PRILAKU SALAF SHOLEH PENGUAT LEGALITAS TAWASSUL / ISTIGHOTSAH



Kita semua mengetahui bahwa para sahabat, tabi’in dan tabiut at-tabi’in adalah termasuk dalam golongan salaf sholeh dimana mereka hidup sangat dekat dengan zaman penurunan risalah Islam. Terkhusus para sahabat yang mendapat pengajaran langung dari Rasulullah saw. dimana setiap perkara yang tidak mereka pahami langsung mereka tanyakan dan langsung mendapat jawabannya dari baginda Rasulullah saw..

Salah satu dari sekian perkara yang menjadi bahan kajian kita kali ini adalah, bagaimana pemahaman para sahabat berkaitan dengan konsep istighotsah /tawassul yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah saw.

Disini kita akan menunjukkan beberapa riwayat yang menjelaskan pemaham an Salaf Sholeh–yang dalam hal ini mencakup para sahabat mulia Rasul saw.– berkaitan dengan konsep tersebut, dan praktek mereka dalam kehidup an sehari-hari. Oleh karenanya, kita akan memberikan beberapa contoh seperti di bawah ini:

1. Dahulu Rasulullah saw. mengajarkan seseorang tentang tata cara memohon kepada Allah swt. dengan menyeru Nabi untuk bertawassul kepadanya, dan meminta kepada Allah agar mengabulkan syafa’atnya (Nabi) dengan mengatakan:

يا محمد يا رسول الله إني أتوسل بك إلي ربي في حاجتي لتُقضي لي اللهم فشفعه فيٍ

Wahai Muhammad, Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku bertawassul denganmu kepada Tuhanku dalam memenuhi hajatku agar dikabulkan untuk ku. Ya Allah, terimalah bantuannya padaku”. (Kitab “Majmu’atur Rasa’il wal Masa’il” karya Ibnu Taimiyah 1/18)

Jelas sekali bahwa yang dimaksud dengan lelaki di atas adalah lelaki muslim yang sezaman dan pernah hidup bersama Rasulullah saw., serta pernah belajar dari beliau, yang semua itu adalah memenuhi kriteria sahabat menurut ajaran Ahlusunnah wal Jama’ah.

Mari kita teliti dan renungkan kata demi kata dari ajaran Rasulullah saw. terhadap salah seorang sahabat itu sewaktu beliau mengajarinya tata cara bertawassul melalui diri Muhammad sebagai Rasulullah saw., satu ‘kedudukan’ (jah) tinggi di sisi Allah. Sengaja kita ambil rujukan dari Ibnu Taimiyah agar pengikut sekte Wahabi memahami dengan baik apa sinyal dibalik tujuan kami menukil dari kitab syeikh mereka itu, agar mereka berpikir.

2. Hadits yang diriwayatkan oleh Bukhori dari Anas bin Malik :

عَنْ أنَسِ, أنَّ عُمَرَبْنَ الخَطَّابِ كَانَ إذَاقُحِـطُوْا إستَسْـقَى بِالعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَّلِبِ فَقَالَ: اللهُـمَّ إنَّـا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَنَسْقِيْنَا وَإنَّا نَتَوَسَّلُ إلَيْكَ بَعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا قَالَ فَيُسْقَوْنَ (رواه البخاري)

Bahwasanya jika terjadi musim kering yang panjang, maka Umar bin Khattab memohon hujan kepada Allah dengan bertawassul dengan Abbas Ibnu Abdul Muthalib. Dalam do’anya ia berkata; ‘Ya Allah, dulu kami senantiasa bertawassul kepada-Mu dengan Nabi saw. dan Engkau memberi hujan kepada kami. Kini kami bertawassul kepada-Mu dengan paman Nabi kami, maka berilah hujan pada kami’. Anas berkata; ‘Maka Allah menurunkan hujan pada mereka’ ”. (Lihat: Kitab “Shohih Bukhari” 2/32 hadits ke-947 dalam Bab Shalat Istisqo’)

Perbuatan khalifah Umar dengan tawassul pada paman Nabi saw. tidak seorang pun dari sahabat Nabi yang mengingkari, mensyirikkan atau tidak membenarkan prakarsa khalifah ini. Khalifah Umar ra. yang sudah terkenal dikalangan kaum muslimin masih menyertakan paman Rasulullah saw. didalam do’anya kepada Allah swt., apalagi kita-kita ini.

3. Imam an-Nawawi dalam kitab ‘al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab’ (Jilid: 5 Halaman: 68) dalam Kitabus-Shalat dan dalam Babus-Shalatul-Istisqo’ yang menukil riwayat bahwa Umar bin Khattab telah memohon do’a hujan melalui Abbas (paman Rasulullah) dengan menyatakan: ‘Ya Allah, dahulu jika kami tidak mendapat hujan maka kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami, lantas engkau menganugerahkan hujan kepada kami. Dan kini, kami bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi-Mu, maka turunkan hujan bagi kami ’. Kemudian turunlah hujan”. (Ibnu Hajar juga menyatakan bahwa; Abu Zar’ah ad-Damsyiqi juga telah menyebutkan kisah ini dalam kitab sejarahnya dengan sanad yang shohih).

4. Ibnu Hajar dalam kitab ‘Fathul Bari’ (Syarah kitab Shohih al-Bukhari) pada jilid:2 halaman: 399 dalam menjelaskan peristiwa permintaan hujan oleh Umar bin Khatab melalui Abbas, menyatakan: “Dapat diambil suatu pelajaran dari kisah Abbas ini yaitu, dimustahabkan (sunah) untuk memohon hujan melalui pemilik keutamaan dan kebajikan, juga ahlul bait (keluarga) Nabi”.

5. Ibnu Atsir dalam kitab ‘Usud al-Ghabah’ (Jilid: 3 Halaman: 167) dalam menjelaskan tentang pribadi (tarjamah) Abbas bin Abdul Mutthalib pada nomor ke-2797 menyatakan: “Sewaktu orang-orang dianugerahi hujan, mereka berebut untuk menyentuhi Abbas dan mengatakan: ‘Selamat atasmu wahai penurun hujan untuk Haramain’. Saat itu para sahabat mengetahui, betapa keutamaan yang dimiliki oleh Abbas sehingga mereka mengutamakannya dan menjadikannya sebagai rujukan dalam bermusyawarah”.

Dalam kitab yang sama ini disebutkan bahwa Muawiyah telah memohon hujan melalui Yazid bin al-Aswad dengan mengucapkan:

Ya Allah, kami telah meminta hujan melalui pribadi yang paling baik dan utama di antara kami (sahabat). ’ Ya Allah, kami meminta hujan melalui diri Yazid bin al-Aswad’. Wahai Yazid, angkatlah kedua tanganmu kepada Allah. Kemudian ia mengangkat kedua tangannya diikuti oleh segenap orang (yang berada di sekitanya). Maka mereka dianugerahi hujan sebelum orang-orang kembali ke rumah masing-masing’.

Namun, yang lebih disayangkan lagi ada sebagian ulama yang mengakui keshohihan riwayat-riwayat yang berkaitan dengan tawassul dan tabarruk, tapi mereka berani memutar balik maknanya dan sampai-sampai berani melarang dan mensyirikkan hal tersebut pada orang yang mengamalkannya! Na’udzubillah.

Riwayat di atas memberikan pelajaran kepada kita bagaimana Khalifah Umar –sahabat Rasulullah saw.– melakukan hal yang pernah diajarkan Rasulullah kepada para sahabat mulia beliau saw..

Walaupun riwayat di atas menunjukkan bahwa Umar bin Khattab bertawassul kepada manusia yang masih hidup, akan tetapi hal itu tidak berarti secara otomatis riwayat di atas dapat menjadi bukti bahwa bertawassul kepada yang telah wafat adalah ‘haram’ (entah karena alasan syirik atau bid’ah), karena tidak ada dalil baik dari firman Ilahi atau Sunnah Rasulullah saw. yang menyatakan kalau tawassul pada orang yang telah wafat itu haram sedangkan pada orang yang masih hidup dibolehkan! Sebenarnya tawassul pada pribadi seseorang -baik yang masih hidup maupun telah wafat- itu inti/pokoknya adalah sama, yaitu berdo’a kepada Allah swt. sambil menyertakan nama pribadi seseorang itu. Kalau ini dilarang berarti semua bentuk tawassul itu harus diharamkan juga.

Apakah golongan pengingkar ini lupa atau pura-pura lupa bahwa nabi Adam as. bertawassul pada Nabi saw. -yang antara lain diriwayatkan oleh ulama pakar yang mereka andalkan yaitu Syeikh Ibnu Taimiyyah-, begitu juga mengenai tawassul Nabi Yusuf a.s kepada beliau saw., tawassul mereka pada Nabi saw. yang mana beliau bukannya sudah wafat malah belum dilahirkan dialam wujud ini!  Begitu juga tawassul Rasulullah saw. kepada para Nabi sebelum beliau saw.

Di tambah lagi nanti terdapat riwayat lain yang menjelaskan bahwa sebagian sahabat –sesuai dengan pemahaman mereka dari apa yang diajarkan Rasulullah saw.– juga melakukan tawassul kepada seseorang yang secara dhahir telah mati. 

Yang jelas, riwayat di atas dengan tegas menjelaskan akan dibolehkannya tawassul/istighotsah dan menyangkal pendapat madzhab Wahabi dan pengikutnya yang mengatakan bahwa bertawassul adalah perbuatan sia-sia dan bertentangan dengan –Maha Mendengar dan Maha Mengetahui– Allah swt.. Juga sekaligus menjelaskan legalitas tawassul melalui diri selain Rasulullah saw. (Abbas bin Abdul Mutthalib) dan kedudukan (sebagai paman manusia termulia) di hadapan Allah swt..


No comments:

Post a Comment