KEADILAN DALAM POLIGAMI MENURUT FIQH MADZHAB SYAFI’I


Orang yang mempunyai isteri lebih dari seseorang wajib menjaga keadilan antara isteri-isterinya dengan seadil-adilnya, terutama menurut lahiriyahnya, Firman Allah SWT:

Dan tidak sekali-kali kamu mampu melakukan keadilan antara kaum wanita (isterimu), walaupun kamu benar-benar mengharapkan keadilan itu, maka janganlah kamu tumpahkan seluruh kasih sayang itu (kepada isteri yang kamu cintai) hingga kamu meninggalkan isterimu yang lain, seperti orang-orang yang digantung tak bertali.  Apabila kamu mau berbuat baik serta kamu takut kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Pengasih.”(Q.S. An-Nisa: 129)

Maksudnya, sekali-kali kamu tidak akan sanggup berlaku adil antara isteri-isterimu. Oleh sebab itu, apabila kamu tampakkan seluruh kecintaanmu itu kepada salah seorang isterimu saja, tentu isteri yang lain berarti kamu sia-siakan, apalagi tidak kamu kunjungi.  Nasib isterimu yang tak dikunjungi itu tak ubahnya seperti perempuan yang digantung tak bertali. Dikatakan bersuami, tidak  ada  suami, dikatakan janda ternyata masih bersuami. Oleh karena itu, jika  kamu  berdamai, karena takut melanggar, itulah yang lebih baik.[1]

Hadits Rasulullah SAW menyatakan:

Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi, beliau bersabda, “Barangsiapa yang beristeri dua orang, lalu ia cenderung kepada salah seorang antara keduanya (tidak adil) ia datang di hari kiamat dengan badan miring.” (H.R. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasa’I, dan Ibnu Hiban)

Dalam tafsir al-Maraghi dapat disimpulkan mengenai keadilan berpoligami yang terkandung dalam Surat al-Nisa’: 129, bahwa diwajibkan bagi suami memelihara keadilan semaksimal mungkin diantara para isterinya. Meskipun merupakan hal yang mustahil ditegakkan tetapi hendaklah berusaha bersikap adil semaksimal mungkin sehingga tidak membuat para isteri diabaiakan.

Keadilan yang dibebankan oleh Allah disesuaikan dengan kemampuan suami yaitu memperlakukan para isteri dengan baik dan tidak mengutamakan sebagian yang lain dalam hal-hal yang termasuk dalam ikhtiar, seperti pembagian dan nafkah. Dan Allah SWT akan mengampuni dalam selain hal tersebut seperti kecintaan, kelebihan penyambutan dan lain sebagainya.[2]

Yang dimaksud dengan pembagian yang seadil-adilnya, ialah dalam hal pembagian giliran dan pemberian nafkah. Nafkah sendiri meliputi: biaya hidup (nafaqoh), pakaian (kiswa), dan tempat tinggal (maskan).[3] Dalam hal ini Allah SWT berfirman:

“…Dan  para  wanita  mempunyai  hak  yang  seimbang  dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf…”

Adapun perkara membagi kecintaan dan kasih sayang, tidak seorangpun dibebani sebab soal menjatuhkan cinta dan kasih sayang didalam hati, bukanlah urusan manusia tetapi urusan Allah. Oleh sebab itu, soal cinta dan kasih sayang boleh berlebih-lebih, sebab berada diluar kekuasaan manusia. Maka apa yang dinyatakan Allah dalam ayat, “Dan tidak sekali-kali kamu sanggup melakukan keadilan”, ialah dalam perkara cinta itu dan bukan keadilan lahiriah.

Hadits Rasululloh SAW menyebutkan, dari ‘Aisyah r.a. berkata:

’Aisyah r.a., ia berkata, “Nabi SAW membagi-bagi sesuatu antara isteri-isterinya secara seadil-adilnya dan beliau berkata, “Ya Allah, inilah cara pembagianku (yang dapat aku) lakukan pada sesuatu yang aku miliki (pembagian nafkah, pakaian, dan lain-lain), maka janganlah Engkau cela aku pada barang yang Engkau miliki (kecintaan di daam hati), dan itu tak dapat aku miliki.” (H. R. Abu Dawud dan Tirmizi)

  Hadits tersebut sebagai penguat kewajiban melakukan pembagian yang adil terhadap isteri-isterinya yang merdeka dan makruh bersikap berat sebelah dalam menggaulinya, yang berarti mengurangi haknya, tetapi tidak dilarang untuk lebih mencintai perempuan yang satu daripada lainnya, karena masalah cinta berada di luar kesanggupannya.[4]

Mayoritas ulama fiqh (ahli hukum Islam) menyadari bahwa keadilan kualitatif adalah sesuatu yang sangat mustahil bisa diwujudkan. Abdurrahman al-Jaziri menuliskan bahwa mempersamakan hak atas kebutuhan seksual  dan kasih sayang di antara isteri-isteri yang dikawini bukanlah kewajiban bagi orang yang berpoligami karena sebagai manusia, orang tidak akan mampu berbuat adil dalam membagi kasih sayang dan kasih sayang itu  sebenarnya  sangat naluriah. Sesuatu yang wajar jika seorang suami hanya tertarik pada salah seorang isterinya melebihi yang lain dan hal yang semacam ini merupakan sesuatu yang di luar batas kontrol manusia.[5]

Mengenai perempuan-perempuan yang durhaka, tidak wajib diberikan keadilan kepadanya, baik belanja, pakaian, tempat dan sebagainya. Adapun tanda-tanda durhakanya ialah bila melanggar salah satu dari kewajibannya terhadap suaminya, yang sampai mengakibatkan suami marah kepadanya, dengan catatan suami telah berulang kali mengingatkannya.

a.  Adil dalam Pembagian Giliran

Salah satu pembagian yang penting dilakukan oleh suami terhadap para isterinya ialah pembagian giliran. Jika ia bekerja siang, hendaklah mengadakan penggiliran di waktu malam, begitu pula sebaliknya jika ia bekerja malam, hendaklah diadakan giliran di  waktu  siang. Apabila telah bermalam di rumah isterinya yang seorang, ia harus bermalam pula di rumah isterinya yang lain. Masa gilir bagi seorang isteri paling pendek adalah satu malam; yaitu terhitung mulai matahari terbenam hingga terbit fajar. Adapun yang paling lama adalah tiga malam.[6]

Firman Allah SWT Dalam surat Yunus ayat 67 :

Dia (Allah) yang telah menjadikan malam untukmu supaya kamu beristirahat padanya, dan waktu siang untuk mencari penghidupan.” (Q.S. Yunus: 67)

Selain itu Allah SWT juga berfirman dalam surat al-Nisa’ ayat 19:

“…dan bergaullah dengan mereka secara patut...”

Apabila ia sedang berada dalam giliran yang seorang, haram baginya masuk ke rumah isterinya yang lain, kecuali kalau ada keperluan penting, misalnya karena isterinya sedang sakit keras  atau sedang dalam bahaya dan lain-lain. Dalam keadaan demikian, ia boleh masuk ke rumah isterinya itu.[7] Demikian juga, bila antara isteri-isterinya itu ada kerelaan dalam masalah tersebut.[8]

Hadits Rasulullah SAW menyatakan:

Dari ‘Aisyah r.a. berkata, “Rasulullah SAW, tidak melebihkan sebagian kami di atas yang lain, dalam pembagian waktu untuk kembali pada kami. Sekalipun sedikit sekali waktu bagi Rasulullah, beliau tetap bergilir kepada kami, dan didekatinya tiap-tiap isterinya, tanpa mencampurinya hingga ia sampai kepada isterinya yang mendapat giliran itu, lalu ia bermalam di rumahnya.” (H.R. Abu Dawud dan Ahmad)

Dalam Hadits lain dinyatakan:

Dari Anas r.a., ia berkata, “Nabi SAW bergilir kepada isteri-isterinya pada suatu malam, dan ketika itu ada Sembilan orang isteri.”  (H.R. Bukhari dan Muslim)

Kedua keterangan ini atas dasar merelakan antara isteri dan isteri lainnya. Kejadian ini adalah di kalangan isteri Nabi sehingga tidak  mungkin  terjadi perselisihan antara mereka.[9]

Seorang suami boleh masuk ke rumah isteri yang bukan gilirannya di siang hari lantaran suatu keperluan, misalnya hendak meletakkan dagangan atau mengambilnya, menjenguk, memberikan nafkah dan mencari berita darinya, asalkan tidak berlama-lama tinggal melebihi keperluan menurut kebiasaan. Bila ia berlama-lama melebihi keperluan, maka ia (suami) berbuat dosa lantaran menyimpang, dan ia wajib mengqadha untuk isteri yang  tengah  digilir  itu sepanjang  diamnya di tempat isteri lain yang dimasuki. Ini adalah pendapat menurut madzhab (Syafi’i) dan lainnya.[10]

Menurut kesimpulan al-Minhaj, Ashlu al-Minhaj, al-Raudloh dan Ashlu al-Raudloh, adalah berselisih dengan pendapat di atas, mengenai masalah bila suami memasuki tempat isteri yang bukan gilirannya di siang hari, lantaran ada keperluan (sekalipun lama disana), dan tidak wajib menyamaratakan dalam kadar ukuran tinggal suami pada waktu pokok, misalnya waktu siang, karena waktu yang bukan pokok adalah waktu yang tidak tenang, yang terkadang bisa sebentar juga bisa lama.[11]

Mengenai kehalalan masuk pada isteri yang bukan gilirannya (lantaran darurat atau keperluan), maka diperbolehkan bercinta, tetapi haram menjimak (menyetubuhi). Keharaman ini bukan keadaan perjimakan itu sendiri, tetapi perkara lain.  Suami juga tidak wajib mengqadha jimak tersebut, sebab hal ini berkaitan dengan kesanggupan, akan tetapi wajib mengqadha waktu yang digunakan untuk jimak, apabila waktunya dianggap lama menurut kebiasaan.[12]

Sunah menyama-ratakan di antara istri dalam segala macam istimta’ dan suami tidak dapat dikenakan sanksi lantaran kecondongan hatinya kepada salah satu istrinya. Sunah juga tidak menganggurkan para istri, yaitu hendaklah suami menginapi mereka.

Menyamaratakan dalam menggilir di antara beberapa istri adalah wajib hukumnya. Di dalam menyamaratakan itu dihitung dengan tempat dan waktunya. Sekurang-kurangnya giliran isteri ialah satu malam dan sebanyak-banyaknya tiga malam. Tidaklah boleh lebih dari tiga hari sebab mengurangi kesempatan isteri-isteri yang lain. Giliran yang lebih dari tiga hari itu berarti telah mengambil hak yang lain. Andaikata ia meninggal dalam waktu giliran yang lebih itu, ia telah durhaka.[13]

Hikmah dibalik penentuan tiga malam sebagai waktu maksimal untuk giliran bagi tiap-tiap istri ialah, sesuai dengan ketentuan dalam syari’at pada umunya menggunakan bilangan tiga (tatsliyts), dan tidak melebihkannya. Misalnya, dalam masalah bersuci. Dalam hal poligami, jika seseorang memiliki empat istri dan masing-masing istri  mendapatkan giliran satu malam (satu hari), maka dalam jangka waktu tiga hari giliran itu akan kembali lagi kepada istri yang mendapatkan giliran pertama. Selain itu, seorang wanita (istri) pada umumnya mampu menahan untuk tidak berkumpul dengan suami paling lama hanya empat hari. Jadi dengan penentuan giliran tersebut masing-masing istri tidak akan merasa diterlantarkan oleh suaminya.[14]

Sedangkan menurut Musfir al-Jahrani, bahwa para suami yang memiliki isteri lebih dari satu orang harus mempunyai pembagian jadwal yang jelas, harus sama bagi isteri yang sehat, sakit, haid atau nifas, karena yang dimaksud dengan bermalam bersamanya (suami-isteri) itu adalah hiburan dan kesenangan bagi isteri meskipun tanpa bersetubuh.[15] Karena itu, suami  wajib menginapi istri dari istri-istri yang lainnya, sekalipun terdapat udzur  untuk  mereka,  misalnya sakit  dan haid.[16]

Menurut Hasbi As-Siddiqi tentang ‘membagi malam kepada para isteri adalah wajib dan dalam hal j1ma’ (bers4tubuh)’, tidak wajib disamakan banyaknya hanya disunnatkan saja, serta boleh para suami tidak menj1ma’i isterinya atau tidak meny3tubuhi salah seorang saja.[17]

Hukum  perkawinan menurut madzhab  Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali Dalam pasal 71 ayat 1, suami yang mempunyai isteri lebih dari seorang haruslah mengatur giliran dengan adil kepada isteri-isterinya itu. Ayat 2 persetujuan isteri-isteri dapat memberi kebebasan kepada suami untuk mengatur giliran itu menurut kebijaksanaannya.

Penjelasan pasal di atas bahwa dengan persetujuan isteri-isteri dapatlah suami mengatur giliran itu menurut mustinya, misalnya sama-sama satu, dua atau tiga malam untuk masing-masing isteri.[18]

Bila seorang laki-laki menikahi lebih dari seorang perempuan dan diantaranya ada perempuan yang masih gadis maka si isteri yang masih gadis memiiki hak untuk menuntut suaminya pada permulaan hari pernikahannya itu untuk bermalam di rumahnya selama tujuh malam termasuk siangnya. Akan tetapi, jika yang dinikahinya itu perempuan janda, hak baginya agar suaminya bermalam hanya selama tiga malam pada permualan hari pernikahan itu. Sesudah itu barulah diatur giliran seadil-adilnya.[19]

Hadits Rasululah SAW menyatakan:

Dari Anas r.a., berkata “Sebagian sunah Nabi SAW ialah apabila seorang laki-laki menikahi seorang gadis sesudah yang janda, bolehlah ia tinggal padanya selama tujuh malam, dan apabila ia mengawini perempuan yang sudah janda, boleh ia tetap padanya selama tiga hari, dan seterusnya diadakan giliran.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Dalam Hadits lain dinyatakan:

Dari Abu Bakar bin Abdurrahman r.a.  bahwa  Rasulullah  SAW  telah menikahi Ummu Salamah, lalu beliau bermalam padanya, ketika Rasulullah SAW hendak keluar, ditariknya kain Rasullah maka berkata Rasulullah SAW, “Jika aku kehendaki, aku tambahi waktunya untuk engkau, dan aku telah mencukupkan waktu untuk engkau bagi perempuan yang masih gadis tujuh malam dan bagi yang janda tiga malam.” (H.R. Muslim)

Hikmah dari tujuh malam untuk gadis dan tiga malam untuk janda ialah karena yang perempuan masih gadis itu masih banyak malunya untuk dipergauli, oleh sebab itu, ia diberi hak agar suaminya bermalam selam tujuh malam hingga hilang perasaan malunya terhadap suaminya. Adapun perempuan janda tidaklah semalu perempuan yang masih gadis dan dengan cepat dapat dibawa bergaul dalam rumah tangga.[20]

Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa para ulama sependapat bahwa yang menjadi syarat mutlak dalam poligami selain keadilan dalam memberi nafkah juga dipersyaratkan adil dalam pembagian waktu menggilir isteri-isterinya. Ketentuan waktu giliran  itu setidaknya tidak boleh kurang dari satu malam dan sebanyak-banyaknya tidak boleh lebih dari tiga malam, pembagian itu harus benar-benar adil dengan menjadikan praktek poligami Rasulullah SAW Sebagai tauladan, kecuali jika terdapat kerelaan diantara para isteri untuk memberikan waktu  gilirannya  kepada  isteri  yang  lain.

Meski begitu hendakah para suami tetap menjaga waktu bergilir itu dengan para isteri walaupun tanpa melakukan hubungan biologis. Karena tujuan dari pembagian giliran itu adalah untuk menjalin pergaulan yang baik (mu’asyaroh bi al-ma’ruf) dengan para isteri.[21]

Namun demikian terdapat pengecualian mengenai penetapan waktu bergilir ini terhadap seorang isteri yang baru dinikahi. Yakni diberikan waktu tujuh malam jika isteri yang baru dinikahi itu seorang gadis dan tiga malam jika yang dinikahi seorang janda. Setelah berakhir maka kembali kepada jadwal semula atau memperbaharui jadwal yang ada antara semua isteri tanpa mengurangi usaha untuk berlaku adil dalam hal waktu bergilir.  

Apabila suami menghendaki membawa salah seorang isterinya untuk bepergian, maka hendaklah melakukan undian terlebih dahulu di antara mereka, dan yang memperoleh undian itulah yang berhak untuk di ajak pergi. Bagi suami yang sedang bepergian tidak wajib mengadhai (mengganti) kepada isterinya yang ditinggal selama bepergian.[22]

Hadits Rasululah SAW menyatakan:

Dari ‘Aisyah r.a., ia berkata: “Rasulullah SAW bila ia hendak berjalan jauh diadakannya undian antara isterinya. Maka di antara mereka yang menang dalam undian itu, dengan dialah ia berjalan.  Dan Rasullah membagi waktu bagi tiap-tiapisterinya, harinya, dan malamnya.” (H.R. Bukhari dan Muslim)

Sesudah kembali dari perjalanan, hari yang dipakai oleh isteri yang turut berjalan itu tidak dihitung, melainkan kembali menurut giliranmereka. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafi’i:  apabila telah kembali (dari bepergian), maka dimulai lagi pembagian giliran baru tanpa  memperhitungkan hari-hari bersama istri yang menemaninya dalam perjalanan.[23]

b.  Adil atas Tempat Tinggal

Sudah menjadi kewajiban bagi seorang suami untuk memberikan nafkah bagi keluarganya, khususnya kepada isteri, salah satu diantara nafkah yang harus dipenuhi adalah memberikan tempat tinggal yang nyaman. Begitu pula dalam hal poigami, seorang suami selain dituntut beraku adil dalam pembagian waktu gilir, juga wajib memberikan tempat berteduh terhadap para isterinya. 

Allah SWT berfirman:

Tempatkanlah mereka (para isteri) dimana kalian bertempat tinggal menurut kemampuan kalian dan janganlah kalian menyusahkan mereka untuk menyempitkan hati mereka. Jika mereka (isteri-isteri yang dithalak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin.” (Q.S. al-Thalaq: 6).

Dalam sebuah Hadits, Rasululah SAW bersabda:

Takutlah kepada Allah dalam urusan wanita. Karena sesungguhnya kalian mengambil mereka dengan amanat Allah dan dihalalkan bagi kaian mencampuri mereka dengan kalimat Allah. Akan tetapi, mereka tidak boleh memasukkan seseorang ke tempat tidur kalian yang tidak kalian sukai. Jika mereka melakukan hal itu, maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak melukai. Juga diwajibkan atas kaian (suami) memberi nafkah dan pakaian kepada mereka (isteri) dengan cara yang baik.” (H.R. Muslim)

  Para ulama telah sepakat mewajibkan para suami memberikan nafkah kepada isteri mereka, kecuali yang berbuat nusyuz (durhaka) di antara mereka. Demikian dituturkan oleh Ibnu Qudamah, Ibnu Mundzir dan lainnya. Selanjutnya Ibnu Qudamah berpendapat:

Diperbolehkan memukul sekedar sebagai pelajaran(tidak melukai). Karena, seorang wanita itu terikat oleh suaminya yang berhak melarangnya mencari nafkah dan untuk itu sang suami wajib memberikan nafkah kepadanya.”[24]

Syekh Zainuddin al-Malibari dalam kitab fikih karangannya Fath al-Mu’in menyatakan, seorang suami wajib menyediakan tempat tinggal untuk isterinya, yang dapat memberikan rasa aman dan nyaman ketika si isteri sedang ditinggal suami bepergian, sekalipun tempat tinggal itu hasil pinjaman atau sewaan. Selain itu, jika si isteri sudah terbiasa atau membutuhkan seorang pelayan maka suami wajib menyediakannya.[25]

Disebutkan juga oleh Mahmud Yunus, dalam pasal 75 bahwa selain memberi makanan, suami wajib memberi pakaian, tempat kediaman, perkakas rumah, alat kebersihan dan khadam (pembantu).[26]

Dalam pasal 75 tersebut dijelaskan bahwa suami wajib menyediakan tempat kediaman untuk isterinya serta perkakas rumah. Seperti tempat tidur, kain selimut, bantal dan sebagainya. Menurut ‘Urf (adat) tiap-tiap negeri dan mengingat keadaan dan kedudukan suami isteri. 

Adapun mengenai tempat tinggal, maka haram hukumnya mengumpulkan antara dua isteri atau lebih banyak di satu tempat, kecuali dengan (ada) kerelaan di antara isteri-isterinya.[27]

Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa sebuah tempat tinggal bagi si isteri begitu penting, maka dari itu wajib bagi suami untuk menyediakannya. Jika tidak, dikhawatirkan akan terjadi suatu kecemburuan yang dapat menyebabkan perselisihan. Hal ini sangat  memungkinkan terjadi apabila para isteri tinggal bersama dalam satu tempat, kecuali jika ada pemahaman mendasar diantara para pihak istri untuk tetap hidup rukun  sesuai  dengan  tatanan Islam.

c.  Adil atas biaya hidup dan Pakaian

Kewajiban menafkahi bagi seorang suami selanjutnya ialah dalam hal biaya untuk kebutuhan hidup dan pakaian bagi isteri. Allah SWT berfirman:

Dan kewajiban seorang ayah memberi makan dan pakaian kepada ibu (isteri) dengan cara yang baik. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadarnya.” (Q.S. Al-Baqarah: 233)

Rasulullah SAW bersabda:

Hati mereka (isteri) itu atas kami, ialah berbuat baik kepada mereka tentang pakaian dan makanannya.” (H.R. Tirmidzi)[28]

  Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazy, menerangkan bahwa salah satu kewajiban suami terhadap isteri dalam hal nafkah, ialah memberikan makan sebanyak 2 mud untuk setiap hari beserta lauk pauknya, juga peralatan makan dan minum serta peralatan memasak,  selain itu wajib pula membelikan pakain yang berlaku menurut umum dalam hal masing-masing dari keduanya.[29]

Semua yang disebutkan di atas, yang meliputi makanan, lauk-pauk, alat-alatnya, pakaian, alas tidur dan alat pembersih, adalah wajib menjadi miliknya (isteri) dengan cara diserahkan tanpa harus ada ijab qabul. Isteri memiliki itu semua dengan cara mengambilnya.[30]

Imam Syafi’i berpendapat bahwa nafkah itu ditentukan besarnya. Atas orang kaya dua mud, atas orang yang sedang satu setengah mud, dan atas  orang miskin satu mud.[31]

Dalam menafsirkan ayat 233 surat al-Baqarah di atas, Ibnu Katsir menyatakan sebagai berikut: 

kewajiban seorang ayah (suami) memberi nafkah dan pakaian  terhadap ibu (isteri) dengan cara yang baik. Artinya sesuai dengan yang berlaku menurut kebisaaan di negeri mereka masing-masing, tetapi tidak boros dan juga tidak kikir, sesuai dengan kemampuannya, dan  bersikap pertengahan.”[32]

Yusuf Qardhawi berpendapat bahwa Syara’ tidak membatasi (tidak menentukan) batas nafkah terhadap isteri ini dengan kadar tertentu berapa dirham atau berapa rupiah besarnya. Tetapi yang wajib ialah memenuhi kebutuhan secara patut, kebutuhan itu berbeda-beda antara satu masa dengan yang lain, sesuai dengan situasi dan kondisi.[33]

Sesuai dengan yang diisyaratkan oleh al-Qur’an:

Hendaklah orang yang mampu, memberi nafkah menurut kemampuannya. Sedang bagi orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan oleh Allah kepadanya. Allah tidak membebankan  kepada  seseorang  melainkan sesuai dengan apa yang telah Allah berikan  kepadanya, Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”  (Q.S.  al-Thalaq: 7).

Secara tersurat beberapa pendapat di atas terdapat perbedaan. Akan tetapi, adanya perbedaan pendapat itu merupakan suatu kesimpulan induktif yang sempurna. Dari berbagai pendapat di atas, adalah wajibnya suami memberikan nafkah hidup kepada para isterinya, tanpa mengurangi hak-hak isteri. Sebab jika hak isteri kurang terpenuhi dan isteri merasa terdhalimi,  maka  isteri  berhak mengadukannya  kepada  pengadilan.[34]

Berdasarkan kondisi ini seorang hakim akan menuntut dari suami dua  pilihan, yaitu menahan isterinya dengan baik atau melepaskannya  (menceraikannya). Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah: 233.
 
Dari berbagai pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa, seorang suami mempunyai kewajiban untuk memberi nafkah hidup dan pakaian kepada isterinya, sesuai dengan kondisi keduanya. Jika suami melalaikan akan hal itu (kewajiban-kewajiban), maka permasalahan ini diserahkan kepada hakim pengadilan.




[1] Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin S. Fiqih Madzhab Syafi’i (Edisi engkap) Buku 2, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2007, Hal. 327.
[2] Ahmad  Musthafa al-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, Toha Putra: Semarang, 1993, hal. 289-290.
[3] Syekh Abu Bakar Syatho al-Dimyathiy, I’anatu al-Tholibin Juz 3, Beirut: Dar al-Fikr, 1422 H/2002 M, hal. 421.
[4] Taqiyuddin al-Hishniy, Kifayat al-Akhyaar fi Hilli Ghoyati al-Ikhtishor , Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1426 H/2005 M, hal. 505.
[5] Abd. Al-Rahman  Al – Jazairi, 1969, Kitab al Fiqh ‘ala al-Madzahib al-‘Arba’ah, Mesir; al-Maktabah al-Tijariyyah, hal. 239
[6] Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibariy, Fathu al-Mu’in, terj. Abul Hiyadh, Surabaya: Al-Hidayah, 1993,  hal. 130
[7] Syekh  Nawawi al-Bantaniy, Nihayatu al-Zain, Surabaya: al-Hidayah, tt., hal. 316.
[8] Syekh Sulayman al-Bujayramiy, ujayramiy ‘Ala al-Khothib Jilid 3, Beirut: Dar al-Fikr, 1401 H/1981 M,  hal. 397.
[9] Ibnu Mas’ud, Op. Cit, hal. 331.
[10] Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz al-Malibariy, Op. Cit,  hal. 129
[11] Syihabuddin al-Qolyubiy dan Syihabuddin ‘Umayroh, Hasyiyatani (Qolyubiy-‘Umayroh), Surabaya: al-Hidayah, tt.,  hal. 302
[12] Syekh Abu Bakar Syatho al-Dimyathiy, Op. Cit,  hal. 424.
[13] Ibnu Mas’ud, Op. Cit, hal. 329-331.
[14] Syekh Ibnu Hajar al-Haytamiy, Tuhfatu al-Muhtaj bi Syarhi al-Minhaj Jilid 3, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1426 H/ 2005 M, hal. 234. Dijelaskan pula didalam: Syekh Sulayman al-Jamal, al-Jamal ‘ala Syarhi al-Minhaj Juz 6, hal. 365; Syihabuddin al-Qolyubiy dan Syihabuddin ‘Umayroh, Op. Cit,. hal ini dikarenakan ketiga kitab tersebut merupakan Syarah (penjelasan) dari kitab Minhaj al-Tholibin karya Imam Nawawi , yang merupakan ulama’ madzhab Syafi’i yang masyhur, juga disebutkan dalam Syekh Sulayman al-Bujayramiy, Bujayramiy ‘Ala al-Khothib Jilid , hal. 308.
[15] Musfir Al-Jahrani, Poligami dari Berbagai Persepsi, Gema Insani Press: Jakarta, 2001, hal. 97
[16] Muhammad bin Qasim al-Ghazy, Fathul Qarib, terj. Achmad Sunarto, Surabaya: Al-Hidayah, 1992, hal. 126.
[17] Hasbi Asy-Siddiqi, Hukum-hukum Fiqih Islam, Buan Bintang: Jakarta, 1998, hal. 75
[18] Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Menurut Mazhab Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali, Hidakarya Agung, Jakarta, 1990, hal. 99
[19] Syekh Ibnu Hajar al-Haytamiy, Tuhfatu  al-Muhtaj  bi  Syarhi  al-Minhaj  Jilid  3,  Beirut:Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1426 H/ 2005 M,  hal. 311.
[20] Ibnu Mas’ud, Op. Cit, hal. 333
[21] Syekh  Nawawi al-Bantaniy, Op. Cit,  hal. 317.
[22] Muhammad bin Qasim al-Ghazy, Op. Cit, hal. 57
[23] Imam al-Syafi’I, Ringkasan Kitab Al-Umm Buku 2 (Jilid 3-6) Jakarta: Pustaka Azzam, hal. 444.
[24] Syaikh Muhammad Kamil ‘Uwaidah, Fiqih  Wanita,  Jakarta:  Pusataka  Al-Kautsar, 1998, hal. 414
[25] Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Op. Cit, hal. 233
[26] Mahmud Yunus, 1990,  Hukum  Perkawinan  Menurut  Mazhab  Syafi’i,  Hanafi, Maliki, Hanbali, Hidakarya Agung, Jakarta, hal. 104
[27] Muhammad bin Qasim Al-Ghazy, Op. Cit,  hal 56
[28] Mahmud Yunus, Op. Cit, hal. 102
[29] Muhammad bin Qasim Al-Ghazy, Op. Cit, hal.110-112. 1 mud = ± 1,5 kg.
[30] Syekh Zainuddin bin Abdul Aziz Al-Malibari, Op. Cit, hal. 232
[31] Ibnu Rusyd, Tarjamah Bidayatul Mujtahid, Semarang: Asy-Syifa’, hal. 462
[32] Abd. Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 1995, hal. 114
[33] Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, Gema Insani Press, Jakarta, 1995, hal. 674
[34] Mahmud Yunus, Op. Cit, hal. 103

No comments:

Post a Comment