Pada kesempatan kali ini, kita akan mengkaji beberapa
contoh hadits dalam beberapa kitab standart Ahlusunah wal Jama’ah yang menjadi
landasan legalitas tawassul/istighotsah terhadap Rasulullah saw. dan para hamba
Allah yang sholeh. Dengan adanya dalil-dalil ini kita akan lebih mantep lagi
atas legalitas, manfaat dan hikmah dari tawasuul dan tabarruk tersebut.
Hadits-hadits yang menyebutkan tentang masalah itu
adalah sebagai berikut:
1. Riwayat yang mengisahkan
tawassulnya Nabi Yusuf as kepada Rasulullah saw., waktu beliau didalam sumur,
At-Tsa’labi mengisahkan:
“Pada
keempat harinya waktu Nabi Yusuf a.s. berada didalam sumur, Jibril a.s.
mendatanginya dan bertanya: ‘Hai anak siapakah yang melempar engkau kesumur’?
Jawab Yusuf as: ‘Saudara-saudaraku’. Jibril as. bertanya lagi: Mengapa? Yusuf as berkata: ‘Mereka dengki karena kedudukanku
di depan ayahku’. Jibril as. berkata: ‘Maukah engkau keluar darisini’? Yusuf
a.s.berkata mau.
Jibril
as berkata: ‘Ucapkanlah (do’a pada Allah swt.) sebagai berikut’: ‘Wahai
Pencipta segala yang tercipta, Wahai Penyembuh segala yang terluka, Wahai Yang
Menyertai segala kumpulan, Wahai Yang Menyaksikan segala bisikan, Wahai Yang
Dekat dan Tidak berjauhan, Wahai Yang Menemani semua yang sendirian, Wahai
Penakluk yang Tak Tertaklukkan, Wahai Yang Mengetahui segala yang gaib, Wahai
Yang Hidup dan Tak Pernah Mati, Wahai Yang Menghidupkan yang mati,Tiada Tuhan
kecuali Engkau, Mahasuci Engkau, aku bermohon kepada-Mu Yang Empunya pujian,
Wahai Pencipta langit dan bumi, Wahai Pemilik Kerajaan, Wahai Pemilik Keagungan
dan Kemuliaan, aku bermohon agar Engkau sampaikan shalawat kepada Muhammad dan
keluarga Muhammad, berilah jalan keluar dan penyelesaian dalam segala urusan
dan dari segala kesempitan, Berilah rezeki dari tempat yang aku duga dan dari
tempat yang tak aku duga ’ “.
Lalu
Yusuf a.s. mengucapkan do’a itu. Allah swt. mengeluarkan Yusuf a.s. dari dalam
sumur, menyelamatkannya dari reka-daya saudara-saudaranya. Kerajaan Mesir
didatangkan kepadanya dari tempat yang tidak diduga nya”. (At Tsa’labi 157,
Fadhail Khamsah 1:207).
Lihat riwayat ini, Nabi Yusuf as. diajari oleh Jibril
as. untuk berdo’a pada Allah swt. agar bisa cepat keluar dari sumur dengan
sholawat serta tawassul kepada Rasulullah saw.dan keluarganya. Begitu juga
riwayat Nabi Adam as. yang telah kami kemukakan sebelumnya, yang mana Rasulullah
saw. dan keluarganya ini belum dilahirkan dialam wujud ini !
Do’a masih akan terhalang bila orang yang berdo’a
tersebut tanpa bertawassul dengan bersholawat pada Nabi saw.. Amirul Mukminin
Imam Ali bin Abi Thalib kw. berkata: ‘Setiap do’a antara seorang hamba dengan
Allah selalu diantarai dengan hijab (penghalang, tirai) sampai dia mengucapkan
sholawat pada Nabi saw.. Bila ia membaca sholawat, terbukalah hijab itu dan
masuklah do’a.’ (Kanzul ‘Umal 1:173, Faidh Al-Qadir 5:19)
2. Amirul Mukminin Imam Ali bin Abi
Thalib kw. juga berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Setiap do’a terhijab
(tertutup) sampai membaca sholawat pada
Muhammad dan keluarganya”. ( Ibnu Hajr Al-Shawaiq 88 )
3. Juga ada riwayat hadits sebagai
berikut: “Barangsiapa yang melakukan sholat dan tidak membaca shalawat padaku
dan keluarga (Rasulullah saw.), sholat tersebut tidak diterima (batal)”. (Sunan
Al- Daruqutni 136)
4. Mendengar sabda Nabi saw. ini
para sahabat diantaranya Jabir Al-Anshori berkata: ‘Sekiranya aku sholat dan
didalamnya aku tidak membaca sholawat pada Muhammad dan keluarga Muhammad aku
yakin sholatku tidak di terima’. (Dhahir Al-Uqba : 19)
Begitu juga Imam Syafi’i dalam sebagian bait syairnya
mengatakan:
“Wahai
Ahli Bait (keluarga) Rasulullah, kecintaan kepadamu diwajibkan Allah dalam
Al-Qur’an yang diturunkan, Cukuplah petunjuk kebesaranmu, Siapa yang tidak
bersholawat (waktu sholat) padamu tidak diterima sholatnya…. “
.
Banyak hadits yang meriwayatkan agar do’a kita
dikabulkan oleh Allah swt. dengan bertahmid dan bersholawat dahulu sebelum
memulai membaca do’a. Begitu juga banyak riwayat bagaimana cara kita
bersholawat kepada Rasulullah saw. dan keluarganya serta manfaatnya sholawat
itu. Tidak lain semua itu termasuk tawassul/wasithah pada Rasulullah saw. dan
keluarganya, bila tidak demikian dan tidak ada manfaatnya, maka orang tidak
perlu menyertakan/menyebut nama beliau saw. dan keluarganya waktu berdo’a pada
Allah swt.!
5. Dari Ustman bin Hunaif yang
mengatakan:
“Sesungguhnya telah datang seorang lelaki yang tertimpa
musibah (buta matanya) kepada Nabi saw. Lantas lelaki itu mengatakan kepada
Rasulllah; ‘Berdo’alah kepada Allah untukku agar Dia (Allah swt)
menyembuhkanku!’. Kemudian Rasulullah bersabda: ‘Jika engkau menghendaki maka
aku akan menundanya untukmu, dan itu lebih baik. Namun jika engkau menghendaki
maka aku akan berdo’a (untukmu)’.
Kemudian dia (lelaki tadi) berkata: ‘Mohonlah
kepada-Nya (untukku)!’. Rasulullah memerintahkannya untuk mengambil air wudhu,
kemudian ia berwudhu dengan baik lantas melakukan shalat dua rakaat. Kemudian
ia (lelaki tadi) membaca do’a tersebut:
‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan aku
datang menghampiri-Mu, demi Muhammad sebagai Nabi yang penuh rahmat. Ya
Muhammad, sesungguhnya aku telah datang menghampirimu untuk menjumpai Tuhanku
dan meminta hajatku ini agar terkabulkan. Ya Allah, jadikanlah dia sebagai
pemberi syafa’at bagiku’.
Utsman bin Hunaif berkata; ‘Demi Allah, belum sempat
kami berpisah, dan belum lama kami berbicara, sehingga laki-laki buta itu
menemui kami dalam keadaan bisa melihat dan seolah-olah tidak pernah buta
sebelumnya”. (HR. Imam at-Turmudzi dalam “Sunan at-Turmudzi” 5/531
hadits ke-3578; Imam an-Nasa’i dalam kitab “as-Sunan al-Kubra” 6/169
hadits ke-10495; Imam Ibnu Majah dalam “Sunan Ibnu Majah” 1/441 hadits
ke-1385; Imam Ahmad dalam “Musnad Imam Ahmad” 4/138 hadits ke-16789;
al-Hakim an-Naisaburi dalam “Mustadrak as-Shohihain” 1/313; as-Suyuthi dalam
kitab “al-Jami’ as-Shoghir” halaman 59, Sunan Ibnu Majah, jilid
1, hal 331; Mustadrak al-Hakim, jilid 1, hal 313; Talkhish al-Mustadrak,
adz-Dzahabi dan sebagainya. Sehingga dari situ, Ibnu Taimiyah pun menyatakan
kesahihannya pula ).
Syeikh Ja’far Subhani melakukan kajian tentang sanad
hadits diatas ini di dalam bukunya yang berjudul Ma’a al-Wahabiy yinfi
Khuthathihim wa ‘Aqa’idihim. Dia berkata,
“Tidak
ada keraguan tentang keshohihan sanad hadits ini. Bahkan, ulama yang dipercaya
oleh kalangan Wahabi yaitu Ibnu Taimiyyah mengakui keshohihan sanad hadits ini,
dengan mengatakan, ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan nama Abu Ja’far yang
terdapat di dalam sanad hadits ini adalah Abu Ja’far al-Khathmi. Dia seorang
yang dapat dipercaya.”
Raffa’i -seorang penulis golongan Wahabi abad ini- yang
selalu berusaha mendhaifkan/melemahkan hadits-hadits yang khusus berkaitan
dengan tawassul dia pun menshohihkan hadits di atas ini. Dia berkata tentang
hadits ini:
“Tidak
diragukan bahwa hadits ini shahih dan masyhur. Telah terbukti tanpa ada
keraguan sedikitpun bahwa seorang yang buta dapat melihat kembali dengan
perantaraan do’a Rasulullah saw..” (Al-Tawashshul ila Haqiqah
at-Tawassul, hal 158).
Raffa’i berkata didalam kitabnya ini,
“Hadits
ini telah diriwayatkan oleh Nasa’i, Baihaqi, Turmudzi dan Hakim di dalam kitab
Mustadrak-nya. Zaini Dahlan, didalam kitabnya Khulashah al-Kalam, menyebutkan
hadits ini beserta dengan sanad-sanadnya yang shohih yang kesemuanya berasal
dari Bukhari didalam tarikh-nya, serta Ibnu Majah dan Hakim didalam Mustadrak
mereka berdua. Jalaluddin as-Suyuthi juga menyebutkan hadits ini didalam
kitabnya al-Jami.’ (Kasyf al-Irtiyab, hal 309, menukil dari kitab Khulashah
al-Kalam. dan At-Tawashshul ila Haqiqah at-Tawassul, hal 66).
Walaupun Raffa’i hanya mengatakan orang buta tersebut
bisa melihat dengan perantaraan do’a Rasulullah
saw. toh dia mengakui kesohihan hadits yang berkaitan dengan tawassul ini !
Yang sudah pasti orang buta tersebut berdo’a kepada Allah swt. sambil
bertawassul dan menyertakan nama Rasulullah saw. dalam do’anya dan beliau saw.
sendiri telah mengajarkan kepadanya bagaimana cara berdo’a kepada Allah swt..!
Apakah Rasulullah saw. akan mengajarkan kepada orang
buta itu sesuatu yang berbau kesyirikan atau kekufuran? Mengapa Rasulullah saw.
memerintahkan kepada orang buta tersebut agar menyebutkan nama beliau saw.
didalam do’anya, kalau semuanya ini tidak mempunyai keistemewaan ?
Anehnya, sebagian pengikut Wahabi menyatakan bahwa
tawassul/ istighotsah semacam itu perbuatan sia-sia dan bertentangan dengan Maha
Mendengar dan Mengetahui (Allah swt). Mereka berkata: “Kenapa kita harus
berdo’a melalui orang dengan alasan ia lebih dekat kedudukannya di sisi Allah
dan do’anya lebih didengar oleh-Nya? Bukankah Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui atas do’a para hamba-Nya?”
Justru pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab oleh
golongan pengingkar yang berpikiran semacam itu adalah: Mengapa Rasulullah saw.
menjawab permintaan orang tadi dengan mengatakan, “…Namun jika engkau menghendaki
maka aku akan berdo’a (untukmu)”, apakah Nabi –makhluk kekasih Ilahi itu– tidak
mengerti bahwa Allah swt. Maha Mendengar dan Maha Mengetahui?”
Dari hadits di atas juga dapat kita ambil pelajaran
bahwa, bagaimana Nabi mengajarkan cara bertawassul kepada lelaki terkena
musibah tersebut. Dan juga dapat kita ambil pelajaran bahwa, bersumpah atas
nama pribadi Nabi ‘Bi Muhammadin’ adalah hal yang diperbolehkan (legal menurut
syariat Islam), begitu juga dengan kedudukan (jah) nabi Muhammad saw. yang tertera
dalam kata ‘Nabiyyurrahmah’. Jika tidak maka sejak semula Nabi saw. akan
menegur lelaki tersebut.
Jadi tawassul lelaki tersebut melalui pribadi Muhammad
–bukan hanya do’a Nabi– yang sekaligus atas nama sebagai Nabi pembawa Rahmat
yang merupakan kedudukan (jah) tinggi anugerah Ilahi merupakan hal legal
menurut syariat Muhammad bin Abdillah saw.
6. Diriwayatkan oleh ‘Aufa al-‘Aufa
dari Abi Said al-Khudri, bahwa Rasulullah saw. pernah menyatakan:
“Barangsiapa
yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid) maka hendaknya
mengatakan: ‘Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu demi para pemohon
kepada-Mu. Dan aku memohon kepada-Mu, demi langkah kakiku ini. Sesungguhnya aku
tidak keluar untuk berbuat aniaya, sewenang-wenang, ingin pujian dan berbangga
diri. Aku keluar untuk menjauhi murka-Mu dan mengharap ridho-Mu. Maka aku
memohon kepada-Mu agar Engkau jauhkan diriku dari api neraka. Dan hendaknya
Engkau ampuni dosaku, karena tiada dzat yang dapat menghapus dosa melainkan
diri-Mu’. Niscaya Allah akan menyambutnya dengan wajah-Nya kepadanya dan
memberinya balasan sebanyak tujuh puluh ribu malaikat ”. (Lihat: Kitab
“Sunan Ibnu Majah”, 1/256 hadits ke-778 bab berjalan untuk melakukan shalat)
Dari hadits di atas dapat diambil pelajaran bahwa, Rasulullah
saw. mengajarkan kepada kita bagaimana kita berdo’a untuk menghapus dosa kita
dengan menyebut (bersumpah dengan kata ‘demi’) diri (dzat) para peminta do’a
dari para manusia sholeh dengan ungkapan ‘Bi haqqi Saailiin ‘alaika‘
(demi para pemohon kepada-Mu), Rasulullah saw. disitu tidak menggunakan kata ‘Bi
haqqi du’a Saailiin ‘alaika’ (demi do’a para pemohon kepada-Mu), tetapi
langsung menggunakan ‘diri pelaku perbuatan’ (menggunakan isim fa’il).
Dengan begitu berarti Rasulullah saw. membenarkan –bahkan
mengajarkan– bagaimana kita bertawassul kepada diri dan kedudukan para manusia
sholeh kekasih Ilahi (wali Allah) –yang selalu memohon kepada Allah swt.– untuk
menjadikan mereka sebagai sarana penghubung antara kita dengan Allah swt. dalam
masalah permintaan syafa’at, permohonan ampun, meminta hajat dan sebagainya.
7. Diriwayatkan dari Anas bin Malik,
ia mengatakan;
“ketika
Fathimah binti Asad meninggal dunia, Rasulullah saw. datang dan duduk di sisi
kepalanya sembari bersabda: ‘Rahimakillah ya ummi ba’da ummi ‘ (Allah
merahmatimu wahai ibuku pasca ibu [kandung]-ku). Kemudian beliau saw.
menyebutkan pujian terhadapnya, lantas mengkafaninya dengan jubah beliau.
Kemudian Rasulullah memanggil Usamah bin Zaid, Abu Ayyub al-Anshari, Umar bin
Khattab dan seorang budak hitam untuk menggali kuburnya. Kemudian mereka
menggali liang kuburnya.
Sesampai di liang lahat, Rasulullah saw. sendiri yang
menggalinya dan mengeluarkan tanah lahat dengan meng gunakan tangan beliau
saw.. Setelah selesai (menggali lahat), kemudian Rasulullah saw. berbaring
disitu sembari berkata: ‘Allah Yang menghidupkan dan mematikan. Dan Dia Yang
selalu hidup, tiada pernah mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad.
Perluaskanlah jalan masuknya, demi Nabi-Mu dan para nabi sebelumku”.
(Lihat: Kitab al-Wafa’ al-Wafa’)
8. Hadits yang serupa di atas yang
diketengahkan oleh At-Thabrani dalam Al-Kabir dan Al-Ausath.
Rasulullah saw. bertawassul pada dirinya sendiri dan
para Nabi sebelum beliau saw. sebagaimana yang diriwayatkan dalam sebuah hadits
dari Anas bin Malik, ketika Fathimah binti Asad -isteri Abu Thalib, bunda Imam
‘Ali bin Abi Thalib kw.- wafat, Rasulullah saw. sendirilah yang menggali
liang-lahad. Setelah itu (sebelum jenazah dimasukkan ke lahad) beliau masuk
kedalam lahad, kemudian berbaring seraya bersabda:
“Allah
yang menghidupkan dan mematikan, Dialah Allah yang Maha Hidup. Ya Allah,
limpahkanlah ampunan-Mu kepada ibuku -panggilan ibu, karena Rasulullah saw.
ketika masih kanak-kanak hidup dibawah asuhannya-, lapangkanlah kuburnya dengan
demi Nabi-Mu (yakni beliau saw. sendiri) dan demi para Nabi sebelumku.
Engkaulah, ya Allah Maha Pengasih dan Penyayang”. Beliau saw. kemudian
mengucapkan takbir empat kali. Setelah itu beliau saw. bersama-sama Al-‘Abbas
dan Abu Bakar -radhiyallahu ‘anhumaa- memasukkan jenazah Fathimah binti Asad
kedalam lahad. (At-Thabrani dalam Al-Kabir dan Al-Ausath.)
Pada hadits itu Rasulullah saw. bertawassul disamping
pada diri beliau sendiri juga kepada para Nabi sebelum beliau saw.! Dalam
hadits itu jelas beliau saw. berdo’a kepada Allah swt. sambil menyebutkan dalam
do’anya demi diri beliau sendiri dan demi para Nabi sebelum beliau saw. Kalau
ini bukan dikatakan sebagai tawassul, mengapa beliau saw. didalam do’anya
menyertakan kata-kata demi para Nabi ? Mengapa beliau saw. tidak berdo’a saja
tanpa menyebutkan … demi para Nabi lainnya ?
Dalam kitab Majma’uz-Zawaid jilid 9/257 disebut
nama-nama perawi hadits tersebut, yaitu Ruh bin Shalah, Ibnu Hibban dan
Al-Hakim. Ada perawi yang dinilai lemah, tetapi pada umumnya adalah perawi
hadit-hadits shohih. Sedangkan para perawi yang disebut oleh At-Thabrani
didalam Al-Kabir dan Al-Ausath semuanya baik (jayyid) yaitu Ibnu
Hiban, Al-Hakim dan lain-lain yang membenarkan hadits tersebut dari Anas bin
Malik.
Selain mereka terdapat juga nama Ibnu Abi Syaibah yang
meriwayatkan hadits itu secara berangkai dari Jabir. Ibnu ‘Abdul Birr
meriwayatkan hadits tersebut dari Ibnu ‘Abbas dan Ad-Dailami meriwayatkannya
dari Abu Nu’aim. Jadi hadits diatas ini diriwayatkan dari sumber-sumber yang saling
memper- kuat kebenarannya.
Hadits di atas jelas sekali bagaimana Rasulullah
bersumpah demi kedudukan (jah) yang beliau saw. miliki, yaitu kenabian,
dan kenabian para pendahulunya yang telah wafat, untuk dijadikan sarana
(wasilah) pengampunan kesalahan ibu (angkat) beliau, Fathimah binti Asad.
Dan dari hadits di atas juga dapat kita ambil
pelajaran, bagaimana Rasulullah saw. memberi ‘berkah’ (tabarruk) liang
lahat itu untuk ibu angkatnya dengan merebahkan diri di sana, plus mengkafani
ibunya tersebut dengan jubah beliau.
9. Diriwayatkan bahwa Sawad bin
Qoorib melantunkan pujiannya terhadap Rasulullah saw. dimana dalam pujian
tersebut juga terdapat muatan permohonan tawassul kepada Rasulullah saw. (Kitab
Fathul Bari 7/137, atau kitab at-Tawasshul fi Haqiqat at-Tawassul karya
ar-Rifa’i hal. 300)
Penjelasan-penjelasan semacam inilah yang tidak dapat
dipungkiri oleh kaum muslimin manapun, terkhusus para pengikut sekte Wahabisme.
Atas dasar itu, Ibnu Taimiyah sendiri dalam kitabnya “at-Tawassul wa
al-Wasilah” dengan mengutip pendapat para ulama Ahlusunah seperti; Ibnu Abi
ad-Dunya, al-Baihaqi, at-Thabrani, dan sebagainya telah melegalkan tawassul
sesuai dengan hadits-hadits yang ada. (Kitab “at-Tawassul wal Wasilah” karya
Ibnu Taimiyah halaman 144-145)
Walaupun beberapa hadits di atas secara tersirat telah
membuktikan legalitas tawassul terhadap para nabi terdahulu dan para manusia
sholeh yang telah mati, namun mungkin masih menjadi pertanyaan di benak kaum
muslimin, adakah dalil yang dengan jelas memperbolehkan tawassul/ istighotsah
terhadap orang yang dhahirnya telah wafat? Marilah kita ikuti kajian
selanjutnya.
No comments:
Post a Comment