Ibnu Taimiyyah disalah satu kitabnya Qa’idah Jalilah
Fit-Tawassul Wal-Washilah dalam pembicaraannya mengenai tafsir ayat
Al-Qur’an Al-Maidah: 35 menulis: ‘Hai orang-orang yang beriman, hendaklah
kalian bertakwa kepada Allah dan carilah washilah….’ antara lain mengatakan:
“Mencari washilah atau bertawassul untuk
mendekatkan diri kepada Allah swt. hanya dapat dilakukan oleh orang yang
beriman kepada Muhammad Rasulullah saw. dan mengikuti tuntunan agamanya.
Tawassul dengan beriman dan taat kepada beliau saw. adalah wajib bagi setiap
orang, lahir dan bathin, baik dikala beliau masih hidup maupun setelah wafat,
baik langsung dihadapan beliau sendiri atau pun tidak.
Bagi setiap muslim,
tawassul dengan iman dan taat kepada Rasulullah saw. adalah suatu hal yang
tidak mungkin dapat ditinggalkan. Untuk memperoleh keridhoan Allah dan
keselamatan dari murka-Nya tidak ada jalan lain kecuali tawassul dengan beriman
dan taat kepada Rasul-Nya. Sebab, beliaulah penolong (Syafi’) umat manusia.
Beliau
saw. adalah makhluk Allah termulia yang dihormati dan diagungkan oleh
manusia-manusia terdahulu maupun generasi-generasi berikutnya hingga hari
kiamat kelak. Diantara para Nabi dan Rasul yang menjadi penolong umatnya
masing-masing.
Muhammad Rasulullah saw. adalah penolong (Syafi’) yang paling
besar dan tinggi nilainya dan paling mulia dalam pandangan Allah swt. Mengenai
Nabi Musa as. Allah swt. berfirman, bahwa Ia mulia disisi Allah. Mengenai Nabi
Isa a.s. Allah swt. juga berfirman bahwa Ia mulia didunia dan diakhirat, namun
dalam firman-firman-Nya yang lain menegaskan bahwa Muhammad Rasulullah saw.
lebih mulia dari semua Nabi dan Rasul. Syafa’at dan do’a beliau pada hari
kiamat hanya bermanfaat bagi orang yang bertawassul dengan iman dan taat kepada
beliau saw.”
Demikianlah pandangan Ibnu Taimiyyah mengenai tawassul.
Dalam kitabnya Al-Fatawil-Kubra (I :140), Ibnu
Taimiyyah menjawab atas pertanyaan: Apakah tawassul dengan Nabi Muhammad saw.
diperbolehkan atau tidak? Ia menjawab:
“Alhamdulillah
mengenai tawassul dengan mengimani, mencintai, mentaati Rasulullah saw. dan
lain sebagainya adalah amal perbuatan orang yang bersangkutan itu sendiri,
sebagaimana yang di perintahkan Allah kepada segenap manusia. Tawassul
sedemikian itu dibenarkan oleh syara’ dan dalam hal itu seluruh kaum muslimin
sependapat.”
Dari perkataan Ibnu Taimiyyah di atas kita dapat
diambil dua pengertian:
1. Seorang Muslim yang taat,
mencintai dan mengikuti tuntunan Rasulullah saw. serta mempercayai syafa’at
beliau, dapat dibenarkan kalau ia bertawassul dengan ketaatannya, kecintaannya
dan kepatuhannya mengikuti tuntunan beliau saw.
Kita bertawassul dengan Nabi kita Muhammad saw. dibawah
kesaksian Allah swt., bahwa tawassul kita itu benar-benar atas dasar keimanan
dan kecintaan kita kepada beliau saw. Tambah lagi dengan keyakinan kita bahwa
beliau saw. adalah seorang Nabi dan Rasul yang sangat mulia dan amat tinggi
martabatnya dalam pandangan Allah swt.
Itulah yang melandasi tawassul kita dengan beliau saw.
dalam usaha mendekatkan diri kepada Allah swt.. Tidak ada seorang pun
dikalangan kaum muslimin yang dalam bertawassul dengan Nabi saw. tidak dengan
didasari pengertian seperti itu atau pengertian-pengertian lain yang tidak
semestinya. Hanya saja, ada yang dalam bertawassul mengucapkan pengertian itu
dengan lisan, ada pula tidak. Namun dapat dipastikan semuanya tidak mem- punyai
pengertia selain itu.
2. Ibnu Taimiyyah mengatakan, bahwa
barang siapa yang dido’akan oleh Rasulullah saw. ia dapat bertawassul dengan
do’a beliau. Mengenai itu kita mempunyai keyakinan, bahwa Rasulullah saw.
senantiasa mendo’akan umatnya.
Hal ini kita ketahui dari berbagai hadits, antara lain
yang di riwayatkan oleh ‘Aisyah ra.:
“Aku
tahu benar bahwa Rasulullah saw. orang yang baik hati, karena itu aku berani
berkata kepada beliau: ‘Ya Rasulullah, berdo’alah untukku’. Kemudian beliau
berdo’a; ‘Ya Allah, limpahkanlah ampunan-Mu bagi ‘Aisyah atas segala dosanya
dimasa lalu dan dimasa mendatang, yang diperbuat secara diam-diam maupun secara
terang-terangan’. Aisyah ra tertawa.
Kepadanya
Rasulullah saw. bertanya: ‘Apakah engkau gembira mendengar do’aku? Ia menjawab:
‘Bagaimana aku tidak gembira karena do’a anda’? Rasulullah saw. kemudian
menegaskan: ‘Itulah do’a bagi umatku yang kuucapkan setiap sholat’”. (Hadits ini dikemukakan oleh
Al-Bazar dengan para perawi hadits shohih, dan Ahmad bin Manshur Ar-Ramadiy
sebagai orang yang dapat dipercaya, demikianlah menurut kitab
Majma’uz-Zawa’id).
Karena itu setiap muslim boleh bertawassul dengan Nabi
Muhammad saw. dalam memanjatkan do’a kepada Allah swt. Misalnya dengan
mengucapkan:
“Ya
Allah, Nabi dan Rasul-Mu Muhammad saw. telah berdo’a bagi umatnya, dan aku ini
seorang dari umat beliau. Dengan do’a beliau aku bertawassul mohon kepada-Mu,
ya Allah, agar diampuni segala dosa dan kesalahanku dan dikarunia rahmat-Mu….”
Dan seterusnya menurut apa yang di inginkan. Iapun
boleh menyingkat do’a yang diucapkannya itu cukup dengan menyebut:
“Ya
Allah kupanjatkan do’a kepadamu dengan bertawassul pada Nabi dan Rasul-Mu,
Muhammad saw….dan seterusnya”.
Dengan kalimat singkat ini ia telah mengungkapkan isi
hatinya sesuai dengan kalimat dalam do’a yang panjang sebelumnya. Dengan
berdo’a seperti di atas ini tidak menyalahi ketentuan yang telah disepakati
oleh para ulama Islam!!
No comments:
Post a Comment