Surat
al-Nisa’ ayat 3 menegaskan bahwa syarat suami yang berpoligami wajib berlaku
adil terhadap isteri-isterinya. Berkenaan dengan syarat berlaku adil, hal ini
sering menjadi perdebatan yang panjang tidak saja di kalangan ahli hukum tetapi
juga di masyarakat. Oleh sebab itu, apa yang
dimaksud berlaku adil atau makna keadilan sebagai syarat poligami.
Imam
Syafi’i, al-Sarakhsi dan al-Kasani mensyaratkan keadilan diantara para isteri, menurut
mereka keadilan ini hanya menyangkut urusan fisik semisal mengunjungi isteri di malam atau di siang hari.
Seorang
suami yang hendak berpoligami menurut ulama fiqh paling tidak memliki dua syarat:
Pertama, kemampuan dana yang cukup untuk membiaya berbagai keperluan dengan
bertambahnya isteri. Kedua, harus memperlakukan semua isterinya dengan adil.
Tiap isteri harus diperlakukan sama
dalam memenuhi hak perkawinan serta hak-hak
lain.[1]
Persyaratan
demikian, nampak sangat longgar dan memberikan kesempatan yang cukup luas bagi suami
yang ingin melakukan poligami. Syarat adil yang sejatinya mencakup fisik dan
non fisik, oleh imam Syafi’i dan ulama-ulama Syafi’iyyah dan para ulama’ yang
setuju dengannya, diturunkan kadarnya menjadi keadilan fisik atau material saja.
Bahkan lebih dari itu, para ulama fiqh ingin mencoba menggal hikmah-hikmah yang
tujuannya adalah melakukan rasionalisasi terhadap praktek poligami.
Al-Jurjawi
menjelaskan ada tiga hikmah poligami,
Pertama,
kebolehan polgami yang dibatasi empat orang isteri menunjukkan bahwa manusia
terdiri dari empat campuran di dalam tubuhnya.
Kedua, batasan
empat juga sesuai dengan empat jenis mata pencaharian laki-laki; pemerintahan, perdagangan,
pertanian dan industri.
Ketiga,
bagi seorang suami yang memiliki empat orang isteri berarti ia mempunyai waktu senggang
tiga hari dan ini merupakan waktu
yang cukup untuk mencurahkan
kasih sayang.[2]
Berbagai
pendapat di atas, para ulama fiqh cenderung memahami keadilan secara
kuantitatif yang bisa diukur dengan angka-angka.
M.
Quraish Shihab menafsirkan makna adil yang disyaratkan oleh ayat 3 surat
al-Nisa’ bagi suami yang hendak berpoligami adalah keadilan dalam bidang material.
Sebagaimana yang ditegaskan oleh ayat 4 surat al-Nisa’:
”Berikanlah maskawin
(mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.
Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan
senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang
sedap lagi baik akibatnya.”
Selain itu Allah SWT. juga berfirman dalam
surat al-Nisa’ ayat 129:
“Kamu sekali-kali tidak
akan dapat berlaku adil di antara
isteri-isterimu, walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada
yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.”
Keadilan
yang dimaksudkan dalam ayat di atas adalah adil
dalam bidang immaterial (cinta). Keadilan
ini yang tidak mungkin dicapai oleh kemampuan manusia. Oleh sebab itu, suami yang
berpoligami dituntut tidak memperturutkan hawa nafsu dan berkelebihan cenderung
kepada yang dicintai. Dengan demikian, tidaklah
tepat menjadikan ayat ini sebagai
dalih untuk menutup rapat pintu poligami.[3]
Berdasarkan
berbagai penafsiran ulama tentang makna adil dalam perkawinan poligami, dapatlah
dirumuskan bahwa keadilan sebagai syarat poligami dalam perkawinan pada hal-hal
yang bersifat material dan terukur. Hal ini menjadikan lebih mudah dilakukan dan
poligami menjadi sesuatu lembaga yang bisa dijalankan.
Sebaliknya, jika
keadilan hanya ditekankan pada hal-hal yang kualitatif seperti cinta, kasih sayang,
maka poligami itu sendiri menjadi suatu yang tidak mungkin dilaksanakan.Padahal
Allah SWT. menjanjikan dalam surat al-Baqarah ayat 286 :
“Allah
tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”.
No comments:
Post a Comment