Adil
dan keadilan itu menjadi keinginan setiap hati yang bersih dan dirindukan oleh
segenap jiwa yang sadar. Hal ini dapat dimaklumi karena dengan keadilan yang merata,
keamanan dan perdamaian dalam masyarakat bisa tumbuh dan berkembang, dimana setiap
individu memperoleh perlindungan dan pembelaan.
Adil
itu sendiri sangat dalam arti dan maknanya, juga sangat luas cakupannya, meliputi
segenap bidang kehidupan dan pergaulan umat manusia sepanjang zaman. Keadilan
dalam lapangan politik, ekonomi, sosial dan budaya, juga dalam memberikan dan menerima
hak dan kewajiban, juga adil dalam menerima dan memberi dan lain sebagainya.
Al-Qur’an
memberikan perintah keras, agar keadilan ditegakkan di segala bidang kehidupan,
disertai dorongan kuat supaya setiap insan menjadi anggota barisan penegak dan pembela
keadilan. Dengan tegas al-Qur’an memerintahkan
bersikap dan berprilaku adil, bahkan nafsu syahwat tidak boleh menyimpangkan seseorang
dari keadilan, sebab keadilan itu lebih dekat kepada ketaqwaan.
Bukan
saja keadilan itu mesti dilakukan dalam lingkungan masyarakat secara umum, melainkan
juga dalam lingkungan rumah tangga khususnya terhadap beberapa orang isteri, meskipun
pada dasarnya keadilan itu berat pelaksanaannya. Salah satu
perintah Allah SWT tentang keadilan, sebagaimana yang tertuang dalam surat An-Nahl
ayat 90:
“Sesungguhnya Allah menyuruh
kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberikan pengajaran
kepada kamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.
Berbicara
mengenai keadilan secara hakiki merupakan suatu konsep yang bersifat relatif
dan mengandung banyak makna. Dalam
kamus hukum disebutkan “kata adli itu sama dengan tidak berat sebelah, tidak memihak,
berpihak kepada yang benar, menentukan mana yang benar (baik) dan mana yang
salah (jahat)”.[1]
Dalam
hal poligami, keadilan menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang
yang berkehendak untuk poligami. Keadilan seperti apa yang dituntut dalam berpoligami tersebut. Berikut ini beberapa pendapat
ulama’ madzhab Syafi’i tentang adil dalam poligami, antara lain :
Ahmad
Mushthafa al-Maraghi dalam tafsirnya yang terkenal dengan istilah tafsir
al-Maraghi menyebutkan bahwa kebolehan berpoligami yang disebut dalam surat
al-Nisa’: 3, merupakan kebolehan yang dipersulit dan diperketat.
Menurutnya
poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan darurat yang hanya bisa dilakukan oleh
orang-orang yang benar-benar membutuhkan. Ia kemudian mencatat kaidah fiqhiyyah
dar’u al-mafasid muqoddam ‘ala jalbi al-mashalih.[2]
Pencatatan ini dimaksudkan barangkali untuk menunjukkan betapa pentingnya untuk berhati-hati dalam poligami.
Alasan-alasan
yang membolehkan berpoligami, menurut Al-Maraghi adalah:
(1).
karena isteri mandul, sementara keduanya atau salah satunya sangat mengharapkan
keturunan,
(2).
Apabila suami memiliki kemampuan seks yang tinggi, sementara isteri tidak akan
mampu meladeni sesuai dengan kebutuhannya,
(3).
Jika si suami mempunyai harta yang banyak untuk membiayai segala kepentingan keluarga,
mulai dari kepentingan isteri, sampai
kepentingan anak-anak,
(4).
Jika jumlah wanita melebihi melebihi dari jumlah pria, yang bisa jadi dikarenakan
terjadinya perang. Akibat lain yang mungkin muncul dari terjadinya perang adalah
banyaknya anak yatim dan janda yang perlu dilindungi. Maka hal ini menjadi alasan
yang membolehkan. Barangkali untuk kasus lain juga dapat digunakan, seperti dengan
jumlah penduduk yang ternyata memang jumlah penduduk wanita lebih banyak
daripada pria.
Al-Maraghi kemudian mencatat hikmah pernikahan
Rasulullah SAW, yang menurutnya ditujukan untuk syi’ar Islam. Sebab, jika tujuannya untuk kepuasan diri pribadi Rasulullah
SAW, maka pastilah beliau akan memilih wanita-wanita berdasarkan hawa nafsu, seperti kecantikan dan keperawanan.
Sedangkan
sejarah menunjukkan sebaliknya, bahwa yang dinikahi Rasulullah SAW Kebanyakan adalah
janda. Bahkan hanya satu yang masih
perawan ketika dinikahi yakni Sayyidah ‘Aisyah r.a.
Korelasi antara surat al-Nisa’ ayat 3 dengan
ayat 129 menurut al-Maraghi, yang terpenting ialah adanya usaha maksimal untuk
berbuat adil. Adapun perkara yang diluar kemampuan manusia, bukanlah suatu keharusan
untuk dilaksanakan. Dalam hal ini kemampuan hati untuk membagi kasih sayang yang
sama rata kepada setiap isteri.
Pendapat
yang senada diutarakan oleh KH. Bisyriy Musthofa dalam kitab tafsir karangannya
al-Ibriz, menjelaskan bahwa seseorang yang berpoligami tidak akan mampu
berbuat seadil-adilnya diantara para isteri, dengan cara apapun. Dalam hal ini
keadilan batin (perasaan), akan tetapi seorang suami tidak boleh menelantarkan isterinya.
Wajib
bagi suami untuk berlaku adil teradap isteri-isterinya. Adil yang dimaksud adalah
keadilan dalam menggilir para isteri, pemberian nafkah, dan keadilan dalam
hal-hal yang bersifat dhohir (lahiriyah).
Adapun
dalam perkara perasaan cinta kepada tiap-tiap isteri, itu pasti tidak bisa sama.
Maka dari itu, dalam hal perasaan tidak diwajibkan adanya keadilan. Walaupun demikian
yang lebih menjamin terciptanya keadilan adalah menikah dengan satu isteri.[3]Hal
ini tidak lain karena kasih sayang dan perhatian suami terfokus hanya kepada
seorang isteri.
No comments:
Post a Comment