah menekankan kepada umat
Muhammad saw. untuk melaksanakan tawassul, dan Dia telah mengizinkan mereka
untuk melakukan tawassul dengan berbagai jenis dan bentuknya. Ini semua menjadi
bukti bahwa tawassul sama sekali tidak bertentangan dengan konsep kesempurnaan
Ilahi, termasuk dengan ke-Maha Mendengar-an dan ke-Maha Mengetahui-an Allah
terhadap do’a hamba-hamba-Nya, apalagi dengan kesia-siaan perbuatan tawassul.
Di sini, kita akan sebutkan secara ringkas beberapa bentuk tawassul yang
dilegalkan menurut al-Quran:
*
Tawassul dengan Nama-Nama Allah yang Agung:
Allah swt. berfirman:
“Hanya
milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut
asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran
dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa
yang telah mereka kerjakan.” (QS al-A’raf: 180)
Ayat di atas dalam rangka menjelaskan tentang kebaikan
nama-nama Allah tanpa ada perbedaan dari nama-nama itu. Dan melalui nama-nama
penuh berkah itulah kita diperkenankan untuk berdo’a kepada Allah swt.. Tentu
nama Allah bukan Dzat Allah sendiri. Akan tetapi melalui nama-nama Allah yang
memiliki kandungan sifat keindahan, rahmat, ampunan dan keagungan itulah kita
disuruh memohon kepada Dzat Allah swt.., obyek utama do’a, untuk pengkabulan
segala hajat dan pengampunan dosa.
*
Tawassul melalui Amal Sholeh:
Amal sholeh merupakan salah satu jenis sarana (wasilah)
yang dilegalkan oleh Allah swt. Amal sholeh juga bukan Dzat Allah itu sendiri,
namun Allah membolehkan kita mengambil sarana darinya untuk memohon sesuatu
kepada Dzat Allah swt. Melalui sarana tersebut seorang hamba akan didengar
semua keinginannya oleh Allah swt..
Ketika tawassul berarti; “Mempersembahkan
(menyodorkan) sesuatu kepada Allah demi untuk mendapat Ridho-Nya” maka tanpa
diragukan lagi bahwa amal sholeh adalah salah satu dari sekian sarana yang baik
untuk mendapat ridho Ilahi.
Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim
as. ketika pertama kali membangun Ka’bah. Allah swt. dalam al-Qur’an berfirman:
“Dan
(ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama
Ismail (seraya berdo’a): ‘Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami),
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. Ya Tuhan kami,
jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah)
diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah
kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah Taubat
kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.’
” (QS al-Baqarah 127-128)
Ayat di atas menjelaskan bagaimana hubungan antara Amal
Sholeh (pembangunan Ka’bah) dengan keinginan/permohonan Ibrahim al-Khalil agar
Allah swt. menjadikan dirinya, anak-cucunya sebagai muslim sejati dan agar
Allah menerima taubatnya.
*
Tawassul melalui Do’a Rasul:
Allah swt. dalam al-Qur’an (dalam banyak ayat)
menyebutkan betapa agung kedudukan para Nabi dan Rasul disisi-Nya. Allah swt.,
juga menekankan bahwa mereka adalah manusia-manusia khusus yang berbeda secara
kualitas maupun kuantatitas bobot penciptaan yang mereka miliki dibanding
manusia biasa, apalagi berkaitan dengan pribadi agung Muhammad bin Abdillah
saw. sebagai penghulu para Nabi dan Rasul.
Atas dasar itu, jika kita lihat, dalam masalah seruan
(panggilan) saja –yang nampaknya remeh– para manusia diperintah untuk tidak
menyamakannya dengan seruan terhadap manusia biasa lainnya. Allah swt.
berfirman:
“Janganlah
kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu
kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah Telah mengetahui orang-orang
yang berangsur-angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya),
maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa
cobaan atau ditimpa adzab yang pedih.” (QS an-Nur: 63)
Bahkan dalam kesempatan lain Allah swt. juga
menjelaskan, betapa manusia agung pemilik kedudukan (jah) tinggi di sisi
Allah swt. itu telah mampu menjadi pengaman bagi penghuni bumi ini dari
berbagai bencana. Allah swt. berfirman:
“Dan
Allah sekali-kali tidak akan menyiksa/mengadzab mereka, sedang kamu berada
diantara mereka. dan tidaklah (pula) Allah akan mengadzab mereka, sedang mereka
meminta ampun” (QS al-Anfal: 33).
Bahkan dalam banyak kesempatan (ayat), Allah swt.
menyandingkan nama-Nya dengan nama Rasulullah saw. dan menyatakan bahwa
perbuatan kedua nya dinyatakan sebagai berasal dari sumber yang satu. Ini
sebagai bukti, betapa tinngi, agung dan mulianya sosok Nabi Muhammad saw. di
mata Allah swt.. Sebagai contoh, apa yang dinyatakan Allah swt… dalam al-Qur’an
yang berbunyi:
“Mereka
(orang-orang munafik) mengemukakan ‘udzurnya kepadamu, apabila kamu telah
kembali kepada mereka (dari medan perang). Katakanlah: ‘Janganlah kamu
mengemukakan ‘uzur; kami tidak percaya lagi kepadamu, (karena) sesungguhnya
Allah Telah memberitahukan kepada kami beritamu yang sebenarnya dan Allah serta
rasul-Nya akan melihat pekerjaanmu, kemudian kamu dikembalikan kepada yang
mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu dia memberitahukan kepadamu apa yang
telah kamu kerjakan’ ” (QS at-Taubah: 94).
Atau ayat yang berbunyi:
“Mereka
(orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak
mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka Telah mengucapkan
perkataan kekafiran, dan telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa
yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka tidak mencela (Allah dan
Rasul-Nya), kecuali karena Allah dan Rasul-Nya. telah melimpahkan karunia-Nya
kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka,
dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengadzab mereka dengan adzab
yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai
pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi” (QS at-Taubah: 74).
Masih banyak ayat lainnya yang menjadi bukti bahwa
Rasulullah saw. adalah makhluk termulia dan memiliki kedudukan khusus di sisi
Khaliknya. Jika kita telah mengetahui kedudukan tinggi Rasulullah saw. semacam
ini maka kita akan mendapat kepastian (tentu dengan berdasar dalil) bahwa permohonan
do’a –tentu do’a yang baik– dengan menjadikan Rasulullah saw. sebagai sarana
(wasilah) niscaya Allah swt. akan enggan menolak permintaan kita dengan membawa
nama kekasih-Nya tersebut. Dengan menyebut nama Rasulullah Muhammad bin
Abdullah saw. maka kita telah menyeru Allah swt. dengan berpegangan terhadap
tonggak yang sangat kokoh yang tidak akan tergoyahkan.
Atas dasar itu, Allah swt. memerintahkan kepada para
pelaku dosa dari kaum muslimin untuk berpegangan dengan tonggak yang tidak
tergoyahkan tersebut (hakekat Muhammad Rasulullah saw.) dan meminta pengampunan
di setiap majlis mereka, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Karena
melalui permohonan ampun melalui hakekat pribadi Muhammad saw.adalah kunci dari
penyebab turunnya rahmat, pengampunan dan ridho Allah swt.
Dalam hal itu Allah swt… berfirman:
“Dan
kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin
Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu,
lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasul pun memohonkan ampun untuk mereka,
tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”
(QS an-Nisa’: 64).
Ayat ini dikuatkan dengan ayat lainnya, seperti firman
Allah swt…:
“Dan
apabila dikatakan kepada mereka: marilah (beriman), agar Rasulullah memintakan
ampunan bagimu, mereka membuang muka mereka dan kamu lihat mereka berpaling
sedang mereka menyombongkan diri” (QS al-Munafiqqun: 5).
Semua itu sebagai sedikit bukti bahwa Rasulullah saw.
memiliki kedudukan, kemuliaan dan keagungan di mata Allah swt.., Pencipta dan
Penguasa alam semesta. Hakekat tersembunyi dari pribadi agung Muhammad saw.
semacam ini hanya akan bisa dipahami dan diyakini dengan baik oleh
pribadi-pribadi yang mengenal betul siapakah gerangan Muhammad bin Abdillah saw.
tadi.
Bagi orang yang belum mengenal diri baginda Rasul saw.
niscaya ia akan meragukannya, karena masih mengaggap Rasulullah sebagai manusia
biasa, selayaknya manusia biasa lainnya. Anggapan kerdil semacam inilah yang
menyebabkan beberapa pengikut sekte Wahabi terjerumus ke lembah penyesatan
kelompok lain yang mengetahui rahasia keagungan Rasul sewaktu mereka memuji
Rasulullah saw.dengan pujian-pujian yang bersumber dari al-Qur’an dan Hadits
sohih, baik pujian yang terjelma dalam kitab-kitab maulid maupun kitab-kitab
ratib. Rahasia hakekat Muhammad saw. –dan nabi-nabi lain– ini pulalah yang akan
kita jadikan dalil ‘Legalitas Tawassul kepada Pribadi Agung yang secara Lahir
telah wafat’, pada halaman selanjutnya.
*
Tawassul melalui Do’a Saudara Mukmin:
Salah satu sarana lain yang disinggung oleh Allah swt.
dalam al-Qur’an adalah, do’a saudara mukmin. Dalam al-Qur’an, Allah swt…
berfirman:
“Dan
orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdo’a:
‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman
lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati
kami terhadap orang-orang yang beriman’; ‘Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau
Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.’ ” (QS al-Hasyr: 10).
Ayat ini menjelaskan bahwa kaum mukmin yang datang
belakangan telah mendo’akan untuk mendapat pengampunan bagi kaum mukmin yang
terdahulu. Ayat ini selain membuktikan bahwa do’a untuk orang terdahulu sangat
ditekankan oleh Islam, juga bisa menjadi bukti global bahwa memberi hadiah do’a
kepada yang telah wafat –walau bukan anak serta famili (kerabat)– akan dapat
sampai dan bermanfaat buat sang mayit di alam sana.
*
Tawassul melalui Diri Para Nabi dan Hamba Sholeh:
Bagian dari tawassul ini berbeda dengan bagian
sebelumnya. Jika pada kesempatan yang lalu disebutkan mengenai tawassul melalui
do’a Rasul maka pada kesempatan kali ini kita diberitahukan tentang tawassul
kepada diri dan pribadi Nabi agar menjadi sarana pengkabulan do’a, karena
mereka memiliki kedudukan (jah) di sisi Allah swt.. Sebagai contoh apa yang di
lakukan nabi Ya’kub as. dengan baju bekas dipakai (melekat di badan) oleh Yusuf
sebagai sarana (wasilah) kesembuhannya dari kebutaan, berkat izin Allah swt..
Jelas sekali perbedaan antara tawassul melalui do’a Nabi, dengan tawassul
melalui diri Nabi.
Jadi, disini kita diberitahukan tentang legalitas
tawassul kepada Allah swt. melalui keutamaan (fadhilah), kedudukan (jah),
kemuliaan (karamah) dan keagungan (adzamah) pribadi Nabi/Rasul di sisi Allah swt..
Ini merupakan bentuk inayah khasshah (anugerah khusus) yang Allah berikan
kepada para nabi dan rasul, juga para kekasih-Nya yang lain. Jadi sarana
(wasilah) yang dijanjikan Allah swt. itu diletakkan kepada pribadi para hamba
Allah yang telah dimuliakan, diagungkan dan diangkat derajatnya oleh Allah swt..
Hal itu sebagaimana Allah swt. telah mengangkatnya ke
pangkuan-Nya. Allah swt. berfirman:
“Dan
kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu” (QS al-Insyirah: 4).
Orang-orang semacam itu (manusia Sholeh pengikut sejati
Rasulullah), mereka adalah para pemiliki kedudukan tinggi di sisi Allah, maka
Allah swt.. memerintahkan kepada segenap kaum muslimin lainnya untuk memuliakan
dan menghormati mereka. Allah swt.. berfirman:
“(yaitu)
Orang-orang yang mengikuti Rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati
tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh
mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang
mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi
mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan
belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman
kepadanya, memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang
diturunkan kepadanya (Al-Qur’an), mereka itulah orang-orang yang beruntung” (QS al-A’raf: 157).
Jika kunci terkabulnya do’a terdapat pada kepribadian
dan kedudukan luhur di sisi Allah swt.. yang dimiliki oleh setiap manusia
Sholeh tadi maka sudah menjadi hal yang utama jika mereka dijadikan sebagai
sarana (wasilah) oleh segenap manusia muslim biasa untuk mendapat keridhoaan
Allah. Sebagaimana do’a mereka pun selalu didengar dan dikabulkan oleh Allah swt..
Jika ada kelompok muslim yang membolehkan menjadikan
do’a manusia sholeh sebagai sarana (wasilah) menuju ridho Allah maka menjadikan
sarana (wasilah) kepribadian (dzat/syakhsyiyah) dan kedudukan (jah / maqom /
manzilah / karamah / fadhilah) manusia sholeh tadi pun lebih utama untuk
diperbolehkan. Karena antara ‘sarana pengkabulan do’a’ dan ‘sarana
kedudukan/kepribadian agung manusia sholeh’ terdapat relasi/hubungan erat dan
menjadi konsekuensi logis, nyata dan sah (syar’i).
Memisahkan antara keduanya sama halnya memisahkan dua
hal yang memiliki relasi erat, bahkan sampai pada derajat hubungan
sebab-akibat. Karena, pengkabulan do’a manusia sholeh oleh Allah swt.
disebabkan karena kepribadiannya yang luhur, dan kepribadian luhur itulah yang
menyebabkan kedudukan mereka diangkat oleh Allah swt.. Tawassul jenis ini juga
memiliki sandaran hadits yang diriwayatkan oleh para imam perawi hadits dari
Ahlusunnah melalui jalur yang sohih yaitu riwayat tig orang yang tertutup
didalam goa.
Untuk menyingkat halaman, bagi yang ingin menelaah
lebih lanjut hadits-hadits tersebut, silahkan merujuknya dalam kitab-kitab
hadits seperti; Musnad Imam Ahmad bin Hanbal; jilid: 4 halaman: 138
hadits ke-16789; Sunan Ibnu Majah; jilid: 1 halaman: 441 hadits ke-1385;
Sunan at-Turmudzi; jilid: 5 halaman: 531 dalam kitab ad-Da’awaat,
bab 119 hadits ke-3578 dan kitab lainnya.
*
Tawassul melalui Kedudukan dan Keagungan Hamba Sholeh:
Disamping yang telah kita singgung pada bagian
sebelumnya, jika kita telaah dari sejarah hidup para pendahulu dari kaum
muslimin niscaya akan kita dapati bahwa mereka melegalkan tawassul dengan jalan
ini, sesuai pemahaman mereka tentang syari’at yang dibawa oleh Rasulullah saw.
Mereka bertawassul melalui kedudukan dan kehormatan para manusia Sholeh, dimana
diyakini bahwa para manusia sholeh tadi pun memiliki kedudukan tinggi di sisi
Allah swt…
Manusia sholeh yang dimaksud disini adalah sebagaimana
apa yang di kemukakan oleh Rasulullah saw. kepada Muadz bin Jabal ra ini, Rasulullah
bersabda:
“Wahai
Muadz, apakah engkau mengetahui apakah hak Allah kepada hamba-Nya?”. Muadz
menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui’. Kemudian Rasulullah bersabda:
‘Sesunguhnya hak Allah kepada Hamba-Nya adalah hendaknya hamba-hamba-Nya itu
menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya terhadap apapun’. Agak beberapa lama,
kembali Rasulullah bersabda: ‘Wahai Muadz!’ aku (Muadz) menjawab: ‘Ya wahai Rasulullah
!?’. Rasulullah bertanya: ‘Adakah engkau tahu, apakah hak seorang hamba ketika
telah melakukan hal tadi?’. aku (Muadz) menjawab: ‘Allah dan Rasul-Nya lebih
mengetahui’. Rasulullah bersabda: ‘“Ia tiada akan mengadzabnya’ “. (Lihat: Sohih
Muslim dengan syarh dari an-Nawawi jilid: 1 halaman: 230-232).
Hadits di atas jelas bahwa maksud dari Sholeh adalah
setiap orang yang melakukan penghambaan penuh (ibadah) kepada Allah dan tidak
melakukan penyekutuan terhadap Allah swt… Dan dikarenakan tawassul (mengambil
wasilah) bukanlah tergolong penyekutuan Allah –karena dilegalkan oleh Allah swt.–
maka para pelaku tawassul pun bisa masuk kategori orang Sholeh pula, jika ia
melakukan peribadatan yang tulus dan tidak melakukan kesyirikan (penyekutuan
Allah). Orang-orang sholeh semacam itulah yang dinyatakan dalam al-Qur’an
sebagai pemancar cahaya Ilahi yang dengannya mereka hidup di tengah-tengah
manusia.
Allah swt.. berfirman:
“Dan
apakah orang yang sudah mati kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan
kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di
tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada
dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah
kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang telah mereka kerjakan”
(QS al-An’am: 122).
Atau sebagaimana dalam firman Allah swt… lainnya;
“Hai
orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah
kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepada mu dua bagian, dan
menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan dia
mengampuni kamu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS
al-Hadid: 28).
Sebagaimana kita semua mengetahui bahwa, fungsi dan
kekhususan cahaya adalah; “ia sendiri terang dan mampu menerangi obyek lain”.
Begitu juga dengan manusia sholeh yang mendapat otoritas pembawa pancaran
Ilahi.
Dari sini jelas sekali bahwa al-Qur’an telah
menunjukkan kepada kita bahwa, para nabi dan manusia sholeh dari hamba-hamba
Allah –seperti peristiwa umat Isa al-Masih atau saudara-saudara Yusuf
(anak-anak Ya’qub)– telah melakukan tawassul. Dan al-Qur’an pun telah dengan
jelas memberikan penjelasan tentang beberapa obyek tawassul.
Tawassul tersebut bukan hanya sebatas berkaitan dengan
do’a para manusia kekasih Ilahi itu saja, bahkan pada pribadi para manusia
kekasih Ilahi itu juga. Hal itu karena antara pribadi para kekasih Ilahi dengan
bacaan do’a mereka tidak dapat di pisahkan dan terjadi relasi (konsekuensi)
yang sangat erat. Hal ini akan semakin jelas ketika kita memasuki kajian
selanjutnya.
No comments:
Post a Comment