KALIMAH HURUF


Yaitu kalimah atau kata yang bisa menunjukkan pada mana jika digabungkan dengan kalimah yang lainnya,[1] seperti (فِي) bisa menunjukkan pada makna dzarfiyyah jika dia digabungkan dengan lafal yang lainnya, contoh, زَيْدٌ فِي الدَّارِZaid berada didalam rumah.”

Yang diinginkan dengan kalimah huruf disini adalah kalimah huruf yang dibuat untuk bisa mendatangkan makna atau yang dinamakan huruf ma’ani, bukan huruf yang sebagai penyusun suatu kalimah atau yang dinamakan huruf mabani.

Kalimah huruf terbagi menjadi tiga, yaitu kalimah huruf yang terkhusus pada kalimah isim seperti huruf jer dan huruf yang bisa menashabkan isim dan merafa’kan khabarnya, kalimah huruf yang masuk pada kalimah fi’il seperti (لَماَّ) amil jawazim, dan kalimah huruf yang bisa masuk pada kalimah isim dan kalimah fi’il seperti huruf ‘athaf dan huruf istifham.[2]

Tanda Kalimah Huruf

Tanda dari Kalimah Huruf adalah bersifat ‘Adami (: tidak wujud), yaitu berupa tidak bisa menerima tandanya Kalimah Isim dan tidak bisa menerima tandanya Kalimah Fi’il.

Jika timbul pertanyaan, “Bagaimana bisa sesuatu yang tidak wujud bisa menjadi tanda bagi perkara yang wujud?” maka dijawab, bahwa ‘adamiyyah (ketidak-wujudan) itu ada dua macamnya, yaitu ‘adamiyyah yang mutlak dan ‘adamiyyah yang muqayyad (ditentukan). ‘Adamiyyah yang mutlak tidak bisa untuk dijadikan sebagai tanda dari perkara yang wujud, sedangan ‘adamiyyah yang muqayyad sajalah yang bisa menjadi tanda bagi perkara yang wujud. Jadi, dalam hal ini, tanda Kalimah Huruf itu berupa ‘adamiyyah yang muqayyad, yaitu tidak bisa menerima tanda dari Kalimah Isim dan Kalimah Fi’il.[3]

Abu Ja’far bin Shabir menambahi satu lagi macam kalimah, yaitu kalimah isim fi’il atau yang dia sebut dengan kalimah khalifah, karena kalimah itu sebagai pengganti dari kalimah fi’il, seperti (صَهْ) yang merupakan pengganti dari (اُسْكُتْ) yang berarti “diamlah”.[4]

Pendapat dia itu adalah pendapat yang baru setelah terjadinya kesepakatan kalau kalimah macamnya ada tiga, sehingga tambahan yang Abu Ja’far berikan itu tidak bisa dimasukkan kedalam pembagian itu atau pendapat dia itu tidak boleh diperhitungkan, seperti yang telah dijelaskan oleh Khalid.[5]




[1] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 12
[2] Jami’ al-Durus al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 12
[3] Asymawi, hlm. 8, Tasywiq al-Khillan, hlm. 36
[4] Tasywiq al-Khillan, hlm. 13
[5] Tasywiq al-Khillan, hlm. 13

No comments:

Post a Comment