KEADILAN DALAM POLIGAMI (I)


Adil dan keadilan itu menjadi keinginan setiap hati yang bersih dan dirindukan oleh segenap jiwa yang sadar. Hal ini dapat dimaklumi karena dengan keadilan yang merata, keamanan dan perdamaian dalam masyarakat bisa tumbuh dan berkembang, dimana setiap individu memperoleh  perlindungan dan pembelaan. 

Adil itu sendiri sangat dalam arti dan maknanya, juga sangat luas cakupannya, meliputi segenap bidang kehidupan dan pergaulan umat manusia sepanjang zaman. Keadilan dalam lapangan politik, ekonomi, sosial dan budaya, juga dalam memberikan dan menerima hak dan kewajiban, juga adil dalam menerima dan memberi dan lain sebagainya.

Al-Qur’an memberikan perintah keras, agar keadilan ditegakkan di segala bidang kehidupan, disertai dorongan kuat supaya setiap insan menjadi anggota barisan penegak dan pembela keadilan. Dengan tegas al-Qur’an memerintahkan bersikap dan berprilaku adil, bahkan nafsu syahwat tidak boleh menyimpangkan seseorang dari keadilan, sebab keadilan itu lebih dekat kepada ketaqwaan.

Bukan saja keadilan itu mesti dilakukan dalam lingkungan masyarakat secara umum, melainkan juga dalam lingkungan rumah tangga khususnya terhadap beberapa orang isteri, meskipun pada  dasarnya  keadilan itu berat pelaksanaannya. Salah satu perintah Allah SWT tentang keadilan, sebagaimana yang tertuang dalam surat An-Nahl ayat 90:

Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberikan pengajaran kepada kamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”.

Berbicara mengenai keadilan secara hakiki merupakan suatu konsep yang bersifat relatif dan mengandung banyak makna. Dalam kamus hukum disebutkan “kata adli itu sama dengan tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar, menentukan mana yang benar (baik) dan mana yang salah (jahat)”.[1]

Dalam hal poligami, keadilan menjadi salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang yang berkehendak untuk poligami. Keadilan seperti apa yang dituntut dalam berpoligami tersebut. Berikut ini beberapa  pendapat  ulama’ madzhab Syafi’i tentang adil dalam poligami, antara lain :

Ahmad Mushthafa al-Maraghi dalam tafsirnya yang terkenal dengan istilah tafsir al-Maraghi menyebutkan bahwa kebolehan berpoligami yang disebut dalam surat al-Nisa’: 3, merupakan kebolehan yang dipersulit dan diperketat.

Menurutnya poligami diperbolehkan hanya dalam keadaan darurat yang hanya bisa dilakukan oleh orang-orang yang benar-benar membutuhkan. Ia kemudian mencatat kaidah fiqhiyyah dar’u al-mafasid muqoddam ‘ala jalbi al-mashalih.[2] Pencatatan ini dimaksudkan barangkali untuk menunjukkan betapa  pentingnya untuk berhati-hati dalam poligami.

Alasan-alasan yang membolehkan berpoligami, menurut Al-Maraghi adalah:

(1). karena isteri mandul, sementara keduanya atau salah satunya sangat mengharapkan keturunan,

(2). Apabila suami memiliki kemampuan seks yang tinggi, sementara isteri tidak akan mampu meladeni sesuai dengan kebutuhannya,

(3). Jika si suami mempunyai harta yang banyak untuk membiayai segala kepentingan keluarga, mulai dari kepentingan isteri, sampai  kepentingan anak-anak, 

(4). Jika jumlah wanita melebihi melebihi dari jumlah pria, yang bisa jadi dikarenakan terjadinya perang. Akibat lain yang mungkin muncul dari terjadinya perang adalah banyaknya anak yatim dan janda yang perlu dilindungi. Maka hal ini menjadi alasan yang membolehkan. Barangkali untuk kasus lain juga dapat digunakan, seperti dengan jumlah penduduk yang ternyata memang jumlah penduduk wanita lebih banyak daripada pria. 

  Al-Maraghi kemudian mencatat hikmah pernikahan Rasulullah SAW, yang menurutnya ditujukan untuk syi’ar Islam. Sebab, jika tujuannya untuk kepuasan diri pribadi Rasulullah SAW, maka  pastilah  beliau akan memilih wanita-wanita berdasarkan hawa nafsu, seperti kecantikan dan  keperawanan.

Sedangkan sejarah menunjukkan sebaliknya, bahwa yang dinikahi Rasulullah SAW Kebanyakan adalah janda. Bahkan hanya satu yang masih  perawan ketika dinikahi yakni Sayyidah ‘Aisyah r.a.

Korelasi antara surat al-Nisa’ ayat 3 dengan ayat 129 menurut al-Maraghi, yang terpenting ialah adanya usaha maksimal untuk berbuat adil. Adapun perkara yang diluar kemampuan manusia, bukanlah suatu keharusan untuk dilaksanakan. Dalam hal ini kemampuan hati untuk membagi kasih sayang yang sama rata kepada setiap isteri.

Pendapat yang senada diutarakan oleh KH. Bisyriy Musthofa dalam kitab tafsir karangannya al-Ibriz, menjelaskan bahwa seseorang yang berpoligami tidak akan mampu berbuat seadil-adilnya diantara para isteri, dengan cara apapun. Dalam hal ini keadilan batin (perasaan), akan tetapi seorang suami tidak boleh menelantarkan isterinya.

Wajib bagi suami untuk berlaku adil teradap isteri-isterinya. Adil yang dimaksud adalah keadilan dalam menggilir para isteri, pemberian nafkah, dan keadilan dalam hal-hal yang bersifat dhohir (lahiriyah).

Adapun dalam perkara perasaan cinta kepada tiap-tiap isteri, itu pasti tidak bisa sama. Maka dari itu, dalam hal perasaan tidak diwajibkan adanya keadilan. Walaupun demikian yang lebih menjamin terciptanya keadilan adalah menikah dengan satu isteri.[3]Hal ini tidak lain karena kasih sayang dan perhatian suami terfokus hanya kepada seorang isteri. 




[1] Sudarsono, Kamus Hukum, Rineka Cipta. Jakarta: 1999, hal. 17.
[2] Ahmad Mushthafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi Juz 4. Mesir: 1394 H/1974 M, hal. 328.
[3] Bisyriy Mushtofa, al-Ibriz, lima’rifati Tafsiri al-Qur’an al’Aziz Juz 4 & 5, tt. Kudus: Menara Kudus, hal. 248.

No comments:

Post a Comment