KEADILAN DALAM POLIGAMI (II)


Surat al-Nisa’ ayat 3 menegaskan bahwa syarat suami yang berpoligami wajib berlaku adil terhadap isteri-isterinya. Berkenaan dengan syarat berlaku adil, hal ini sering menjadi perdebatan yang panjang tidak saja di kalangan ahli hukum tetapi juga di masyarakat. Oleh sebab itu, apa yang dimaksud berlaku adil atau makna keadilan sebagai syarat poligami.

Imam Syafi’i, al-Sarakhsi dan al-Kasani mensyaratkan keadilan diantara para isteri, menurut mereka keadilan ini hanya menyangkut urusan fisik  semisal mengunjungi isteri  di malam atau di siang  hari.

Seorang suami yang hendak berpoligami menurut ulama fiqh paling tidak memliki dua syarat: Pertama, kemampuan dana yang cukup untuk membiaya berbagai keperluan dengan bertambahnya isteri. Kedua, harus memperlakukan semua isterinya dengan adil. Tiap  isteri harus diperlakukan sama dalam memenuhi hak perkawinan  serta hak-hak lain.[1]

Persyaratan demikian, nampak sangat longgar dan memberikan kesempatan yang cukup luas bagi suami yang ingin melakukan poligami. Syarat adil yang sejatinya mencakup fisik dan non fisik, oleh imam Syafi’i dan ulama-ulama Syafi’iyyah dan para ulama’ yang setuju dengannya, diturunkan kadarnya menjadi keadilan fisik atau material saja. Bahkan lebih dari itu, para ulama fiqh ingin mencoba menggal hikmah-hikmah yang tujuannya adalah melakukan rasionalisasi terhadap praktek poligami.

Al-Jurjawi menjelaskan ada tiga hikmah poligami,

Pertama, kebolehan polgami yang dibatasi empat orang isteri menunjukkan bahwa manusia terdiri dari empat campuran di dalam tubuhnya.
 
Kedua, batasan empat juga sesuai dengan empat jenis mata pencaharian laki-laki; pemerintahan, perdagangan, pertanian dan industri.

Ketiga, bagi seorang suami yang memiliki empat orang isteri berarti ia mempunyai waktu senggang tiga hari dan ini merupakan waktu  yang  cukup untuk mencurahkan kasih sayang.[2]

Berbagai pendapat di atas, para ulama fiqh cenderung memahami keadilan secara kuantitatif yang bisa diukur dengan angka-angka. 

M. Quraish Shihab menafsirkan makna adil yang disyaratkan oleh ayat 3 surat al-Nisa’ bagi suami yang hendak berpoligami adalah keadilan dalam bidang material. Sebagaimana yang ditegaskan oleh ayat 4 surat al-Nisa’:

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.”
  
Selain itu Allah SWT. juga berfirman dalam surat al-Nisa’ ayat 129:

Kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara  isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena  itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.”

Keadilan yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah adil  dalam  bidang immaterial (cinta). Keadilan ini yang tidak mungkin dicapai oleh kemampuan manusia. Oleh sebab itu, suami yang berpoligami dituntut tidak memperturutkan hawa nafsu dan berkelebihan cenderung kepada yang dicintai. Dengan demikian, tidaklah  tepat  menjadikan ayat ini sebagai dalih untuk menutup rapat pintu poligami.[3]

Berdasarkan berbagai penafsiran ulama tentang makna adil dalam perkawinan poligami, dapatlah dirumuskan bahwa keadilan sebagai syarat poligami dalam perkawinan pada hal-hal yang bersifat material dan terukur. Hal ini menjadikan lebih mudah dilakukan dan poligami menjadi sesuatu lembaga yang bisa dijalankan. 

Sebaliknya, jika keadilan hanya ditekankan pada hal-hal yang kualitatif seperti cinta, kasih sayang, maka poligami itu sendiri menjadi suatu yang tidak mungkin dilaksanakan.Padahal Allah SWT. menjanjikan dalam surat al-Baqarah ayat 286 :

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.




[1] Abd. Rahman I Do’i, 2002, Penjelasan Lengkap Hukum-Hukum Allah (Syari’ah), Jakarta; Rajawali Press. Hal. 192
[2] Ali Ahmad Al-Jurjawi, Hikmah al-Tasyri’ wa Falsafatuhu, Beirut; Dar al-Fikri, hal. 10
[3] M. Quraish Shihab, Wawasan al-Qur’an, Bandung; Mizan. 1999, hal. 201

No comments:

Post a Comment