Kalimah terbagi menjadi tiga, yaitu:
kalimah isim, kalimah fi’il dan kalimah huruf.[1]
a. Kalimah Isim
Yaitu kalimah (: kata) yang
menunjukkan pada makna dengan dirinya sendiri tanpa membutuhkan lafal yang lain
dan tidak dibarengi dengan zaman secara asal kejadiannya, seperti (زَيْدٌ) nama orang.[2]
Hukum asal kalimah isim adalah mu’rab, kecuali beberapa kalimah isim yang
mabni.[3]
Tanda Kalimah Isim
Kalimah Isim bisa diketahui dengan
salah satu dari empat tanda berikut ini.
Tanda
yang pertama adalah sah bila dikhabari, seperti
ta’ pada lafal (كَتَبْتُ) sehingga sah jika kita ucapkan, (اَناَ كَتَبَ), bisa kemasukan tanwin, seperti (رَجُلٌ), atau huruf nida’, seperti (ياَ زَيْدُ), atau huruf jer, seperti (اِعْتَمِدْ عَلَى
مَنْ تَثِقُ بِهِ), dan masuknya
(اَلْ), seperti (الرَّجُلُ).
Tanda
kalimah isim yang kedua adalah sah bila diberi tanwin.
Tanwin adalah nun mati yang zaidah yang ditaruh diakhir kalimah isim dalam
pengucapan, dan memisahi akhir kalimah isim dalam penulisan dan kejadiannya,
dan tidak untuk taukid.[4]
Macam tanwin ada sepuluh, yaitu:
1) Tanwin Tamkin,
yaitu tanwin yang masuk pada isim mu’rab yang munsharif yang selain jama’
mu’annats salim, atau yang juga disebut dengan tanwin sharfi, seperti, (رَجُلٌ).[5]
2) Tanwin Tankir,
yaitu tanwin yang masuk pada isim mabni yang berguna sebagai pembeda antara
bentuk dari isim mabni yang nakirah dan yang ma’rifat, sehingga isim mabni yang
ditanwin adalah nakirah dan yang tidak ditanwin adalah ma’rifat.[6]
Tanwin tersebut adalah sama’i dalam bab kalimah isim fi’il dan qiyasi pada isim
alam yang diakhiri dengan (وَيْه), seperti (صَه) dan (سِيْبَوَيْهِ).
3) Tanwin Muqabalah,
yaitu tanwin yang masuk pada jama’ mu’annats salim sebagai perbandingan dari
nunnya jama’ mudzakar salim, seperti (مُسْلِمَاتٌ) yang menjadi pembanding dari lafal (مُسْلِمُوْنَ).[7]
4) Tanwin ‘Iwadl,
yaitu tanwin yang menjadi pengganti dari perkara lain, yang macamnya ada tiga,
yaitu:
a)
Pengganti
dari jumlah, yaitu tanwin yang masuk pada kalimah huruf sebagai ganti dari
jumlah setelahnya yang dibuang, seperti (وَ اَنْتُمْ حِيْنَئِذٍ تَنْظُرُوْنَ) yang tanwin pada (إِذٍ) adalah sebagai pengganti dari
jumlah (اِذْ
بَلَغَتِ الرُّوْحُ الْحُلْقُوْمَ) yang dibuang karena untuk memperindah kalam.[8]
b)
Pengganti
dari isim, yaitu tanwin yang terkhusus pada lafal (كُلٌّ) dan (بَعْضٌ) sebagai ganti dari mudlaf ilaihnya
yang dibuang, seperti (كُلٌّ
قَائِمٌ) dengan
penakdiran (كُلُّ
النَّاشِ قَائِمٌ).[9]
c)
Pengganti
dari huruf, yaitu tanwin yang masuk pada semisal lafal (غَوَاشٍ) dan (جَوَارٍ), yaitu dari isim manqush yang
ghairu munsharif, dalam keadaan rafa’ dan jer.
Asal dari kedua lafal itu adalah (غَوَاشِيُ) dan (جَوَارِيُ), ya’ pada keduanya disukun karena
berat jika menyandang harakat dlammah pada keadaan rafa’ dan kasrah pada
keadaan jer. Kemudian harakat dibuang kemudian ya’ juga ikut dibuang dengan
alasan i’tibath (: tanpa alasan yang pasti atau serampangan), kemudian
disitu shighat muntahal jumu’ menjadi rusak karena setelah alifnya wazan (مَفَاعِلُ) yang tersisa hanya satu huruf saja
dan jika ya’ dikembalikan, maka akan dianggap berat sehingga para ulama’
membiarkannya seperti itu dan sebagai tanwinnya mereka mendatangkan tanwin.[10]
Ada yang mengatakan kalau asalnya
adalah (غَوَاشِيٌ) dan (جَوَارِيٌ) dengan ditanwin tamkin, lalu
dlammah dianggap berat pada ya’ sehingga dlammah dibuang sehingga menyebabkan
berkumpulnya dua huruf mati, yaitu ya’ dan nun mati dari tanwin, kemudian kita
buang ya’ untuk menyelamatkan dari bertemunya dua huruf yang mati, kemudian
huruf sebelum ya’ ditanwin sebagai ganti dari ya’ yang dibuang. Dan setelah
diteliti ternyata yang benar adalah pendapat yang pertama yang mengatakan kalau
lafal-lafal itu termasuk dalam “shighat muntahal jumu”.
5) Tanwin Ziyadah
atau Tanwin Munasabah, yaitu tanwin yang masuk pada isim ghairu
munsharif dengan tujuan untuk mencocoki kalimah yang lain, seperti (سَلاَسِلاً) dengan ditanwin padahal lafal itu
termasuk dalam sighat muntahal jumu’ yang tidak boleh ditanwin, karena untuk
menyesuai-kan dengan lafal setelahnya, yaitu (اَغْلاَلاً).[11]
6) Tanwin Tarannum,
yaitu tanwin yang masuk pada akhir-nya bait atau qafiyyah yang diucapkan karena
bertemu dengan alif ithlaq (alif yang memanjangkan suara),[12]
seperti syair,
اَقِلِّي
اللَّوْمَ عَادِلْ وَ الْعَتَابَنْ
* وَ قُوْلِي اِنْ اَصَبْتِ لَقَدْ
اَصَابَنْ
Lafal (اَلْعَتَابَنْ) dan (اَصَابَنْ) asalnya adalah (اَلْعِتَابَا) dan (اَصَاباَ), lalu alif ithlaq diganti dengan
tanwin untuk meninggalkan tarannum atau meliuk-liukkan suara.
7) Tanwin Hikayah,
yaitu tanwin yang masuk pada isim ghairu munsharif untuk menceritakan aslinya,
seperti (قَلَتْ
عَاقِلَةٌ).[13]
Lafal (عَاقِلَة) ditanwin padahal seharusnya tidak
boleh di-tanwin sebab termasuk katergori isim ghairu munsharif, karena ada dua ‘illat
yaitu ta’nits dan ‘alamiyyah (: dijadikan nama), dan membacanya dengan tanwin
adalah bertujuan untuk menceritakan lafal itu sebelum dijadikan nama.
8) Tanwin Dlarurat,
yaitu tanwin yang masuk pada munada (: lafal yang diseru) yang mabni, baik
mabninya rafa’ atau nashab,[14]
seperti
سَلاَمُ اللهِ
يَا مَطَرٌ عَلَيْهاَ * وَ لَيْسَ عَلَيْكَ يَا مَطَرُ
السَّلاَمُ
9) Tanwin Ghali,
yaitu tanwin yang masuk pada qafiyyah al-muqayyadah atau akhir bait yang
huruf akhirnya berupa huruf shahih yang mati,[15]
seperti syair,
وَ قَائِمُ
الْأَعْنَاقِ خَاوِي الْمُحْتَرِقَنْ
Lafal (الْمُحْتَرِقَنْ) asalnya adalah (اَلْمُحْتَرِقْ), kemudian diberi nun untuk
menyesuaikan wazan, lalu dibutuhkan untuk meng-harakati qaf supaya selamat dari
bertemunya dua huruf mati.
10) Tanwin Syudzudz
atau Tanwin Hamzi, yaitu tanwin yang masuk pada lafal (هَؤُلاَءِ) dengan jalan syadz yang berfaidah
untuk menunjukkan makna banyak, seperti (هَؤُلاَءِ قَوْمُكَ).[16]
Dari sepuluh macam tanwin yang telah
disebutkan di atas, para ulama telah bersepakat hanya ada empat macam tanwin
yang bisa masuk dalam kalimah isim, yaitu tanwin tamkin, tanwin, tankir, tanwin
‘iwadl dan tanwin muqabalah.[17]
Dan ada empat macam tanwin lagi yang
kekhususannya masuk dalam kalimah isim masih dipertentangkan oleh para ulama,
namun pendapat yang unggul (rajih) mengatakan kalau keempat tanwin tersebut
masuk dalam kekhususan kalimah isim, yaitu tanwin dlarurat, tanwin ziyadah,
tanwin hikayah dan tanwin taksir.[18]
Sedangkan tanwin tarannum dan tanwin
ghali menurut qaul yang rajih bisa masuk dalam kalimah isim, kalimah fi’il dan
kalimah huruf.[19]
Tanda
kalimah isim yang ketiga adalah bisa diberi huruf jer, yaitu
(مِنْ), (اِلَى), (عَنْ), (عَلَى), (فِي), (رُبَّ), (باء), (كاف), (لام), dan huruf qasam, yaitu (واو), (باء) dan (تاء), seperti (مَرَرْتُ
بِزَيْدٍ).
Huruf jer hanya terkhusus masuk pada
kalimah isim karena huruf tersebut dibuat untuk menarik kalimah isim pada
maknanya fi’il yang bisa muta’addi dengan dirinya sendiri.[20]
Dengan begitu, huruf jer tidak bisa masuk pada suatu kalimah kecuali setelah
wujudnya fi’il dalam lafal itu, seperti (مَرَرْتُ بِزَيْدٍ), atau setelah wujudnya fi’il dalam
perkiraan, seperti, (بِسْمِ
اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ) dengan ditakdirkan (اَبْتَدِئُ).
Tanda
kalimah isim yang keempat adalah bisa diberi (اَلْ), baik yang zaidah, ta’rif atau
maushulah,[21] misal
yang zaidah (جَاءَ
الزَّيْدُ), yang ta’rif
seperti (جَاءَ
الرَّجُلُ) dan yang
maushulah seperti (جَاءَ
الضَّارِبُ). Adapun (اَلْ) istifhamiyyah, tidak bisa masuk
pada kalimah isim tetapi masuk pada kalimah fi’il, seperti (اَلْ فَعَلْتَ
كَذَا؟).[22]
Adapun masuknya (اَلْ) maushulah pada fi’il mudlari’,
hukumnya adalah qalil, seperti pada syair,[23]
مَا اَنْتَ
بِالْحُكْمِ الْتُرْضَى حُكُوْمَتُهُ
* وَ لاَ الْأَصِيْلِ وَ لاَ ذِيْ
الرَّأْيِ وَ الْجَدَلِ
Yang penakdirannya adalah (اَلَّذِي تُرْضَى
حُكُوْمَتُهُ).
b. Kalimah Fi’il
Yaitu kalimah atau kata yang bisa
menunjukkan pada makna dengan dirinya sendiri, dan disertai dengan salah dari
ketiga zaman secara asal kejadiannya.[24]
Jika zaman yang menyertainya adalah
zaman yang telah lalu maka dinamakan fi’il madli, seperti (ضَرَبَ) “telah memukul,”
jika disertai zaman yang akan datang atau zaman sekarang maka dinamakan fi’il
mudlari’, seperti (يَضْرِبُ) “sedang atau akan
memukul,” dan jika disertai zaman yang akan datang yang dia juga
mempunyai arti thalab, maka dinamakan fi’il amar, seperti, (اِضْرِبْ) “pukullah.”
Tanda
Kalimah Fi’il
Kalimah Fi’il bisa diketahui dengan
enam tanda, yaitu:[25]
1) Bisa kemasukan (قَدْ), yaitu bisa masuk pada fi’il madli dan fi’il mudlari’, seperti
(قَدْ
قَامَتِ الصَّلاَةُ) dan (قَدْ يَجَوْدُ
الْبَاخِلُ).
2) Bisa dimasuki (س) yang hanya terkhusus masuk pada fi’il mudlari’ yang berfaidah
memurnikan zamannya fi’il mudlari’ untuk zaman mustaqbal atau zaman yang akan
datang. Oleh karenanya, huruf itu dinamakan dengan huruf istiqbal, seperti (سَيَقُوْلُ
السُّفَهَاءُ)
3) Bisa dimasuki ta’ ta’nits sakinah, seperti (قَامَتْ هِنْدٌ)
4) Bisa dimasuki ta’ fa’il, secara mutlak, artinya baik yang
menunjukkan pada mutakallim, seperti (ضَرَبْتُ), atau menunjukkan mukhathab, seperti (ضَرَبْتَ) atau menunjukkan pada mukhathabah,
seperti (ضَرَبْتِ).
5) Bisa diberi nun taukid, baik nun taukid khafifah atau
tsaqilah, yang alamat ini hanya bisa masuk pada fi’il mudlari’ dengan
syarat-syarat tertentu dan pada fi’il amar secara keseluruhan tanpa ada syarat
tertentu, seperti (يَفْعُلَنَّ), (يَفْعَلَنْ), (اِفْعَلَنَّ) dan (اِفْعَلَنْ).
6) Bisa dimasuki ya’ mu’annats mukhathabah, seperti (اِضْرِبِيْ يَا
دَعْدُ).
c. Kalimah Huruf
Yaitu kalimah atau kata yang bisa
menunjukkan pada mana jika digabungkan dengan kalimah yang lainnya,[26]
seperti (فِي) bisa menunjukkan pada makna
dzarfiyyah jika dia digabungkan dengan lafal yang lainnya, contoh, زَيْدٌ فِي
الدَّارِ “Zaid
berada didalam rumah.”
Yang diinginkan dengan kalimah huruf
disini adalah kalimah huruf yang dibuat untuk bisa mendatangkan makna atau yang
dinamakan huruf ma’ani, bukan huruf yang sebagai penyusun suatu kalimah
atau yang dinamakan huruf mabani.
Kalimah huruf terbagi menjadi tiga,
yaitu kalimah huruf yang terkhusus pada kalimah isim seperti huruf jer dan
huruf yang bisa menashabkan isim dan merafa’kan khabarnya, kalimah huruf yang
masuk pada kalimah fi’il seperti (لَماَّ) amil jawazim, dan kalimah huruf yang bisa masuk pada kalimah
isim dan kalimah fi’il seperti huruf ‘athaf dan huruf istifham.[27]
Tanda Kalimah Huruf
Tanda dari Kalimah Huruf adalah
bersifat ‘Adami (: tidak wujud), yaitu berupa tidak bisa menerima
tandanya Kalimah Isim dan tidak bisa menerima tandanya Kalimah Fi’il.
Jika timbul pertanyaan, “Bagaimana
bisa sesuatu yang tidak wujud bisa menjadi tanda bagi perkara yang wujud?” maka
dijawab, bahwa ‘adamiyyah (ketidak-wujudan) itu ada dua macamnya, yaitu
‘adamiyyah yang mutlak dan ‘adamiyyah yang muqayyad (ditentukan).
‘Adamiyyah yang mutlak tidak bisa untuk dijadikan sebagai tanda dari
perkara yang wujud, sedangan ‘adamiyyah yang muqayyad sajalah
yang bisa menjadi tanda bagi perkara yang wujud. Jadi, dalam hal ini, tanda
Kalimah Huruf itu berupa ‘adamiyyah yang muqayyad, yaitu tidak bisa
menerima tanda dari Kalimah Isim dan Kalimah Fi’il.[28]
Abu Ja’far bin Shabir menambahi satu
lagi macam kalimah, yaitu kalimah isim fi’il atau yang dia sebut
dengan kalimah khalifah, karena kalimah itu sebagai pengganti dari
kalimah fi’il, seperti (صَهْ) yang merupakan pengganti dari (اُسْكُتْ) yang berarti “diamlah”.[29]
Pendapat dia itu adalah pendapat
yang baru setelah terjadinya kesepakatan kalau kalimah macamnya ada tiga,
sehingga tambahan yang Abu Ja’far berikan itu tidak bisa dimasukkan kedalam
pembagian itu atau pendapat dia itu tidak boleh diperhitungkan, seperti yang
telah dijelaskan oleh Khalid.[30]
d. Kalimah Isim Fi’il
Kalimah
Isim Fi’il adalah kalimah yang menunjukkan
pada sesuatu yang ditunjukkan oleh kalimah fi’il, namun kalimah itu tidak bisa
menerima tandanya kalimah fi’il.[31]
Isim fi’il adakalanya bermakna fi’il madli, seperti, (هَيْهاَتَ) dengan makna (بَعُدَ) “jauh”, atau dengan makna
fi’il mudlari’, seperti, (اُفِّ) dengan makna (اَتَضَجَّرُ) “huss”, atau dengan makna fi’il amar, seperti (آمِيْنْ) dengan makna (اِسْتَجِبْ) “kabulkanlah.”
Diantara isim fi’il adalah (شَتَّانَ) bermakna (اِفْتَرَقَ) “terpecah belah”, (وَيْ) bermakna (اَعْجَبُ) “aku kagum”, (صَهْ) bermakna (اُسْكُتْ) “diamlah”, (مَهْ) bermakna (اِنْكَفِفْ) “tahanlah”, (بَلْهَ) bermakna (دَعْ وَ اتْرُكْ) “tinggalkan”, (عَلَيْكَ) bermakna (الْزَمْ) “tetaplah”, (اِلَيْكَ عَنِّي) bermakna (تَنَحَّ عَنِّي) “menjauhlah dariku”, (اِلَيْكَ
الْكِتاَبَ) bermakna (خُذْهُ) “ambillah kitab itu”, dan (هاَ وَ هاَكَ وَ
هاَءَ الْقَلَمَ) bermakna (خُذْهُ) “ambillah pena itu.”
Isim fi’il menetapi satu sighat saja
untuk semua, sehingga diucapkan (صَهْ) untuk mufrad, tatsniyyah, jama’, mudzakar dan mu’annats, namun
isim fi’il yang ada kaf khithabnya maka kita jaga mukhathabnya, sehingga kita
ucapkan (عَلَيْكَ
نَفْسَكَ), (عَلَيْكِ
نَفْسَكِ), (عَلَيْكُماَ
اُنْفُسَكُماَ), (عَلَيْكُمْ
اَنْفُسَكُمْ), (عَلَيْكُنَّ
اَنْفُسَكُنَّ), (اِلَيْكَ عَنِّي), (اِلَيْكِ عَنِّي), (اِلَيْكُماَ
عَنِّي), (اِلَيْكُمْ
عَنِّي), (اِلَيْكُنَّ
عَنِّي), (اِلَيْكُنَّ
عَنِّي), (هاَكَ الْكِتاَبَ), (هاَكِ الْكِتاَبَ), (هاَكُماَ الْكِتاَبَ), (هاَكُمُ الْكِتاَبَ), dan (هاَكُنَّ
الْكِتاَبَ).[32]
Isim Fi’il Murtajal, Manqul Dan
Ma’dul[33]
Isim fi’il adakalanya Murtajal,
artinya sudah dari awalnya memang berupa isim fi’il, yaitu seperti (هَيْهَاتَ), (اُفٍّ) dan (آمِيْنْ).
Atau Manqul, yaitu lafal yang
digunakan pada selain isim fi’il kemudian dinuqil atau dipindah menjadi isim
fi’il. Penuqilan itu adakalanya dari jer-majrur, seperti (عَلَيْكَ
نَفْسَكَ) bermakna (الْزِمْهاَ), (اِلَيْكَ عَنِّي) bermakna (تَنَحَّ), atau dari dzaraf, seperti (دُونَكَ الْكِتاَبَ) bermakna (خُذْهُ) dan (مَكَانَكَ) bermakna (اُثْبُتْ), atau dari masdar, seperti (رُوَيْدَ اَخاَكَ) bermakna (اَمْهِلْهُ) dan (بَلْهَ الشَّرَّ) bermakna (اُتْرُكْهُ وَ
دَعْهُ), atau dari
tanbih, seperti (هاَ
الْكِتاَبَ) bermakna (خُذْهُ).
Dan adakalanya Ma’dul, seperti (نَزَالِ) dan (حَذَارِ) yang merupakan pemindahan dari (اَنْزِلْ) dan (اِحْذَرْ).
Kaf yang masuk pada isim fi’il
manqul, tertashrif sesuai dengan mukhathab, dalam mufrad, tatsniyyah, jama’,
mudzakar dan mu’annats, seperti (رُوَيْدَكَ), (رُوَيْدَكِ), (رُوَيْدَكُماَ), (رُوَيْدَكُمْ), (رُوَيْدَكُنَّ), (هاَكَ), (هاَكِ), (هاَكُماَ), (هاَكُمْ), (هاَكُنَّ), (اِلَيْكَ عَنِّي), (اِلَيْكُماَ
عَنِّي), (اِلَيْكُمْ
عَنِّي) dan (اِلَيْكُنَّ
عَنِّي).
Akan tetapi kaf dalam (رُوَيْدَ) dan (هاَكَ) tidaklah lazim (tetap),
karena penuqilan dari masdar atau tanbih telah dikosongkan darinya, sehingga
kaf itu tidaklah menjadi bagian dari kalimah. Oleh karenanya, diperbolehkan
untuk terpisah darinya, sehingga kita ucapkan (رُوَيْدَ اَخاَكَ) dan (هاَ الْكِتاَبَ).
Adapun pada (اِلَيْكَ) dan (دُونَكَ) dan semisalnya, yaitu isim fi’il
yang dinuqil dari huruf jer atau dzaraf, maka kaf tersebut adalah lazim, karena
penuqilan telah terjadi dengan disertai kaf sehingga kaf dan yang menyertainya
menjadi satu kalimah yang diinginkan untuk amar atau perintah, oleh karenanya
tidak diperbolehkan untuk melepas dari kaf.
Diperbolehkan pada (هاَ) untuk dikosongkan dari kaf,
sehingga dia digunakan dengan satu lafal untuk semuanya. Dan jika dia diberi
kaf, maka dia akan tertashrif sesuai dengan mukhathabnya, dan diperbolehkan
untuk diucapkan (هاَءَ) dengan satu lafal untuk semuanya.
Namun, menurut qaul ashah adalah tertashrifnya hamzahnya, sehingga diucapkan (هاَءَ) untuk mufrad mudzakar, (هاَءِ) untuk mufradah mu’annats, (هاَؤُماَ) untuk tatsniyyah, (هاَؤُمْ) untuk jama’ mudzakar, (هاَؤُنَّ) untuk jama’ mu’annats.
Isim fi’il yang manqul, seperti (رُوَيْدَ), dan yang ma’dul, seperti (نَزَالِ), tidaklah datang kecuali untuk
amar bukan untuk yang lainnya. Adapun isim fi’il yang murtajal, maka bisa
datang untuk amar, seperti (مَهْ) bermakna (اِنْكَفِفْ), dan itu adalah yang lebih banyak terjadinya. Bisa untuk
madli, seperti (شَتَّانَ) bermakna (اِفْتَرَقَ) atau mudlari’, seperti (وَيْ) bermakna (اَعْجَبُ).
Isim fi’il yang manqul atau murtajal
adalah sama’i, sedangkan isim fi’il yang ma’dul, maka qiyasi yang dibuat dengan
mengikuti wazan (فَعَالِ) dari semua fi’il tsulatsi mujarrad
yang taam dan mutasharrif, seperti (قَتاَلِ), (ضَرَابِ), (نَزَالِ) dan (حَذَارِ). Dan syadz datangnya isim
tersebut dari fi’il tsulatsi mazid, seperti (دَرَاكِ) bermakna (اَدْرِكْ), (بَدَارِ) bermakna (باَدِرْ).
Adapun isim fi’il yang ma’dul, maka
tidak bisa dihitung banyaknya karena qiyasi, seperti yang telah dijelaskan di
atas.
Isim Fi’il Madli, Mudlari’ dan Amar[34]
Isim fi’il juga terbagi menjadi
tiga, yaitu:
Isim Fi’il Madli, seperti (هَيْهاَتَ) bermakna (بَعُدَ), (شَتَّانَ) bermakna (اِفْتَرَقَ), (شُكَانَ) dan (سُرْعاَنَ) bermakna (اَسْرَعَ) dan (بِطآنَ) bermakna (اَبْطِيْءِ).
Isim Fi’il Mudlari’, seperti (اَوَّهْ) dan (آهْ) bermakna (اَتَوَجَّعُ). (اُفٍّ) bermakna (اَتَضَجَّرُ). (وَا), (وَاهاَ) dan (وَيْ) bermakna (اَتَعَجَّبُ), (بَخٍ) bermakna (اَسْتَحْسِنُ) dan (بَجَلْ) bermakna (يَكْفِي).
Dan Isim Fi’il Amar, seperti (صَهْ) bermakna (اُسْكُتْ), (مَهْ) bermakna (اِنْكَفِفْ), (رُوَيْدَ) bermakna (اَمْهِلْ), (هاَ), (هاَكَ), (دُونَكَ), (عِنْدَكَ), dan (لَدَيْكَ
الْكِتاَبَ) bermakna (خُذْهُ), (عَلَيْكَ نَفْسَكَ) dan (بِنَفْسِكَ) bermakna (الْزَمْهاَ), (اِلَيْكَ عَنِّي) bermakna (تَنَحَّ), (اِلَيْكَ
الْكِتاَبَ) bermakna (خُذْهُ), (اِيْهِ) bermakna (اَمْضِ فِي حَدِيْثِكَ اَو زِدْنِي
مِنْهُ), (حَيَّ عَلَى
الصَّلاَةَ وَ عَلَى الْخَيْرِ وَ عَلَى الْعِلْمِ) bermakna (هَلُمَّ اِلَى ذَلِكَ وَ تَعالَ
مُسْرِعاً), (حَيَّهَلَ
الْأَمْرَ) bermakna (اِئْتِهِ), (عَلَى الْأَمْرَ) bermakna (اَقْبِلْ عَلَيْهِ), (الَى الْأَمْرِ) bermakna (عَجِّلْ اِلَيْهِ), (بِالْأَمْرِ) bermakna (عَجِّلْ بِهِ), (هَياَّ) dan (هَيْتَ) bermakna (اَسْرِعْ), (آمِيْنْ) bermakna (اِسْتَجِبْ), (مَكاَنَكَ) bermakna (اُثْبُتْ), (اَماَمَكَ) bermakna (تَقَدَّمْ), dan (وَرَاءَكَ) bermakna (تَأَخَّرْ).
[1] Al-Mufasshal
fi Shan’ah al-I’rab, Juz I, hlm. 1
[2] Tasywiq
al-Khillan, hlm. 16
[3] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 19
[4] Asymawi, hlm.
10
[5] Tasywiq
al-Khillan, hlm. 22
[6] Tasywiq
al-Khillan, hlm. 22
[7] Kawakib
al-Durriyyah, juz. I, hlm. 18
[8] Ibnu ‘Aqil,
Hamisy Hasyiyah al-Hudhari, Juz. I, hlm. 19
[9] Hasyiyah
al-Hudhari, juz. I, hlm. 3
[10] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 11
[11] Kawakib
al-Durriyyah, juz. I, hlm. 18
[12] Hasyiyah
al-Hudhari, juz. I, hlm. 20
[13] Fath Rabb
al-Bariyyah, hlm. 9
[14] Kawakib
al-Durriyyah, juz. I, hlm. 18
[15] Hasyiyah
al-Hudhari, juz. I, hlm. 20
[16] Kawakib
al-Durriyyah, juz. I, hlm. 18
[17] Syarah Ibnu
‘Aqil, hlm. 4
[18] Syarah Ibnu
‘Aqil, hlm. 4
[19] Kawakib
al-Durriyyah, juz. I, hlm. 18
[20] Tasywiq
al-Khillan, hlm. 21
[21] Muqarrarat
al-Ajurumiyyah, hlm. 4
[22] Fath Rabb
al-Bariyyah, hlm. 10
[23] Fath Rabb
al-Bariyyah, hlm. 10
[24] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 11
[25] Tasywiq
al-Khillan, hlm. 21
[26] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 12
[27] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 12
[28] Asymawi, hlm.
8, Tasywiq al-Khillan, hlm. 36
[29] Tasywiq
al-Khillan, hlm. 13
[30] Tasywiq al-Khillan,
hlm. 13
[31] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 155
[32] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 155
[33] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 155-157
[34] Jami’ al-Durus
al-‘Arabiyyah, juz 1 hlm. 158
No comments:
Post a Comment