KAFIR DAN TINGKATANNYA



Alloh telah berfirman dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 221:

Janganlah kamu kawini perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Perempuan budak yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik sekalipun ia menarik hatimu. Dan juga janganlah kamu mengawinkan (perempuanmu) dengan laki-laki musyrik sebelum mereka beriman. Seorang laki-laki budak beriman lebih baik daripada seorang laki-laki musyrik sekalipun ia menarik hatimu. Mereka (kaum musyrik) akan membawa ke dalam api (neraka).”

Dan dalam surat al-Mumtahanah ayat 10:

Wahai orang-orang yang beriman, apabila perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah sungguh mengetahui keimanan mereka. Bila kamu mengetahui bahwa mereka benar-benar beriman, janganlah kamu mengembalikan mereka kepada orang-orang kafir. Mereka tidak halal bagi laki-laki kafir itu tak halal bagi mereka (perempuan-perempuan mukmin).”

Dua ayat di atas menurut ar-Razi termasuk kedalam ayat Madaniyah yang pertama kali turun dan membawa pesan khusus agar orang-orang Muslim untuk tidak menikahi wanita musyrik atau sebaliknya. Ayat tersebut sebagai ayat eksplisit yang menjelaskan hal-hal yang halal (mâ yuhallu) dan hal-hal yang dilarang (mâ yuhramu),[1] dan menikahi orang musyrik merupakan salah satu perintah Tuhan dalam kategori  haram  dan  dilarang.

Jika ayat tersebut dibaca secara literal dapat disimpulkan seketika bahwa menikahi non-muslim baik perempuan atau laki-laki  hukumnya  adalah haram. Cara pandang demikian dikarenakan sebagian masyarakat muslim masih beranggapan bahwa yang termasuk dalam kategori musyrik adalah non-muslim, yang termasuk di dalamnya adalah Kristen dan Yahudi. Dalam hal ini Nurcholish dan para pemikir Paramadina dalam buku-bukunya mempertanyakan mengenai apakah non-muslim (Kristen dan Yahudi) termasuk kedalam kategori musyrik, jika tidak demikian, maka perlu memperjelas maksud musyrik dalam Qur’an.[2]

Sebagian ulama berpendapat bahwa dalam beberapa ayat di dalam Al-Qur’an menyebutkan Kristen dan Yahudi sebagai musyrik. Hal demikian seperti halnya pada QS. at-Taubah ayat 30 dan 31 sebagai berikut:  

Orang-orang Yahudi berkata Uzair putera Allah dan orang Nasrani berkata Al-Masih itu putera Allah. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu. Dilaknati Allah-lah mereka,  bagaimana  mereka  sampai berpaling.”

Mereka menjadikan orang-orang alimnya dan rahib-rahib mereka selain Tuhan selain Allah,[3] dan juga (mereka mempertuhankan) Al-Masih putera maryam; padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan yang Maha Esa, tiada Tuhan yang berhak disembah selain Ia. Maka Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.”

Kategori musyrik terhadap dua agama samawi tersebut dikarenakan orang-orang Yahudi menganggap Uzair sebagai anak Tuhan, sementara Kristen menganggap Isa Al-Masih sebagai anak  Tuhan.82 Tetapi pandangan demikian menurut Nurcholish, tidak  serta  merta dapat dijadikan peganggan, karena terdapat ayat lain yang  memberikan  paradigma berbeda tentang  musyrik,[4] misalnya  dalam Surat al-Baqarah ayat 105 disebutkan:

Orang-orang kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang (kafir) musyrik tidak mengingikan diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. Dan Allah menentukan siapa yang dikehendaki-Nya (untuk diberi) rahmat-Nya (kenabian) dan Allah mempunyai karunia yang besar.”

Kemudian surat al-Baiyyinah ayat 1 Allah juga menyebutkan:

Orang-orang kafir yakni Ahli Kitab dan orang-orang kafir musyrik (mengatakan bahwa mereka) tidak akan melepaskan (kepercayaan mereka) sebelum datang kepada mereka bukti yang nyata.”

Menurut pandangan dalam buku fikih lintas agama, dua ayat ini dan beberapa ayat-ayat lain, al-Qur’an menyebutkan kata penghubung wa (dan) antara kata kafir Ahli Kitab dengan kafir Musyrik. Hal ini berarti bahwa kedua kata tersebut (baik Ahli Kitab dan Musyrik) mempunyai arti dan makna yang berbeda. 

Syirik sebagai bentuk tindakan dari pelaku (musyrik), hemat penulis adalah mempersekutukan sesuatu dengan sesuatu yang lain. Dalam pandangan seperti demikian, seorang musyrik adalah siapa saja yang percaya bahwa ada Tuhan selain Tuhan. Jika hal demikian dibawa pada hal yang lebih general, maka siapa saja yang mempersekutukan Tuhan adalah musyrik. Orang-orang Kristen yang percaya tentang Trinitas misalnya, maka mereka termasuk  kedalam  kategori musyrik jika mengacu pada pandangan tersebut. 

Lain halnya dengan Quraish Shihab yang memberi pengertian yang sama namun dengan penyebutan yang berbeda terhadap dua ayat di atas itu.[5] Menurutnya, memang dua ayat ini menjelaskan ada dua macam orang kafir, pertama Ahli Kitab, dan kedua orang-orang musyrik. Itu adalah istilah yang digunakan oleh  al-Qur’an untuk  satu  substansi yang sama, yakni kekufuran dengan dua nama yang  berbeda, yaitu Ahli Kitab dan al-Musyrikun. Ini lebih kurang sama dengan kata korupsi dan mencuri. Walaupun substansi keduannya sama, yakni mengambil sesuatu yang bukan haknya, tetapi dalam penggunaannya berbeda, seperti pegawai yang mengambil bukan haknya disebut sebagai koruptor, sementara bila orang biasa bukan pegawai dinamai dengan pencuri.

Untuk memperjelas polemik mengenai kafir dalam perbedaan pendapat yang ada ini, ada baiknya kirannya dijelaskan lebih dulu beberapa keterangan tentang klasifikasi dan makna kafir, dengan maksud agar dapat menangkap gambaran yang jelas, apa dan siapa sebenarnya yang dimaksud dengan kafir itu. Dengan demikian, diharapkan akan dapat memberikan hipotesa sementara yang mungkin dapat mengarah pada sebuah jawaban sebagai jawaban di atas.

Kafir dalam pengertian etimologi berarti menutupi, istilah-istilah kafir (kufr) dalam al-Qur’an terulang sebanyak 525 kali yang kesemuannya dirujukkan kepada arti menutupi. Yaitu, menutup-nutupi nikmat dan kebenaran, baik kebenaran dalam arti Tuhan (sebagai sumber kebenaran) maupun kebenaran dalam arti ajaran-ajaran-Nya yang disampaikan melalui para rasul-Nya.[6]

Dalam hal ini terdapat tingkatan kekafiran yang mempunyai bobot yang berbeda-beda, sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an sebagai berikut: 

1. Kafir (kufringkar, yaitu kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap eksistensi Tuhan, Rasul-rasulnya, dan seluruh ajaran yang mereka bawa,

2. Kafir (kufrjuhud, yaitu kekafiran dalam arti pengingkaran terhadap ajaran-ajaran Tuhan dalam keadaan tahu bahwa apa yang diingkarinya itu adalah benar. Kafir juhud ini tidak jauh berbeda dengan kafir ingkar, hanya saja kafir juhud subjek hukum sebenarnya sadar akan kekliruannya,

3. Kafir munafik (kufr nifaq), yaitu kekafiran yang mengakui Tuhan, Rasul dan ajaran-ajarannya dengan lidah tetapi mengingkari dengan hati, menampakkan keimanan namun sejatinya menyembunyikan kekafiran.

4. Kafir (kufrsyirik, yang berarti mempersekutukan Tuhan dengan menjadikan sesuatu selain dari-Nya sebagai sesembahan, objek pemujaan, dan atau tempat menggantungkan harapan dan dambaan. Syirik digolongkan sebagai bentuk kekafiran sebab pebuatan tersebut mengingkari kekuasaan Tuhan disamping mengingkari Nabi-nabi dan wahyu-Nya.

5. Kafir (kufrnikmat, yakni tidak mensyukuri nikmat Tuhan dan menggunakan nikmat tersebut pada hal-hal yang tidak diridhoi-Nya. Dalam hal ini bisa jadi orang-orang muslim pun termasuk di dalamnya sebagaimana disebutkan dalam al-Qur’an sebagai berikut:

Surat Ali- Imrân ayat 97,

Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata (diantarannya) Maqam Ibrahim,[7] barang siapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi  amanlah dia, mengerjakan haji  adalah kewajiban manusia terhadap Allah yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.[8] Barang siapa yang mengingkari (kewajiban haji) maka sesungguhnya Allah Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari alam semesta.” 

Dan surat al-Naml ayat 40,

Berkatalah seseorang yang mempunyai ilmu dari Ahli kitab Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak dihadapannya, ia pun berkata: ini termasuk karunia Tuhan untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau mengingkari akan (nikmat-Nya). Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha Mulia.”

6. Kafir (kufrmurtad, yaitu kembali menjadi kafir sesudah atau beriman kepada Allah kemudian keluar dari Islam.

7.  Kafir Ahli Kitab, ialah non-muslim yang percaya kepada Nabi dan kitab suci yang diwahyukan Tuhan melalui Nabi kepada mereka.

Selain kategori tersebut di atas, sebenarnya masih ada lagi beberapa jenis kekafiran yang lain. Dengan demikian dapat diambil sebuah kesimpulan sementara, bahwa istilah kafir mencakup makna yang cukup luas, dimana di dalamnya terdapat istilah-istilah yang lebih khusus yang arti dan maknanya berbeda satu sama lain.[9]

Allah secara jelas dan eksplisit, menyatakan dalam kitab suci-Nya tentang Ahli Kitab, bahwa kepercayaan mereka didasarkan pada perbuatan syirik, seperti yang mereka katakan. Hal demikian tertuang dalam firman-Nya surat  al-Mâidah ayat 17 sebagai berikut:

Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata sesungguhnya Allah itu ialah Al-Masih putera Maryam katakanlah: Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalangi kehendak Allah, jika Ia hendak membinasakan Al-Masih putera Maryam itu beserta ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi semuannya? Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang diantara keduannya, Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” 

Pada surat yang sama ayat 73 juga disebutkan:

Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan bahwasannya Allah salah satu dari yang tiga padahal sekali-kali tidak ada Tuhan Yang Esa. Jika mereka tidak behenti dari apa yang mereka katakan itu pasti orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih.”

Begitu pula dengan orang-orang Yahudi yang disebutkan dalam firman-Nya pada surat at-Taubah ayat 30 sebagai berikut:

Orang-orang Yahudi berkata Uzair putera Allah dan orang Nasrani berkata Al-Masih itu putera Allah. Demikian itulah ucapan mereka dengan mulut mereka, meniru perkataan orang-orang kafir terdahulu.  Dilaknati  Allah-lah mereka, bagaimana mereka sampai berpaling.”

Perkataan Ahli Kitab ini (baik Nasrani dan Yahudi) adalah merupakan perbuatan syirik kepada Tuhan. Namun, sebagai wahyu yang datang langsung dari Allah telah memilih dan menempatkan kata dari istilah yang berbeda, oleh karena al-Qur’an tidak pernah menyebut keduanya sebagai musyrik sebagai panggilan dan istilah bagi mereka, yang ada di dalamnya adalah penyebutan Ahli Kitab.[10]




[1] Muhammad Ar-Razi, Tafsir Al-Kabîr wa Mafâtih Al-Ghayb (Beirut: Dâr al-Fikr, 1996)
[2] Nurcholish  Madjid  dkk,  Fiqih  Lintas  Agama;  Membangun  Masyarakat  Inklusif-Pluralis  (Cet.  VII Jakarta: Paramadina, 2005) 155
[3] Maksudnya adalah mereka mematuhi ajaran-ajaran orang-orang alim dan rahib-rahib mereka dengan membabi  buta,  biarpun  orang-orang  alim  dan  rahib-ahib  itu  menyuruh  membuat  ma’siat  atau mengharamkan yang halal.
[4] Nurcholish Madjid dkk., Loc-Cit.,
[5] Qurash Shihab, Tafsîr  al-Mishbâh; Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur an Vol. 1, 3, 14 (Cet. IX, Tangerang: Lentera Hati) 474
[6] Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr dalam Al-Qur an (Jakrta: Bulan Bintang, 1991) 31
[7] Ialah tempat Nabi Ibrahim a.s. saat berdiri membangun Ka’bah. Lihat al-Qur an dan Tejemahannya, ibid., 97
[8] yakni, orang-orang yang sanggup mendapatkan  perbekalan  dan  alat-alat  pengangkutan  serta  sehat jasmani dan pejalannannya pun aman.
[9] Nurcholish Madjid dkk, Fiqih  Lintas  Agama;  Membangun  Masyarakat  Inklusif-Pluralis  (Cet.  VII Jakarta: Paramadina, 2005), 157
[10] Nurcholish Madjid dkk, Loc-Cit.,158

No comments:

Post a Comment